3.
Kaidah Yang Berkenaan Dengan Kondisi yang Menyulitkan
1. Dasar Kaidah
a.
Al-Qur’an
[1]Dalam surat al-baqarah ayat 185 disebutkan yang arti nya: ” Allah swt.
mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian”.
Ditilik dari ashab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun menurut kalangan Mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
Ditilik dari ashab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun menurut kalangan Mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Dalam surat al Maidah ayat 6 Allah swt berfirman;
.” Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kamu, “
Secara etimologi (bahasa), lafazh haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq,
yang sama-sama memiliki arti “kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga
menurut Mufassirin, kalimat haraj pada ayat di atas mencakup berbagai macam
kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
Disamping itu, Allah swt. dalam QS. Al-Hajj di atas juga mencantumkan
lafadz “fi al-Din” yang secara eksplisit menunjukkan bahwa kesulitan yang
dimaksud adalah setiap kesulitan yang timbul dalam kerangka keagamaan (baca :
syariat). Dengan demikian, peniadaan kesulitan dalam Islam merupakan aspresiasi
Syari’ (Allah swt atau Nabi Muhammad saw.) terhadap dialektika hubungan umat
yang tidak lepas dari beraneka ragam bentuk kesulitan. Dari sini dapat ditarik
benang merah bahwa formulasi hukum ritual dan sosial umat Islam telah
dimodifikasi dalam format yang mudah,fleksibel dan penih toleransi. Berbeda
dengan umat-umat terdahulu (pra Islam) yang kontruksi syaratnya apalagi
dibandingkan dengan syariat Islam seringkali teramat berat, ketat, dan kurang,
aspresiatif terhadap karakteristik dan kondisi psikologis manusia.
Contoh paling sederhana
adalah cara bersuci kaum Bani Israil, dimana anggota tubuh yang terkena najis
yang dipotong. Bandingkan dengan Islam yang cara bersucinya cukup menggunakan
air. Contoh lain seperti cara bertaubat mereka harus dilakukan dengan bunuh
diri. Tidak ada jalan lain untuk menebus kesalahan atau dosa selain mati.
Formulasi hukum yang dibanding dengan syariat Nabi saw. terlihat “kurang manusiawi” ini yang nampak dari cara kaum Bani Israil memperlakukan orang-orang yang melakukan kesalahan, dimana aib atau kesalahan orang ini akan ditulis di keningnya atau di pintu rumahnya. Sebuah stigmatisasi yang tidak dikenal dalam formulasi hukum Islam.
b. Al-Hadits
Formulasi hukum yang dibanding dengan syariat Nabi saw. terlihat “kurang manusiawi” ini yang nampak dari cara kaum Bani Israil memperlakukan orang-orang yang melakukan kesalahan, dimana aib atau kesalahan orang ini akan ditulis di keningnya atau di pintu rumahnya. Sebuah stigmatisasi yang tidak dikenal dalam formulasi hukum Islam.
b. Al-Hadits
Banyak sekali hadits
Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah :
انَّمابُعِثتُم مَيْسِّرِيْنَ ولم تُبْعَثُوامُعَسِّرِينَ (رواه الشيخان
“Kalian semua (kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw.) diutus untuk
memberi kemudahan ; tidak untuk menyulitkan” (H.R. Bukhari-Muslim)
Serta hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim :
مَاخُيَّرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أمْرَينِ الاّ اخْتَارَ أيسَرَهُمَامَالَم يَكُنْ إثْمَا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih
yang lebih mudah dan ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
Lalu hadits yang berbunyi :
Lalu hadits yang berbunyi :
يَسِّرُوا ولاتُعَسِّرُوا
“Pemudahlah dan jangan menyulitkan”
Maksud dari agama mudah (al-sa,hah) dalam redaksi hadits terakhir ini,
menurut al-Munawi adalah agama yang tidak membebani dosa dan tidak memberatkan
umatnya yang sedang menghadapi kesulitan. Dan agama yang demikian itu, tambah
al-Munawi, tidak lain adalah Islam.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas,
maka tercetuslah sebuah kaidah fiqih : al-masyaqqah tajlib al-taysir oleh Ali
Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab
dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya
menekankan besaran apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringan
hukum. Bahkan al-Syab’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan
melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan
baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.
Rasionalisasi
kemudahan Dalam Islam
Allah SWT
sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasann-Nya itu
mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam
realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat
aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemaslahatan manusia
sendiri. Tentuntya syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi
yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk
kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam pada
itu, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif
(wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral, cenderung ke negatif (makruh)
dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah
SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan ‘Azimah yakni keharusan
untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
Namun tidak
semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan
yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT
memberikan hukum rukhshah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi
tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah
seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah .
Allah SWT
berfirman :
ßÌã
ª!$#
br&
y#Ïeÿsä
öNä3Ytã
4
t,Î=äzur
ß`»|¡RM}$#
$ZÿÏè|Ê
ÇËÑÈ .
Artinya: Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.(QS. An
Nissa: 28)
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4
ÇËÑÏÈ
Allah tidak membebani seseorang
kecuali dalam batas kesanggupan. (QS. Al-Baqarah :286)
Sabda Nabi SAW :
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اِنْ يُؤْتِيَ رُخُصَهُ كَمَايُحِبُّ اَنْ يُؤْ تِيَ عَزَائِمَهُ (رواه احمدوالبيهق عن ابن عمر
Artinya: (Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusan-keharusannya). (HR. Ahmad dan Baihaque dari Ibnu Umar).
Sabda Nabi SAW :
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اِنْ يُؤْتِيَ رُخُصَهُ كَمَايُحِبُّ اَنْ يُؤْ تِيَ عَزَائِمَهُ (رواه احمدوالبيهق عن ابن عمر
Artinya: (Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusan-keharusannya). (HR. Ahmad dan Baihaque dari Ibnu Umar).
Bagi asy-Suatibi, kesuliyan itu dihilangkan
bagi orang yang mukalaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan
terputuskan ibadah, benci terhadap ubadah, serta benci terhadap terhadap
taklof, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad,
akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakekatnya taklif itu untuk
kemaslahatan manusia. Kedua karena takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan
sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun
keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu
termasuk ibadah pula .
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah di atas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan .
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah di atas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan .
Klasifikasi
Kesulitan
Dr. Wahbah
az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 katagori, yaitu :
1. Kesulitan Mu’tadah
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan
mu’tadah kesilitan yang alami, di mana manusia mampu mencari jalan keluarnya
sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat
dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya
seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat,
keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat
atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah untuk
menggugurkan hukum qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa
kesulitan semacam ini tidak menggugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak
memperingan, karena jika hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi
kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa bila
kesulitan itu berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat
mengikuti kadar kepayahan itu.
2. Kesulitan
Qhairu Mu’tadah
Kesulitan
qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, di mana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan
memaksa diri dan memberatkan kehidupanya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat
diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang
dicapainya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah).
Misalnya wanita selalu istihadlah, maka wudunya cukup untuk sholat wajib sedang
untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak diwajibkan, dan perbolehkan sholat
khusus bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya .
4. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keadaan Yang Membahayakan
1. teks kaidah nya.
“ kemadaratan harus di hilangkan” (as-suyuthi, TT;59)
2. dasar- dasar nash yang Berkaitan
Firman Allah Swt yang artinya;
“dan jangan kamu sekalian membuat jkerusakan di bumi. (qs.
Al-a’raf;55)
Sabda Rasulullah SAW;
“ tidak boleh membiuat kerusakan pada didi sendiri serta membuat
kerusakan pada orang lain.”(HR> Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.)
3. perbedaan antara Masyaqqot(Kesulitan) Dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan
(hajat) tentang sesuatu, bila tidak di penuhi tidak akan membahayakan
eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak di selesaikan maka akna mengancam
agama, jiwa, nasab , harta serta kehormatan
manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau
keringanan sedang dengan adnya darurat akan adnya penghapusan hukum.
4. Kaidah – kaidah yang Berkenaan dengan Kondisi Madarat
·
Kaidahnya
“apa yang diperbolehkan karena darurat maka diuukur menurut kadar
kemadharatannya.”(as-Suyuti,TT:66)
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah
untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain itu. Dalam kaitan ini
Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5
klasifikasi, yaitu:
a.
Darurat,
yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan kehidupan manusia., bila tidak dilaksanakan maka
mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala sesuatu yang
diharamkan atau dilarang, seperti memakai sutra bagi laki-laki yang
telanjang,dan sebagainya.
b.
Hajah,
yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang
haram. Misalnya seseorang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan
makanan halal, bukan makanan haram.
c.
Manfaat,
yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan untuk menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan
manfaat. Contohhnya: makan makanan pokok seperti beras, ikan sayur-sayuran,
lauk-pauk dan lainnya.
d.
Fudu,
yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi ini dikenakan
hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan
kerusakan. (Wahbah az-Zuhaili,1982: 246-247).
Contonya: darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci
untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis.[2]
5. Kaidah Yang Berkenaan
Dengan Adat Kebiasaan
Pengertian
Jumhur Ulama’ : Al ‘adat dengan Urf keduanya mempunyai arti yang sama,
sedangkan sebagian fuqaha’ mengrtikannya berbeda
urf adalah suatu (
perbuatan ) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal
sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera “.
Uruf tidak hanya
perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu.
Misal : adat dan urf
menggunakan kalender khaidl bagi wanit, setiap bulan seorng wanita mengalami
menstruasi dan cara menghitungnya ada yang menggunakan methode tamziz ( yakin
membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang kuat dianggap darah khedl ) ada
juga methode ‘adah ( yakni menganggap khaidl atas hari-hari kebiasaan keluarnya
darah tiap bulan ). Bagi Imam al Hanafi mewajibkan menggunakan methode al ‘adat
sedangkan al Imam al Syafi’I menggunakan methode tamziz
Syarat diterimanya al
Adat atau al Urf
Menurut pengertian
diatas, maka al ‘adat dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut :
- perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Dengan
syarat ini menunjukkan bahwa, adat tidak mungkin berkenaan dengan
perbuatan maksiat.
- Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh
dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat
- Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik alqur’n maupun al
sunnah
- Tidak mendatangkan kemadlaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yng
sejahtera
Kaedah yang berkenaan
dengan al ‘adat
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه إلى العرف
“ suatu yang diatur oleh syara’ secara mutlak namun
belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa, maka semua itu dikembalikan
kepada uruf “
Misal :
Mahar yang ditentukan oleh syara’ tidak menyebut berapa jumlah
besarnya, maka besarnya ditentukan menurut kebiasaa
Lama khaidl bagi wanita setiap bulannya adalah
tergantung pada kebiasaan wanita tersebut khaidl setiap bulannya[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar