Jumat, 08 Maret 2013

5 Panca Kaidah Asasiyyah


3. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Kondisi yang Menyulitkan
1. Dasar Kaidah
a.    Al-Qur’an
[1]Dalam surat al-baqarah ayat 185 disebutkan yang arti nya: ” Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian”.
Ditilik dari ashab al-nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir). Namun menurut kalangan Mufassirin, jika ditilik dari aspek universalitas teks (‘umum al-lafzhi) pesan mendasarnya, maka ayat di atas berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang yang sakit atau musafir, melainkan bagi semua umat Islam yang mengalami kesulitan.
Sedangkan dalam surat al-Hajj ayat 78 dinyatakan
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Dalam surat al Maidah ayat 6 Allah swt berfirman;
.” Allah tidak menghendaki kesulitan bagi  kamu, “
Secara etimologi (bahasa), lafazh haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti “kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut Mufassirin, kalimat haraj pada ayat di atas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
Disamping itu, Allah swt. dalam QS. Al-Hajj di atas juga mencantumkan lafadz “fi al-Din” yang secara eksplisit menunjukkan bahwa kesulitan yang dimaksud adalah setiap kesulitan yang timbul dalam kerangka keagamaan (baca : syariat). Dengan demikian, peniadaan kesulitan dalam Islam merupakan aspresiasi Syari’ (Allah swt atau Nabi Muhammad saw.) terhadap dialektika hubungan umat yang tidak lepas dari beraneka ragam bentuk kesulitan. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa formulasi hukum ritual dan sosial umat Islam telah dimodifikasi dalam format yang mudah,fleksibel dan penih toleransi. Berbeda dengan umat-umat terdahulu (pra Islam) yang kontruksi syaratnya apalagi dibandingkan dengan syariat Islam seringkali teramat berat, ketat, dan kurang, aspresiatif terhadap karakteristik dan kondisi psikologis manusia.
Contoh paling sederhana adalah cara bersuci kaum Bani Israil, dimana anggota tubuh yang terkena najis yang dipotong. Bandingkan dengan Islam yang cara bersucinya cukup menggunakan air. Contoh lain seperti cara bertaubat mereka harus dilakukan dengan bunuh diri. Tidak ada jalan lain untuk menebus kesalahan atau dosa selain mati.
Formulasi hukum yang dibanding dengan syariat Nabi saw. terlihat “kurang manusiawi” ini yang nampak dari cara kaum Bani Israil memperlakukan orang-orang yang melakukan kesalahan, dimana aib atau kesalahan orang ini akan ditulis di keningnya atau di pintu rumahnya. Sebuah stigmatisasi yang tidak dikenal dalam formulasi hukum Islam.

b.  Al-Hadits
Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah :

انَّمابُعِثتُم مَيْسِّرِيْنَ ولم تُبْعَثُوامُعَسِّرِينَ (رواه الشيخان
“Kalian semua (kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw.) diutus untuk memberi kemudahan ; tidak untuk menyulitkan” (H.R. Bukhari-Muslim)
Serta hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim :

مَاخُيَّرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أمْرَينِ الاّ اخْتَارَ أيسَرَهُمَامَالَم يَكُنْ إثْمَا
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih mudah dan ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
Lalu hadits yang berbunyi :

يَسِّرُوا ولاتُعَسِّرُوا
“Pemudahlah dan jangan menyulitkan”
Maksud dari agama mudah (al-sa,hah) dalam redaksi hadits terakhir ini, menurut al-Munawi adalah agama yang tidak membebani dosa dan tidak memberatkan umatnya yang sedang menghadapi kesulitan. Dan agama yang demikian itu, tambah al-Munawi, tidak lain adalah Islam.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah fiqih : al-masyaqqah tajlib al-taysir oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan besaran apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringan hukum. Bahkan al-Syab’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.
Rasionalisasi kemudahan Dalam Islam
Allah SWT sebagai Musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasann-Nya itu mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentuntya syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam pada itu, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral, cenderung ke negatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan ‘Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif.
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhshah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan rukhshah .
Allah SWT berfirman :
߃̍ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ   .
Artinya:  Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.(QS. An Nissa: 28)
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 ÇËÑÏÈ  
Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan. (QS. Al-Baqarah :286)
Sabda Nabi SAW :

اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اِنْ يُؤْتِيَ رُخُصَهُ كَمَايُحِبُّ اَنْ يُؤْ تِيَ عَزَائِمَهُ (رواه احمدوالبيهق عن ابن عمر
Artinya: (Sesungguhnya Allah suka memberikan keringanan-keringananNya sebagaimana ia senang memberikan keharusan-keharusannya). (HR. Ahmad dan Baihaque dari Ibnu Umar).
 Bagi asy-Suatibi, kesuliyan itu dihilangkan bagi orang yang mukalaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ubadah, serta benci terhadap terhadap taklof, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakekatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua karena takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu termasuk ibadah pula .
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah di atas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan .
Klasifikasi Kesulitan
 Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 katagori, yaitu :
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah kesilitan yang alami, di mana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat dihilangkan taklif, dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah untuk menggugurkan hukum qishas. Karena itu Ibnu Abdus Salam menyatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak menggugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak memperingan, karena jika hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa bila kesulitan itu berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, di mana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia melakukannya niscaya akan memaksa diri dan memberatkan kehidupanya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Misalnya wanita selalu istihadlah, maka wudunya cukup untuk sholat wajib sedang untuk ibadah sunnah yang lainnya tidak diwajibkan, dan perbolehkan sholat khusus bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya .
4. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keadaan Yang Membahayakan
1. teks kaidah nya.
“ kemadaratan harus di hilangkan” (as-suyuthi, TT;59)
2. dasar- dasar nash yang Berkaitan
Firman Allah Swt yang artinya;
“dan jangan kamu sekalian membuat jkerusakan di bumi. (qs. Al-a’raf;55)
Sabda Rasulullah SAW;
“ tidak boleh membiuat kerusakan pada didi sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.”(HR> Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.)
3. perbedaan antara Masyaqqot(Kesulitan) Dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak di penuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak di selesaikan maka akna mengancam agama, jiwa, nasab , harta serta kehormatan  manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan sedang dengan adnya darurat akan adnya penghapusan hukum.
4. Kaidah – kaidah yang Berkenaan dengan Kondisi Madarat
· Kaidahnya
“apa yang diperbolehkan karena darurat maka diuukur menurut kadar kemadharatannya.”(as-Suyuti,TT:66)
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain itu. Dalam kaitan ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a.    Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan kehidupan manusia., bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala sesuatu yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang,dan sebagainya.
b.    Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seseorang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c.    Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan untuk menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Contohhnya: makan makanan pokok seperti beras, ikan sayur-sayuran, lauk-pauk dan lainnya.
d.   Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. (Wahbah az-Zuhaili,1982: 246-247).
Contonya: darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis.[2]
5. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan
Pengertian
Jumhur Ulama’ : Al ‘adat dengan Urf keduanya mempunyai arti yang sama, sedangkan sebagian fuqaha’ mengrtikannya berbeda
urf adalah suatu ( perbuatan ) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabiat  sejahtera “.
Uruf tidak hanya perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu.
Misal : adat dan urf menggunakan kalender khaidl bagi wanit, setiap bulan seorng wanita mengalami menstruasi dan cara menghitungnya ada yang menggunakan methode tamziz ( yakin membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang kuat dianggap darah khedl ) ada juga methode ‘adah ( yakni menganggap khaidl atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan ). Bagi Imam al Hanafi mewajibkan menggunakan methode al ‘adat sedangkan al Imam al Syafi’I menggunakan methode tamziz

Syarat diterimanya al Adat atau al Urf
Menurut pengertian diatas, maka al ‘adat dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Dengan syarat ini menunjukkan bahwa, adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
  2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat
  3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik alqur’n maupun al sunnah
  4. Tidak mendatangkan kemadlaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yng sejahtera
Kaedah yang berkenaan dengan  al ‘adat

كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه إلى العرف

“ suatu yang diatur oleh syara’ secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa, maka semua itu dikembalikan kepada uruf “
Misal :
  Mahar yang ditentukan oleh syara’ tidak menyebut berapa jumlah besarnya, maka besarnya ditentukan menurut kebiasaa

   Lama khaidl bagi wanita setiap bulannya adalah tergantung pada kebiasaan  wanita tersebut khaidl setiap bulannya[3]



2 http://muhlisinbisyri.blogdetik.com/2011/10/10/diktat-qawaidul-fiqhiyyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar