PENDAHULUAN
Al-qur’anul
karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, mengandumg hal-hal yang
berhubungan denganm keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat,
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia,
baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluq sosial, sehingga
berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al-qur’anul karim dalam menerangkan hal-hal
tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan
garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya
ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits nabi muhammad SAW , dan
ada yang di arahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Begitu pula halnya tafsir
al-qur’an ini berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan
manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan
tafsir-tafsir al-qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu
dengan tidak menympang dari hukum-hukum agama.
Kemampuan semua orang dalam
memahami Al-Quran tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya demikian
gamblang, jelas dan rinci. Peredaan daya nalar di antara mereka ini adalah
suatu hal yang tidak di pertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat
memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan
kalangan cendikiawan dan terpelajar akn dapat memahami dan menyingkap
makna-makna secara menarik . Didalam kedua kelompok ini punterdpat aneka ragam
dan tingkat pemahaman.Maka tidaklah menherankan jika Al-Quran
mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intesif
terutema dalam rangka menafsirkan kata-kata yang gharib atau dalam
mentawilkan suatu redaksi kalimat.
ISI
A. PENGERTIAN TAFSIR dan TERJEMAHAN
TAFSIR
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf`íl”,
berasal dari asal kata al-Fashr (f, s, r) yang berarti menjelaskan,
menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya
mengikuti wazan ”daraba – yadribu” dan ”nasara-yansuru”. Dikatakan ”fasara
(asy-syai`a) yafsiru” dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya ”abanahu”
(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul `Arab dinyatakan: kata
kata ”al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata
”at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil. Dalam
al-Qur`an dinyatakan:
(Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan
paling baik tafsir-nya) (al-Furqan
[25]:33).
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi
Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah
menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan:
”Suatu ilmu yg di dalamnya dibahas tentang
cara-cara menyebut lafal Al Qur-an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik
secara ifrat, maupun secara tarkib dan makna-maknanya yg ditampung oleh tarkib
dan yg selain itu, seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yg
menjelaskan pengertian seperti kisah dan matsal (perumpamaan).”
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu
yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW.,
berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir
mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim
dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang
diinginkan oleh kata.
Adapun tentang pengertian tafsir berdasarkan
istilah, para ulama banyak memberikan komentar antara lain sebagai berikut :
- Menrut Al-Kilabi
Tafsir adalah penjelasan Al-Qur’an dengan
menerangkan makna dari tujuan (isyarat).
- Menurut Syekh Al-Jazari
Tafsir adalah hakekatnya menjelaskan lafazh yang
sukar difahami dengan jalan mengemukakan salah satu lafazh yang bersinonim
(mendekati) dengan lafazh tersebut
- Menurut abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafadzh-lafadzh Al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah
hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain,
serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang
melengkapi.
- Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami
dan menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang diturunkan pada pada nabi Muhammad
SAW, serta mengumpulkan kandungan dan hukum dan hikmahnya.
- Menurut Al-Jurjani
Tafsir adalah ilmu yang menjelaskan makna
ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun
sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan
ungkpan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki
sacara terang dan jelas..
- Menurut Imam
al-zarkani
Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan
al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah,
menurut kadar kesanggupan manusia.
Berdasarkan beberapa rumusan
tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
tafsir adalah suatu hasil yang tanggapan dan penalaran manusia untuk menyikapi
nilai-nilai samawi yang terdapt didalam Al-Qur’an.
TERJEMAHAN
Secara Etimologi (bahasa)
Kata terjemahan berasal dari bahasa Arab “ ترجمة “ (tarjamah) kata tersebut
kedudukannya sebagai masdar, yaitu dari Fîil Mâdhi Rubâ I al-Mujarrad “ ترجمة “
yang bentuknya terjadi sebagai berikut:
ترجمة، يترجم، ترجمة، وترجاما، ومترجما، فهو مترجم، وذاك مترجم، ترجم لا تترجم،
مترجم، مترجم.
Lafadz terjemah di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, menunjukan salah satu dari empat makna berikut:
1. Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa lain.
2. Memindahkan suatu kalam (pembicraan) kepada bahasa yang mudah.
3. Menceritakan biografi seseorang.
4. Pendahuluan dari sebuah kitab
Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Uşul fi al-Tafsir, mengatakan bahwa kata terjemah secara bahasa ialah:
الترجمة لغة : تطلق على معان ترجع الى البيان والايضاح.
“Terjemahan secara bahasa adalah menetapkan suatu ma’na yang mampu memberikan keterangan dan kejelasan.”
ترجمة، يترجم، ترجمة، وترجاما، ومترجما، فهو مترجم، وذاك مترجم، ترجم لا تترجم،
مترجم، مترجم.
Lafadz terjemah di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, menunjukan salah satu dari empat makna berikut:
1. Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa lain.
2. Memindahkan suatu kalam (pembicraan) kepada bahasa yang mudah.
3. Menceritakan biografi seseorang.
4. Pendahuluan dari sebuah kitab
Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Uşul fi al-Tafsir, mengatakan bahwa kata terjemah secara bahasa ialah:
الترجمة لغة : تطلق على معان ترجع الى البيان والايضاح.
“Terjemahan secara bahasa adalah menetapkan suatu ma’na yang mampu memberikan keterangan dan kejelasan.”
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijumpai arti terjemah, yaitu “menyalin
(memindahkan) dari suatu bahasa kedalam bahasa lain atau mengalih bahasakan.
Dari penjelasan etimologi terjemah diatas dapat dipahami bahwa substansi dari terjemah adalah memindahkan bahasa pokok kepada bahasa sasaran (dalam hal ini dari bahasa Arab kepada bahasa Indonesia).
Dari penjelasan etimologi terjemah diatas dapat dipahami bahwa substansi dari terjemah adalah memindahkan bahasa pokok kepada bahasa sasaran (dalam hal ini dari bahasa Arab kepada bahasa Indonesia).
Secara Terminologi (istilah)
Kemudian kata terjemah yang dalam bahasa Arab-nya disebut “ ترجمة “ menurut Istilah pengertiannya sebagai berikut:
Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Usul fi al-Tafsif, mengatakan:
وفى الإصطلاح : التعبير عن الكلام بلغة أخرى.
“Terjemah secara istilah yaitu, menerangkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa yang lain.”
Kemudian kata terjemah yang dalam bahasa Arab-nya disebut “ ترجمة “ menurut Istilah pengertiannya sebagai berikut:
Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Usul fi al-Tafsif, mengatakan:
وفى الإصطلاح : التعبير عن الكلام بلغة أخرى.
“Terjemah secara istilah yaitu, menerangkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa yang lain.”
Menurut
Abu al-Yaqzan ‘Atiyyah al-Jaburi di dalam kitab Dirasat fi al-Tafsir wa
Rijalihi:
نقل الكلام من لغة إلى لغة أخرى بدون بيان معنى الأصل المترجم عنه.
“Memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain dengan tidak menerangkan ma’na asal dari kalam yang diterjemahkan.”
تفسير الكلام وبيان معناه فى لغة أخرى.
“Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dan juga menerangkan ma’na kalam tersebut di dalam bahasa yang lain.”
نقل الكلام من لغة إلى لغة أخرى بدون بيان معنى الأصل المترجم عنه.
“Memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain dengan tidak menerangkan ma’na asal dari kalam yang diterjemahkan.”
تفسير الكلام وبيان معناه فى لغة أخرى.
“Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dan juga menerangkan ma’na kalam tersebut di dalam bahasa yang lain.”
Menurut
Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani di dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’an:
تبليغ الكلام لمن لم يبلّغه
“Menyampaikan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa orang yang belum pernah menerimanya.”
تفسير الكلام بلغته التى جاء به
“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa kalam itu sendiri.”
تفسير الكلام بلغته غير لغته
“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa selain bahasa kalam itu.”
تبليغ الكلام لمن لم يبلّغه
“Menyampaikan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa orang yang belum pernah menerimanya.”
تفسير الكلام بلغته التى جاء به
“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa kalam itu sendiri.”
تفسير الكلام بلغته غير لغته
“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa selain bahasa kalam itu.”
نقل
الكلام من لغة إلى أخرى
“Mengalihkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.”
“Mengalihkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.”
Dari
keempat pendapat tentang pengertian “terjemah” yang telah disebutkan di atas,
dapat diketahui bahwa kataترجمة ” “ dalam tuturan bahasa Arab meliputi berbagai
makna bahkan pengertian kata “ ترجمة “ ini sering dikaitkan pada situasi dimana
kata itu diucapkan. Namun secara ‘urf’ (umum) dapatlah kiranya diketahui bahwa
terjemah, yaitu memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke
dalam bahasa yang lain dan mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam
yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang
terkandung di dalam pengertian tadi.
Selain pengertian di atas,
juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli dibidang
bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan
dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu
“mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam
bahasa sasaran” . Selain Catford Newmark (1988) juga memberikan definisi
serupa, namun lebih jelas lagi. Menurutnya terjemah yaitu “menerjemahkan makna
suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.”
Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha
memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke
dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
B. PEMBAGIAN
TERJEMAHAN
1. Terjemah harfiyah, yaitu yang kata perkatanya sangat terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama, sehingga seakan-akan hanya menggantikan makna kata-kata itu pada urutan dan tempatnya masing-masing secara sama.
2. Terjemah tafsiriyah, yaitu terjemah yang mengungkapkan makna kedalam bahasa kedua kata perkatanya tidak terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama. Terjemah ini dinamakan terjemah tafsiriyah karena dalam mengungkapakan makna yang dimaksud hamper nenyerupai tafsir.
C. SYARAT-SYARAT
PENTERJEMAH
Ada
empat yang harus diperhatikan dalam menterjemah, yaitu:
1. benar-benar mengetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek bahasa yaitu bahasa pertama dan kedua
2. mengetahui tentang pola kalimat dan cirri-ciri khas kedua bahasa
3. terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa pertama dengan mantap
4. bahasa terjemah seharusnya benar-benar murni, artinya bahawa terjemahan harus benar-benar memindah makna bahasa pertam kebahasa lain.
1. benar-benar mengetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek bahasa yaitu bahasa pertama dan kedua
2. mengetahui tentang pola kalimat dan cirri-ciri khas kedua bahasa
3. terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa pertama dengan mantap
4. bahasa terjemah seharusnya benar-benar murni, artinya bahawa terjemahan harus benar-benar memindah makna bahasa pertam kebahasa lain.
D. SUMBER
TAFSIR
Sumber-sumber tafsir al-Qur’an ada tujuh,
yaitu:
1.
Tafis al-Qur’an dengn al-Qur’an
Karena ayat-ayat itu
tafsi-mentafsirkan dan jelas-menjelaskan antara satu dengan yang lain.
2.
Tafsir
dengan hadits yang shahih
Seperti hadits Bukhari dan Muslim, sekali-kali
tidak boleh dengan hadits yang dhai atau mudhu’.
3.
Tafsir
dengan perkataan sahabat
Perkataan sahabat yang khusus menerangkan
sebab-sebab turun ayat, bukan menurut pendapat dan pikirannya.
4.
Tafsir
dengan perkataan tabi’in
Perkatan para tabi’in bila mereka ijma’ atau suatu
tafsir. Hal ini menurut pendaapat bahwa ijma, itu hujjah
5.
Tafsir
denga umum bahasa arab bagiahli ilmu Lughah arabiyah.
6.
Tafsir
dengan ijtiihad bagi ahli ijtihad.
7.
Tafsir
dengan tafsir ‘qli dan tafsir shufi
Tafsir dengan ‘ali bagi Mu’tazilah atau menurut
syi’ah dan tafsir dengan jalan shufi bagi ahli tasawuf.
Dilihat dari sumbernya tafsir dibagi dalam dua
kerangka, yaitu riwayah dan dirayah.
I. Riwayah
ar-riwayah mengacu pada satu makna yang sama, yaitu mengikuti atau
mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu.
Riwayah merupakan suatu proses penafsiran
al-Qur’an yang menggunakan kumpulan data riwayat hadits dari Nabi Saw. dan para
sahabat, sebagai variable penting dalam proses penafsiran al-Qur’an. Kerja
riwayat sendiri adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi
dan para sahabat.
Di sini para Ulama belum mendapat kesepakatan
tentang batasan tafsir riwayah. Zarqani, misalnya, membatasi tafsir riwayah
dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang disuguhkan oleh ayat al-Qur’an,
Sunnah Nabi, dan para Sahabat dengan tidak memasukan tabi’in. pendapat ini
berbeda dengan Adz Dzahabi yang memasukan tabi’in dalam kerangka tafsir
riwayah. Sedang Ali Ashabuni nampak lebih fokus pada material tafsir bukan pada
metodenya, yaitu dengan bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan perkataan sahabat.
Karya tafsir paling monumental yang dilahirkan dari variable ini diantaranya
adalah Tafsir Ath Thabary karya Thabari dan Tafsir Qur’an Azhim karya Ibn
Katsir.
Tafsir riwayah, khususnya tafsir al-quran dengan
al-quran dan al-quran dengan sunnah Nabawiyyah oleh kebanyakan ulama tafsir
disebut sebagai tafsir yang berkualitas dan paling tinggi kedudukannya. Ibn
Taimiyah (661-728 H/1262-1327 M) dan Ibn Katsir (701-774 H/1301-1372 M)
menyatakan sekiranya ada orang yang bertanya tentang cara penafsiran al-quran
yang terbaik, jawaban yang paling tepat ialah menafsirkan al-quran dengan
al-quran. Jika pada sebagian ayat al-quran ada yang mujmal (global), pada
sebagian lainnya akan dijumpai uraian yang realtif lebih rinci. Ketika
seseorang tidak menjumpai (keterangannya) dalam al-quran, hendaknya ia
berpegang pada Sunnah karena Sunnah berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas
al-quran.
Meskipun tafsir riwayah memiliki kedudukan
tersendiri di kalangan ulama tafsir. Namun ia tidak lepas dari kekurangan,
paling tidak menyangkut hal-hal tertentu ketika dikaitkan dengan tafsir
al-quran yang diwarisi dari sahabat dan tabi’in. kekurangan tersebut diantaranya,
1. mencampuradukan antara yang shahih dan
tidak shahih seperti yang dapat dikenali dari berbagai informasi yang sering
dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in tanpa memiliki rangkaian sanad yang
valid sehingga membuka peluang bagi kemungkinan bercampur antara yang hak dan
bathil.
2. terdapat
kisah-kisah israiliyat yang penuh khurafat.
3. sebagian pengikut madzhab tertentu
acapkali mengklaim pendapat mufassir tertentu, misalnya tafsir ibn Abbas, tanpa
membuktikan kebenaran yang sesungguhnya.
4. sebagian orang zindiq kadang
menyisipkan (kepercayaannya) melalui sahabat dan tabi’in sebagaimana halnya
melalui Rasulallah Saw. dalam Hadits Nabawiyyah. Tindakan ini sengaja dilakukan
untuk menghancurkan Islam.
II. Dirayah
Sedangkan sumber kedua adalah dirayah. Tafsir ini
berkembang pesat pada abad ke 3 H, dimana peradaban Islam mulai melebar dan
madzhab di kalangan Islam sudah mulai lahir. Teks al Qur’an ditafsirkan dalam
kerangka corak kepentingan dan idiologi masing-masing madzhab, baik itu filsafat,
teologi, sosiologi dan lain sebagainya. Dirayah sendiri adalah
penjelasan-penjelasan yang berpegang pada akal, ijtihad dan kiyas.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai variable terakhir ini. Disisi lain menolak keras dan di lain
pihak menerima dengan berbagai syarat yang diajukan. Namun terakhir ada juga
yang menerima tanpa ada syarat sama sekali.
E. METODE TAFSIR
Tafsir berdasarkan metodologi
Selama
ini sering terjadi kerancuan pemakaian istilah”manhaj”/metode dengan
“naz’ah/ittijah” (kecenderungan /aliran). Berbeda dengan dengan pembagian Prof.
Dr. H. Abdul Jalal, HA dengan menambah satu dimensi lagi yaitu dari segi
sumbernya.
Metode
dalam bahasa arab disebut dengan “al-manhaj” atau “at-thariqat al-tanawih”.
Metode menurut Dr. Ibrohim Syarif adalah suatu cara atau alat untuk
merealisasaikan tujuan aliran-aliran tafsir (Ibrohim Syarif), 1982 : 68)
Yang
dimaksud dengan metode Al-Quran ialah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
baik didasarkan atas pemakain sumber-sumber penafsirannya, atau sistem
penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan penjelasan tafdsirannya, maupun
didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.
Metode tafsir secara klasik dapat dibedakan
jadi dua macam, (1) bi
al-ma’tsur dan (2) bi al-ro’yi (Subhi as-Shalih,1977:290-291).
Metode tafsir ditinjau dari segi sumber
penafsirannya, ada 3
macam, yaitu :
1.
Metode
tafsir bi al-ma’tsur / bi al-Riwayah / bi al-Manqul, tata cara penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber penafsirn Al-Qur’an, dari Al-Hadits, dari
riwayat sahabat dan tabi’in. diantaranya :
a) Jami’al Bayan fi tafsiri Al-Qur’an ; Ibnu
jarir atThobari (wafat 310 H)
b) Al-Kasyfu wa al bayan fi tafsiri Al-Qur’an
: Ahmad Ibnu ibrohim (427 H)
c) Ma’alimu Al Tanzil : imam al-Husain Ibnu
Mas’ud al Baghawi (516 H)
2. Metode
tafsir bi al-Ra’yi / bi al-dirayah bi al-ma’qul, yaitu cara menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang didsrkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufasir
terhadap tuntutan kaidah bahasaarab dan kesusastraannya, tiori ilmu pengetahuan
setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. Di antaranya :
a) -Mafatihu al ghaib : fahruddin ar-rozi
(wafat 606 H)
b) -Anwaru al tanzil wa haqaiqu al-ta’wil :
Imam al-Baidhawi (692 H)
3. Metode
bil iqtironi (perpadun antara bi al-manqul dan bi al-ma’qul), adalah cara
menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sunber tafsir
riwayah kuat dan shahih dengan sumber
hasil ijtihad pikiran yang sehat. Di antaranya :
a) Tafsir al-manar : syaikh muhammad abduh
dan syaikh rasyid ridla (W 1354 H/1935 M)
b) -Al-Jawahiru fi tafsiri Al-Qur’an :
Thanthawi al jauhari (W 1358 H)
Metode tafsir ditinjau dari segi cara
penjelasannya terhadap ayat-ayat Al;-Qur’an, maka metode tafsir ada 2 macam :
1.
Metode
bayani / metode deskripsi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an hanya dengan memberikan keterangan
secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat/pendapat dan tanpa menilai
(tarjih) antar sumber.
-
Ma’alimu
al tanzil : imam al-husain ibnu mas’ud al baghawi (516 H)
2.
Metode
tafsir muqarin / komparasi, yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbiscara dalam masalah yang sama, ayat
dengan hadits (isi dan matan), antara pendapoat mufasir dengan mufasir lain
dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.
-
Al
Jami’ li Ahkam AL- Qur’an : imam
Qurthubi (wafat 671 )
Metode tafsir bila ditinjau dari segi
keluasan penjelasan tafsirannya, maka ada 2 macam :
1. Metode
tafsir ijmaly, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
hanya secara global saja yakni tidak mendlam dan tidak secara panjang lebar,
sehingga bagi orang awm akan lebih mudah untuk memahaminya.
a) Tafsir Al-Qur’an al Karim : M. Farid Wajdi
b) Tafsir Wasith : Majma’ al bukhutsil
islamiyah.
2. Metode
tafsir iuthnabi, yaitu penafsiran dengan cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara mendetail / rinci, dengan
uraian-uraian yang panjang lebar, sehimngga cukup jelas dan terang yang banyak
disenangi oleh para orang cerdik pandai.
a) -Tafsir Al Manar :Syaikh Muhammad Abduh
dan Syaikh Rasyid Ridha (W 14H).
b) -Tafsir Al Maraghi : Ahmad Musthafa Al
Maraghi (W 137 H/ 1952 M).
c) -Tazfsir fi Dhilalil Qur’an : Sayyid Qutub
(W 1966 M).
Metode tafsir ditinjau dari segi sasaran
dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan, maka metode metode penafsiran ada 3
macam yaitu:
- Metode tafsir tahlily, yaitu
menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan
uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al fatihah
hingga akhir surat an Naas.
- Metode tafsir maudhu’iy. Yaitu suatu
penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat mengenai satu judul / topik
tertentu, dengan memeperhatikan masa turunnya dan asbabunnuzul ayat, serta
mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan
memperhatikan hubungan ayatayat yang satu dengan ayat yang lainnya didalam
menunjuk suatu masalah, kemudian mentimpulkan masalah yamg dibahas dari
dailalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu.
- -Al Mar’atu fi Al qur’an al Karim
:Abbas Al Aqqad.
- -Ar Riba Fi AL Qur’an Al Karim : Abu
Ala Al Maududi
- -Al Mahdatu Al Mankhiyah : Dr. Muh
Hijazi
- -Ayat Al Kauniyah : Dr. Abdullah
Syahhatah.
- Metode tafsir Nuzuly : yaitu
menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan
urutan turunnya ayat al Qur’an
a) Al Tafsir AL BayaniLi al Qur’an al Karim
Binti Asy Syathi’.
b) Suratu ar Rahman wa suearu qishar karya
Syauqi Dhaif.
c) Tafsir al Qur’an al Karim karya Prof. Dr.
H. Quraish Syihab, MA.
Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili adalah
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an
dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang
tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran
al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat
tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam metode ini, segala
sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan,
baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat
per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab
al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan
lain-lain.
Ciri-ciri
Penafsiran yang mengikuti
metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi
(pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab
An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula
penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in, Tabi
Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti
teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah
antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri lain dari metode ini,
penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert
fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.
ÎI. Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali adalah
menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global,
tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan
ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang populer, mudah
dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat
yg terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya
bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih
mendengarkan Al Qur-an padahal yg didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan metode ini
ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyg
terkandung dalam Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang mufassir
berbicara kepada pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak
berbelit-belit yg dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung
hal-hal lain dari arti yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami
kandungan pokok Al Qur-an.
Ciri-ciri:
Penafsiran yg dilakukan
terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan
urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dgn
lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh
dari konteks Al Qur-an dgn penyajiannya yg mudah dan indah. Metode tafsir
Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak
secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
III. Tafsir Muqoron
Pengertian metode tafsir
Muqoron adalah: 1) membangdingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yg memiliki
kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus
yg sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dgn hadits yg pada lahirnya
bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam
menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi di atas menunjukkan
bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yg amat luas, tidak
hanya membandingkan ayat dgn ayat, ayat dgn hadits, tapi juga membandingkan
pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas
yg dapat membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama
tafsir dalam menafsirkan ayat dgn ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka
termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yg metode dan kecenderungan merka
berbeda-beda, baik penafsiran merka yg berdasarkan riwayat yg bersumber dari
Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in ( tafsir bil ma^tsur) atau berdasarkan
rasio, ijtihad (tafsir bil ra^y) dan mengungkapkan pendapat mereka serta
membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yg berbeda dalam
penafsiran Al Qur-an.
Mufassir dengan metode ini
dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yg mereka
kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yg dinilai
benar dan menolak penafsiran yg tidak dapat diterima oleh rasionya serta
menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca
merasa puas.
IV. Tafsir Maudhu`i
Metode tafsir Maudhu^i /
tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir
mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al
Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi
(Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua ayat yg berkaitan, dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yg terkait
dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci
dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yg dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Ciri-ciri:
Sesuai dengan namanya, maka yg
menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik
pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut
metode topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir Maudhu^i mempunyai dua
bentuk kajian yg menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat
secara menyeluruh dan utuh dgn menjelaskan maksudnya yg bersifat umum dan
khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yg dikandungnya, sehingga
surat itu tampak dalam bentuknya yg betul-betul utuh dan cermat. Kedua,
menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yg sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di
bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu^i.
Kemudian untuk cara kerjanya (yg menjadi ciri
khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sbb: (a) menetapkan
masalah/tema yg akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah
tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; (d) memahami
korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing; (e) menyusun pembahasan
dalam rangka yg sempurna; (f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg
relevan dgn pokok pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dgn jalan menghimpun ayat-ayat yg memiliki pengertian sama, atau
mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang
”muqoyyad”, atau yg lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam
satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar