A.
Pengaruh
Pajak Terhadap Marginal Cost dan Producer Surplus[1]
Pengenaan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai
sebesar, misalnya Rpl00 per liter bensin premium, atau misalnya 10% dari harga
per unit, akan meningkatkan average total cost. Peningkatan ATC secara langsung
juga berarti meningkatkan MC.
Bila harga tetap pada tingkat harga semula, maka peningkatan
biaya ini berarti penurunan profit. Karena total revenue tetap sedangkan total
cost meningkat. Sebelum adanya pajak penjualan, tingkat profit sebesar profit1.
Dengan adanya pengenaan pajak penjualan, tingkat profit menurun menjadi profit2.
Secara grafis keadaan tanpa adanya pajak penjualan
digambarkan pada diagram yang atas oleh kurva average total cost ATC1,
dan kurva marginal cost MC1. Harga berada pada tingkat P*. Sedangkan
diagram bawah menggambarkan fungsi profit yang diturunkan dari diagram atas.
Ketika kurva ATC1 memotong garis harga dari atas,
jumlah penawaran adalah Q1'. Pada titik Q1', tingkat
profit nihil karena pada titik ini AR=ATC yang berarti TR=TC. Tingkat profit
nihil ini digambarkan oleh kurva profit pada diagram bawah yaitu titik Q1'
pada garis horizontal sumbu X. Begitu pula ketika kurva ATC1
memotong garis harga dari bawah, jumlah penawaran adalah Q1”. Pada
titik Q1" ini, tingkat profit juga nihil. Itu sebabnya kurva
profit1 pada tingkat output Q1” juga berada pada garis
horizontal sumbu X.
Ketika kurva MC1 = P*, profit mencapa tingkat
maksimal. Ini terjadi pada tingkat produksi Q1*. Tingkat profit
maksimal ini digambarkan oleh kurva profit1 pada diagram bawah yaitu
titik Q1*. Total profit digambarkan oleh segiempat profit1
yang diarsir pada diagram atas.
Adanya pengenaan pajak penjualan meningkatkan ATC dari ATC
menjadi ATC2 dan MC1 menjadi MC2. Harga tetap
berada pada tingkat P*.
Ketika kurva ATC2 memotong garis harga dari atas,
jumlah penawaran adalah Q2'. Pada titik Q2', tingkat
profit nihil karena pada titik ini AR=ATC yang berarti TR = TC. Tingkat profit
nihil ini digambarkan oleh kurva profit2 pada diagram bawah yaitu
titik Q2' = pada garis horizontal sumbu X. Begitu pula ketika kurva
ATC2 memotong garis harga dari bawah, jumlah penawaran adalah Q2”.
Pada titik Q2” ini, tingkat profit juga nihil. Itu sebabnya kurva
profit2 pada tingkat output Q2” juga berada pada garis
horizontal sumbuX .
Ketika kurva MC2 = P*, profit mencapai tingkat
maksimal. Ini terjadi pada tingkat produksi Q*. Tingkat profit maksimal ini
digambarkan oleh kurva profit2 pada diagram bawah yaitu titik Q2*.
Total profit digambarkan oleh segi empat profit, yang diarsir. Jelaslah profit2
lebih kecil dibanding profit1. Secara pararel kita dapat pula
mengatakan bahwa producer surplus dengan adanya pajak penjualan lebih kecil
dibandingkan producer surplus tanpa adanya pajak penjualan.
|
Gambar 1.1. Pengaruh Pajak Penjualan Terhadap Laba
Jadi pengenaan pajak penjualan membawa pengaruh terhadap :
1.
Turunnya total profit dari profit1
menjadi profit2.
2.
Turunnya tingkat profit maksimal
yang digambarkan oleh puncak gunung kurva profit pada diagram bawah. Secara
grafis, puncak kurva profit1 lebih tinggi daripada puncak kurva
profit2.
3.
Mengecilnya rentang skala produksi
dari Q1'Q1" menjadi Q2’Q2”.
Dimana Q1' <Q2’ dan Q1’Q2”.
B.
Pengaruh Zakat Terhadap Marginal
Cost dan Producer Surplus
Pengaruh
zakat terhadap penawaran dapat dilihat dari dua sisi. Yang pertama adalah
melihat pengaruh kewajiban membayar zakat terhadap perilaku penawaran. Dalam
hal ini dicontohkan zakat perniagaan. Di sisi lain adalah pengaruh zakat
produktif, yakni alokasi zakat kegiatan produktif dari mustahik terhadap kurva
penawaran.[2]
Zakat yang dikenakan pada hasil produksi adalah zakat
perniagaan, yang baru dikenakan apabila hasil produksi dijual dan hasil
penjualan telah memenuhi nisab (batas minimal
harta yang menjadi objek zakat yaitu setara 96 gram emas) dan haul (batas
minimal waktu harta tersebut dimiliki yaitu satu tahun). Bila nisab dan haul
telah terpenuhi, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5%.
Objek zakat perniagaan adalah barang yang diperjualbelikan.[3]
Dalam ilmu ekonomi, ini berarti yang menjadi objek zakat perniagaan adalah
revenue minus cost. Ulama berbeda pendapat mengenai komponen biaya. Sebagian
berpendapat bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan, sedang sebagian lainnya
berpendapat bahwa hanya biaya variabel saja yang boleh diperhitungkan. Dalam
ilmu ekonomi pendapat pertama berarti yang menjadi objek zakat adalah economic
rent, sedangkan pendapat kedua berarti yang menjadi objek zakat adalah quasi rent atau producer surplus.
Pendapat mana pun yang digunakan atas objek zakat ini sama
sekali tidak memberikan pengaruh terhadap ATC, yang berarti pula tidak ada
pengaruh terhadap profit yang dihasilkan. Pengenaan zakat perniagaan juga sama
sekali tidak memberikan pengaruh terhadap MC, yang berarti pula tidak
memberikan pengaruh terhadap kurva penawaran. Upaya memaksimalkan profit
berarti pula memaksimalkan producer surplus, dan sekaligus berarti
memaksimalkan zakat yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat
perniagaan perilaku memaksimalkan profit berjalan sejalan dengan perilaku
memaksimalkan zakat.
|
|||
Gambar 1.2. Pengaruh Zakat Perniagaan
Terhadap Laba
Pada titik Q1’, tingkat profit nihil karena pada
titik ini AR = ATC yang berarti TR = TC. Tingkat profit nihil ini digambarkan
oleh kurva profit 1 pada diagram bawah, yaitu titik Q1’ pada garis
horizontal sumbu X . Begitu pula ketika kurva ATC1 memotong garis harga dari bawah,
jumlah penawaran adalah Q1”. Padat itik Q1" ini,
tingkat profit juga nihil. Itu sebabnya kurva profit1 pada tingkat output Q1"
juga berada pada garis horizontal sumbu X .
Ketika kurva MC1 = P*, Profit mencapai tingkat
maksimal. Ini terjadi pada tingkat produksi Q1*. Tingkat profit
maksimal ini digambarkan oleh kurva profit, pada diagram bawah yaitu titik Q1*.
Pada titik Q1* pula tingkat zakat maksimal tercapai. Keadaan ini
digambarkan dengan puncak kurva profit dan puncak kurva zakat yang terjadi pada
titik Q1* (diagram bawah).
Jika kita membahas sisi pemanfaatan zakat untuk kegiatan
produktif dari mustahik, dapat diduga bahwa zakat yang diberikan itu akan
membuka peluang untuk dapat memproduksi sesuatu. Karena zakat yang disalurkan
biasanya berbentuk qardhul hasan, maka tidak ada biaya batas penggunaan zakat
sebagai faktor produksi. Dengan demikian, mustahid yang menjadi produsen dengan
dana zakat produktif dapat menawarkan barang/jasa dengan biaya yang lebih
kompetitif, akibatnyaa akan meningkatkan penawaran. Kurva penawaran akan
bergeser kebawah akibat dukungan dana zakat produktif tersebut.
C.
Internalization
Ekternal Cost (Internalisasi Biaya Eksternal)
Perilaku memaksimalkan
profit sering kali mendorong produsen untuk berlaku aniaya. Salah satu cara
untuk meningkatkan profitnya adalah dengan memindahkan biaya-biaya yang
seharusnya ditanggung produsen kepada pihak lain. Biaya yang paling mudah untuk
dialihkan kepada pihak lain adalah biaya yang tidak mempunyai kaitan langsung
dengan proses produksi. Misalnya biaya pembuatan penampungan limbah pabrik yang
seharusnya ditanggung produsen karena merupakan konsekuensi dari proses
produksinya, dialihkan kepada masyarakat dengan cara membuang begitu saja
limbah pabrik ketempat-tempat umum. Tindakan ini jelas aniaya, karena
produsen jelas-jelas mendapat keuntungan
dari proses produksi, namun tidak mau bertanggung jawab atas akibatnya, yaitu
menanggung biaya penanganan limbah. Dalam ilmu ekonomi, tindakan ini disebut
negative eksternalities.
Pada pembahasan tentang
garis Besar Ekonomi Islam diterjemahkan menjadi empat hal, yaitu dilarang
melakukan mafsadah, dilarang melakukan transaksi gharar, dilarang melakukan
transaksi maisir dan riba. Salah satu bentuk mafsadah adalah melakukan
kerusakan yang dalam istilah ekonominya disebut negative eksternalities. Dalam
konteks utility function, Islam hanya membolehkan utility function dibangun
dalam pilihan “good” X dan “good” Y(“hal baik” X dan “hal baik” Y). pada
prinsipnya utility function yang dibangun dalam pilihan “good” X dan “bad”
Y(“hal baik” X dan “hal buruk Y”), atau dalam pilihan “bad” X dan “good” Y,
tidak diperbolehkan karena tergolong tindakan mafsadah. Dalam pembahasan teentang
Teori Permintaan Islami kita pun telah membahas tentang corner solution bila
kita dihadapkan pada pilihan “good” dan “bad,” kita akan memillh seluruhnya
“good”, dan meninggalkan “bad” sama sekali. Solusi lain selain meninggalkan
“bad” sama sekali (misalnya pada saat darurat), selalu menghasilkan solusi yang
tidak optimal.
Secara grafis, upaya
produsen melarikan diri dari tanggung jawab ini digambarkan dengan turunnya ATC
dari ATC1 menjadi ATC2, dan marginal cost yang turun dari
MC1 menjadi MC2. Dengan tingkat MC yang lebih rendah (MC2<MC1)
produsen akan menawarkan lebih banyak barang, sedangkan tingkat ATC yang lebih
rendah (ATC2<ATC1)
produsen akan menerima average economic rent lebih besar pula. Dengan
demikian, profit akan naik dari profit1 menjadi profit2.
Gambar 1.3. Internalisasi Biaya Eksternal
Dalam pandangan Islam,
Marginal Eksternal Cost merupakan tanggung jawab dari produsen karena tanpa ada
proses produksi tentu tidak akan muncul eksternal cost. Oleh karena itu, MEC
harus diinternalisasi ke dalam komponen biaya produsen.Keadaan ini digambarkan
oleh diagram yang sebelah bawah. MC1 adalah MC produsen, ATC1
adalah ATC produsen. Produsen tidak mempunyai pilihan untuk berproduksi pada
tingkat MC2 dan ATC2 meskipun produsen bersedia
memberikan kompensasi tertentu. Dalam ekonoomi konvensional, negative
ekternalities masih dapat ditolerir dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Misalnya dengan penentuan emissionis standard dan emissionis fees. Emissionis
standard adalah ketentuan hukum tentang batas maksimal tingkat polusi yang
masih dibolehkan. Jika produsen melampaui batas maksimal tingkat pulusi yang
masih dibolehkan. Jika produsen melampaui batas tersebut, maka ia akan
dikenakan sanki berupa denda atau bahkan dianggap melakukan tindakan kriminal.
Emissionis fees adalah kompensasi yang harus dibayar untuk setiap unit polusi
yang dilakukan produsen.
[3] Istilah fiqihnya
‘arudhul tijarah’. Lihat misalnya Ibnu Qudamah. Al-Mughni, (Makkah: Maktabah
Tijarah, 1984) vol 2 hlm. 623. Dalam Adiwarman Karim. h.135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar