Rabu, 22 Januari 2014

Pandai Bersyukur dan Berterima Kasih

A.      Latar Belakang Masalah



“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya)” (QS. An-Naml (27) : 73)
Kekurangan adalah sifat manusia yang sangat mendasar, tak sedikit ditemukan permasalahan didalam kehidupan masyarakat baik itu kalangan atas atau menengah seringkali mengalami kehancuran hubungan baik itu dalam keluarganya atau dalam kehidupan sosialnya, terlebih lagi orang yang berstatus sosialnya rendah karena tidak dapat mengatasi sifat dasar kurang dalam diri pribadinya. 
Untuk mengatasi hal yang demikian itu adalah dengan bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita semua, ketika hati merasa galau, itu karena dia menutup hatinya dengan keadaan yang Allah berikan pada saat itu. Padahal ketika Allah memberikan cobaan/ujian kepada umatnya itu adalah Allah dalam memberikan pelajaran kepada umatnya untuk selalu tabah dalam menyikapi kehidupan di dunia ini.
 Tapi masih banyak manusia yang lalai dan lupa untuk mensyukuri nikmat yang Allah SWT berikan, sehingga mereka tidak mempergunakannya dengan sebaik-baiknya.

A.      Pengertian Pandai Bersyukur dan Berterima Kasih[1]
Secara harfiah syukur berarti berterima kasih. Bersyukur adalah mengakui kebajikan. Juga berterima kasih kepada pihak yang telah berbuat baik atas kebajikan yang telah diberikannya.
Sedangkan secara terminologi bersyukur adalah memperlihatkan pengaruh nikmat Illahi pada diri seseorang hamba pada kalbunya dengan beriman pada lisannya dengan pujian dan sanjungan, dan pada anggota tubuhnya dengan mengerjakan amal ibadah ketaatan.
Hakikat syukur menurut Imam al-Qushairi yang dinukilkannya dari Syekh Ali Dahaq adalah “pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan kepadanya yang dibuktikan dengan ketundukannya”. 
Berdasarkan batasan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa syukur ialah mempergunakan nikmat Allah Subhannahu Wa Taala menurut yang dikehendakiNya.
Bersyukur merupakan sebaik-baik jalan kehidupan bagi orang-orang yang bahagia. Tidaklah mereka menaiki tangga kedudukan yang lebih tinggi, melainkan berkat syukur mereka. 
Sebab, iman itu terdiri dari dua bagian, yaitu bersyukur dan bersabar, maka bersyukur merupakan suatu keharusan bagi orang yang harap kebaikan bagi dirinya. Syukur dan sabar ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Sebab, iman itu terdiri dari dua bagian, yaitu bersyukur dan bersabar, maka bersyukur merupakan suatu keharusan bagi orang yang harap kebaikan
Orang yang telah menapaki tangga syukur akan bisa dilacak melalui ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Pandai berterima kasih dan selalu berbuat kebajikan kepada sesama manusia dan alam.
2.      Gembira hati dengan apa yang diberikan walau secara kuantitas pemberian itu belum sebanding dengan ikhtiar.
3.      Mampu mempergunakan nikmat itu untuk memperlancar jalan menuju keridhaan Allah.
4.      Selalu mengucapkan tahmid atau Hamdalah setiap kali mendapatkan nikmat atau pujian dari Allah maupun sanjungan dari orang lain.
5.      Memandang besar Nikmat Allah sekecil apapun yang diterima dan memandang ke bawah tentang urusan dunia.
Mengenai indikasi dari bersyukur atau tidaknya seseorang juga dijelaskan dalam beberapa hadits Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud sebagai berikut:
“Pandanglah orang yang ada di bawahmu dan janganlah memandang orang yang di atasmu, karena sesungguhnya hal tersebut lebih mendorong kamu untuk tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim)
“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.” (HR. Abu Daud)
Beberapa faedah dari hadits riwayat Abu Daud di atas[2]:
1.      Siapa yang biasa tidak tahu terima kasih pada manusia yang telah berbuat baik padanya, maka ia juga amat sulit bersyukur pada Allah.
2.      Allah tidaklah menerima syukur hamba sampai ia berbuat ihsan (baik) dengan berterima kasih pada orang yang telah berbuat baik padanya.
3.      Perintah untuk pandai bersyukur.
4.      Pemberi nikmat hakiki adalah Allah dan manusia yang berbuat baik adalah sebagai perantara dalam sampainya kebaikan.
Bersyukur memiliki dua kriteria[3]:
1.      Bersyukur kepada manusia adalah berterima kasih, memberi pujian kepada sesama manusia, bisa dikatakan cara menunjukkan rasa senang, menghormati, simpatik dari orang yang telah membantu ataupun memberikan pengorbanan kepada orang yang dibantu. Seperti halnya kepada orangtua yang telah menyekolahkan kita, mendidik dengan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan menuntut ilmu untuk anak-anaknya, kepada orang lain yang telah memberikan kebaikannya, pengorbannya serta tulus semua itu diberikan semata-mata agar kita dapat bersyukur dengan mengucapkan terima kasih (tulus). Ingat tidak ada balasan yang setimpal bila kita tidak dapat membalasnya dengan setara pemberian dan pengorbanan yang diberikan melainkan ucapan terima kasih, jika tulus itu terucapkan orang yang telah membantu kita pastilah ikut merasakan senang, maka. jangan sepelekan ucapan tersebut.
2.      Bersyukur kepada Tuhan atau Allah Subhanahu WaTa’ala adalah suatu perkara yang  hukumnya wajib, karena itu adalah salah satu indikator atau pengukur ketaqwa’an dan keimanan umat kepada-Nya. Bersyukur dikatakan sangat penting karena lawan dari bersyukur adalah tidak bersyukur (kufur). Kufur berarti tidak bersyukur atau ingkar kepada Tuhan atau Allah Subhanahu WaTa’ala atas nikmat yang diberikan, selain dari kriteria pertama diatas kepada sesama manusia keikut sertaan kufur kepada Allah Subhanahu WaTa’ala pasti dirasakan jika kita mengacuhkan kriteria pertama diatas. Banyak cara dan bentuk syukur yang dapat dilakukan.


Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Luqman (31) : 12)


B.       Keutamaan dan Hikmah Pandai Bersyukur dan Berterima Kasih
Syukur memiliki keutamaan yang banyak seperti yang dingkapkan oleh Allah dalam beberapa surat dan ayat Al-Quran sebagai berikut[4]:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah (2) : 152)

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui”. (QS. An-Nisa (4) : 147)




“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran (3) : 145)



“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklum-kan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim (14) : 7)




“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu kuaatir menjadi miskin, Maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah (9) : 28)
 


“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun (64) : 17)



“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS. Al-Anam (6) : 53)




“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmu-lah kembalimu, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu”. (QS. Az-Zumar (39) : 7)


“Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka syurga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal”. (QS. Az-Zumar (39) : 74)
 



“Doa mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma" dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam" dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulillaahi Rabbil aalamin". (QS. Yunus (10) : 10).
10 manfaat dari sikap pandai bersyukur, terutama bagi kesehatan seseorang seperti dikutip dari huffingtonpost adalah[5] :
1.      Menjaga kesehatan mental remaja, Remaja yang pandai bersyukur tentulah lebih bahagia. Selain itu mereka juga dikenal memiliki pandangan yang lebih baik terhadap hidupnya, bertingkah laku lebih baik di sekolah hingga lebih bisa diharapkan ketimbang teman-temannya yang kurang bersyukur. “Lebih pandai bersyukur mungkin adalah hal yang diperlukan oleh masyarakat kita untuk menumbuhkan generasi yang siap membuat perbedaan pada dunia,” kata peneliti Giacomo Bono, PhD, seorang profesor psikologi dari California State University.
2.      Meningkatkan kesejahteraan, Sebuah studi pada tahun 2003 yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology, rajin bersyukur dapat mendorong kesejahteraan seseorang. Pandangan hidup orang yang melakukannya pun jadi lebih cerah serta memunculkan hal-hal positif yang lebih besar pada orang tersebut.
3.      Nilai akademis yang lebih baik, Siswa sekolah menengah yang pandai bersyukur terbukti memiliki nilai akademik yang lebih bagus, termasuk dalam hal integrasi sosial dan kepuasan terhadap hidup daripada rekan-rekan mereka yang kurang bersyukur. Hal ini diungkap sebuah studi pada tahun 2010 yang ditampilkan dalam Journal of Happiness Studies. Peneliti juga menemukan bahwa remaja yang pandai bersyukur lebih jarang mengalami depresi atau mudah cemburu. “Lagipula jika dikombinasikan dengan studi sebelumnya, penggambaran manfaat rasa syukur itu lebih jelas terlihat saat remaja,” ungkap peneliti.
4.      Menjadi teman yang lebih baik bagi orang lain, Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2003 dalam Journal of Personality and Social Psychology, rasa syukur juga dilaporkan dapat mendorong perilaku sosial yang positif seperti membantu orang lain yang tertimpa masalah atau memberikan dukungan emosional pada orang lain. 
5.      Tidur lebih nyenyak, Menuliskan berbagai hal yang patut disyukuri sebelum beranjak tidur dapat membantu seseorang tertidur lebih nyenyak. Fakta ini diungkap sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Applied Psychology: Health and Well-Being. Secara spesifik, peneliti menemukan bahwa ketika seseorang menghabiskan waktu 15 menit untuk menuangkan segala hal yang mereka syukuri ke dalam sebuah jurnal sebelum tidur maka orang yang bersangkutan akan lebih cepat tertidur dan tidur lebih lama.
6.      Memperkuat hubungan dengan pasangan, Sebuah studi yang ditampilkan dalam jurnal Personal Relationship mengungkapkan bahwa mensyukuri setiap hal terkecil yang dilakukan pasangan membuat hubungan seseorang dengan pasangannya dijamin akan lebih kuat. Sama halnya jika Anda membuat jurnal tentang segala hal yang Anda syukuri dari pasangan karena hal itu juga akan memberikan dampak positif bagi hubungan.
7.      Menjaga kesehatan jantung, Pada tahun 1995, sebuah studi yang dipublikasikan dalam American Journal of Cardiology menunjukkan bahwa apresiasi dan emosi positif dapat dikaitkan dengan perubahan variabilitas detak jantung. Hal ini dianggap bermanfaat dalam terapi pengobatan hipertensi dan mengurangi kemungkinan kematian mendadak pada pasien gagal jantung kongestif dan penyakit jantung koroner.
8.      Memperkuat moral tim, Atlit yang pandai bersyukur lebih sedikit mengalami kelelahan dan lebih banyak mendapatkan kepuasan hidup, termasuk kepuasan terhadap kinerja timnya.
9.      Sistem kekebalan yang lebih sehat, Rasa syukur juga dikatakan berkaitan dengan optimisme sehingga mendorong sistem kekebalan tubuh menjadi lebih sehat. Salah satunya dibuktikan oleh sebuah studi dari University of Utah yang menunjukkan bahwa mahasiswa jurusan hukum yang stres namun tetap optimis terbukti memiliki lebih banyak sel-sel darah yang meningkatkan kesehatan sistem kekebalan ketimbang rekan-rekan mereka yang pesimis.
10.  Mencegah emosi negatif akibat datangnya musibah, WebMD melaporkan bahwa musibah dapat mendorong munculnya rasa syukur dan hal itu dapat meningkatkan perasaan saling memiliki sekaligus menurunkan stres.
Namun sebaliknya, hukuman yang akan diberikan oleh Allah bagi orang yang kufur nikmat itu berupa: pertamamencabut nikmat darinya, kalau dia kaya misalnya maka ia akan jatuh miskin. kedua tidak ada keberkahan padanya, sehingga hidupnya menjadi tidak tenang, tidak bahagia, gelisah, stress meski ia hidup di tengah limpahan harta dan popularitas sekalipun. Dan diakhirat nanti akan dimasukkan ke dalam neraka. Kita semua berlindung dari padanya. (Tafsir At-Thobarii dan Tafsir Fii Dzilaail Quran)[6].

C.      Bekerja Untuk Meraih Rezeki Allah SWT
Bekerja  adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.[7]
Adapun arti rezeki ialah suatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup seperti makanan dll. Menurut ahli Sunnah Wal AJama’ah “rezeki itu sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, meskipun diperoleh dari jalan haram, seperti hasil curian, judi, penipuan, dll. Hendaklah kita selalu berusaha keras memohon ke hadirat Allah SWT, dalam setiap do’a agar kita senantiasa di beri-Nya rezki yang halal lagi baik.[8]
Rezeki terdiri dari dua jenis. Rezeki yang kita cari dan rezeki yang datang dengan sendirinya. Dalam riwayat, rezeki yang datang kepada kita disebut sebagai “rezeki thâlib” (yang mencari) dan rezeki yang kita cari dinamakan “rezeki mathlûb (yang dicari).”
Rezeki thâlib dan yang telah ditentukan (mahtum) adalah rezeki berupa keberadaan, usia, segala fasilitas, lingkungan, keluarga, dan segala potensi dan sebagainya dari jenis rezeki ini, memberikan kemampuan yang diperlukan dan ketelitian untuk berusaha, berupaya dan bekerja sehingga dengan demikian gerbang pintu rezeki matlub dan yang bersyarat akan terbuka.
Rezeki mahtum (yang ditentukan) tidak dapat berubah dan berganti, bertambah dan berkurang. Dan hal ini bergantung pada bagaimana pekerjaan pendahuluan rezeki yang dicari itu dipersiapkan dan kualitas perangkapan, pengaturan dan penataannya dapat menambah dan mengurangi rezeki matlub.[9]
Sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan yang bisa membawa manfaat dan berkah bagi manusia atau kita yang menjalaninya. Pekerjaan yang halal dan baik pun harus diimbangi oleh orang/pekerja yang baik dan jujur. Sebab tiada gunanya jika pekerjaan yang baik namun dilakukan dengan tidak benar, tidak jujur, dan sebagainya. Bekerja dalam upaya mendapatkan rezeki haruslah dilakukan dengan kemampuan yang terbaik, kedisiplinan penuh, jujur, dan ikhlas, sehingga keberkahan rezeki yang kita harapkan pun akan kita dapatkan, dan pada akhirnya akan berujung pada kehidupan yang tenang dan tenteram.
Dalam bekerja, kita/semua orang tentu saja berharap mendapatkan rezeki agar bisa kita berikan dan nafkahkan kepada keluarga. Nafkah tersebut akan menjadi darah, mengalir ke seluruh anggota tubuh, serta menggerakkan seluruh pikiran dan sikap dalam keseharian. Jika nafkah tersebut berasal dari hasil kerja yang tidak baik, misalnya syubhat, makruh, ataupun haram, tentu darah yang mengalir dalam tubuh keluarga kita menjadi haram. Begitu pula sebaliknya.
Makanan yang kita makan akan menumbuhkan dan mengganti sel-sel tubuh yang telah rusak. Sari makanan akan menjadi unsur-unsur darah, otak, daging, tulang-belulang, dan organ tubuh lainnya. Jika sari makanan yang dimakan adalah barang haram, maka darah yang mengalir ke seluruh organ tubuh akan dialiri dengan darah yang haram. Semua itu tentunya akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. Mungkinkah seseorang bisa berfikir jernih dengan otak yang haram? Bisakah seseorang menunaikan ibadah dengan baik jika seluruh organ tubuhnya diliputi unsur-unsur yang haram?
Nafkah haram tidak hanya mempengaruhi tubuh lewat makanan dan minuman, tetapi juga menjadikan semua hal menjadi haram. Misalnya saja pakaian, perabot rumah tangga, perlengkapan ibadah, dan segala sesuatu yang dibeli dengan nafkah haram tadi. Dengan begitu, maka isi tubuh kita kemungkinan juga ada unsur haramnya, ditambah lagi jika ditutup dengan pakaian yang haram, apakah kita bisa mempersembahkan nilai yang baik di sisi Allah SWT? Sebaliknya, dengan nafkah yang halal, makanan yang dibeli pun menjadi halal, pakaian halal, perlengkapan ibadahnya halal, perabot rumah tangganya halal, dan biaya pendidikan anak-anaknya halal. Semua yang diperoleh dengan nafkah halal akan menjadikan barang-barang halal pula. Kita akan merasa lega apabila memakan makanan halal dan menggunakan barang-barang halal. Tidak merasa curiga, was-was, takut, dan khawatir. Ibadah pun bisa dilaksanakan dengan baik dan khusyuk. Anak-anak bisa belajar dengan baik, berpikir jernih, dan dapat merasakan betapa besar keagungan dan nikmat Allah SWT. Dengan harapan setiap ibadah kita diterima Allah SWT, doa-doa kita diperkenankan-Nya, kehidupan kita selalu diberkati dan diridhai-Nya, dan anak-anak tumbuh menjadi anak yang saleh.
Hendaklah kita senantiasa bekerja dan berupaya keras agar pekerjaan yang kita laksanakan selalu benar dan dilakukan dengan jujur. Selalu berada dalam batas-batas kebaikan dan kebenaran sehingga hasil yang didapatkan, rezeki atau gaji menjadi harta yang halal dan penuh berkah. Bekerja dengan hati nurani dan kejujuran akan mendatangkan harta dan rezeki yang berkah. Kita dapat melihat seseorang yang mungkin pendapatannya kecil, tetapi memiliki keluarga yang harmonis, anak tidak pernah sakit, suasana keluarga tenang, taat beribadah, selalu merasa cukup, dapat bersyukur dengan apa yang ada, atau bahkan sering mendapatkan rezeki yang tak terduga. Nafkah yang berkah, harta yang halal, diawali dengan niat yang baik, semangat kerja yang tinggi, penuh tanggung jawab, dan tentunya jujur.[10]

D.      Cara Bersyukur dan Berterima Kasih Atas Rezeki Allah SWT[11]
Bersyukur punya dampak besar bagi kehidupan manusia. Hal ini sering diajarkan oleh banyak orang, namun mungkin banyak juga yang melupakannya. Terlebih ketika didera oleh beratnya tekanan dalam hidup, mengucap syukur sering lalai dilakukan.
Sekalipun untuk hal-hal kecil, yang mungkin dianggap remeh atau sudah biasa dinikmati, bersyukurlah. Sebab itu akan berpengaruh besar dalam kehidupan anda.
Lalu bagaimana sebaiknya cara bersyukur dilakukan? Berikut ini beberapa cara untuk bersyukur kepada Tuhan.
1.      Saat beribadah. Bagi yang beragama Islam, resapi bacaan alhamdulillahirobbil ‘alamin yang selalu dibaca setiap ketika sholat. Begitupun seusai sholat, dalam doa ucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah dilimpahkannya. Atau juga dengan melakukan sujud syukur. Begitu juga untuk yang beragama lainnya, bisa melakukan peribadatan sesuai cara yang diajarkan. Intinya, biasakan untuk bersyukur tiap kita beribadah, dan resapi saat kita melakukannya.
2.      Ketika bangun di pagi hari. Saat anda bangun tidur, ucapkan syukur karena anda diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup di hari ini dengan mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat. Anda diberi energi untuk ACTION dan berupaya mencapai yang anda cita-citakan.
3.      Berikan senyuman. Senyum merupakan sebuah bentuk ungkapan syukur atas segala nikmat yang telah diterima. Dan kita ikut menyebarkan energi positif ini pada orang lain agar bisa ikut merasakannya.
4.      Ucapan terima kasih. Mengucapkan terima kasih kepada orang lain juga cara simpel untuk mewujudkan rasa syukur kita. Berkat kehendak Tuhan yang dilakukan melalui orang tersebut, apa yang kita inginkan jadi terlaksana.
5.      Acara syukuran. Mengadakan acara syukuran merupakan bentuk perwujudan syukur ketika hajat yang diinginkan tercapai. Acara ini positif karena juga bisa menambah erat hubungan dengan sesama.
6.      Memberi hadiah. Memberikan hadiah pada seseorang juga bisa menjadi suatu ungkapan syukur kepada Tuhan.
7.      Lakukan kegiatan sosial. Mengadakan kegiatan sosial atau hal-hal yang kelihatannya sepele seperti membersihkan lingkungan, juga merupakan wujud syukur kita kepada Tuhan.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah S.W.T terdiri dari empat komponen, yaitu[12]:
1.      Syukur dengan Hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah” (QS. An-Nahl: 53). Syukur dengan hati dapat mengantar seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya kemurahan dan kasih sayang Allah sehingga terucap kalimat tsana' (pujian) kepada-Nya.
2.      Syukur dengan Lisan
Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari Allah, maka spontan ia akan mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah). Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah.
Sebab ia yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya. “Al” pada kalimat “Alhamdulillah” berfungsi sebagai “istighraq” yang mengandung arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdulillah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah SWT, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan segala pujian kepada Allah. Pada saat kita memuji seseorang karena kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada Allah SWT. Sebab, Allah adalah Pemilik Segala Kebaikan.
3.      Syukur dengan Perbuatan
Syukur dengan perbuatan mengandung arti bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhoi-Nya.
Misalnya untuk beribadah kepada Allah, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat Allah harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat kebaikan. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Allah sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang melihat atsar (bekas/wujud) nikmat-Nya pada hamba-Nya” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr). Maksud dari hadits diatas adalah bahwa Allah menyukai hamba yang menampakkan dan mengakui segala nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Misalnya: Orang yang kaya hendaknya membagi hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu membagi ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi nasihat, dsb. Maksud membagi diatas bukanlah untuk pamer, namun sebagai wujud syukur yang didasaari karena-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)” (QS. Adh-Dhuha: 11).
4.      Menjaga Nikmat dari Kerusakan
Ketika nikmat dan karunia didapatkan, cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk menjaga nikmat itu dari kerusakan. Misalnya: Ketika kita dianugerahi nikmat kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Demikian pula dengan halnya dengan nikmat iman dan Islam, kita wajib menjaganya dari “kepunahan” yang disebabkan pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman. Untuk itu, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam kita dengan shalat, membaca Al-Qur'an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdoa.
Kita pun harus membentengi diri dari perbuatan yang merusak iman seperti munafik, ingkar dan kemungkaran. Intinya setiap nikmat yang Allah berikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.