1.
Pengertian Ar-Rahn ( Pegadaian )
Menurut bahasanya Rahn adalah tetap dan lestari,
seperti juga dinamai al habsu, artinya penahan, seperti dikatakan ni’matun rahinah, artinya
karunia yang tetap dan lestari. Teknisnya
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa Rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.
Muhammmad Syafi’i Antonio dalam bukunya, Bank
Syariah : Dari Teori ke Praktik, bahwa pengertian gadai atau Ar-Rahn, mengutip pandangan Sayyid Sabiq, adalah
menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diberikan oleh si piutang. Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang
dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Selain itu Ar-Rahn merupakan harta jaminan
hutang yang harus dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu, jika penghutang
mengalami kesulitan untuk melakukan pembayarannya.
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang
dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak
yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
Menurut Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang
yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau
oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang
tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang member utang untuk menggunakan
barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang
berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum pegadaian
adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin
untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana kemasyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab
Undang – Undang Perdata Pasal 1150 diatas. Tugas pokoknya adalah memberikan
pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai aga masyarakat tidak dirugikan
oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cendrung memanfaatkan kebutuhan
dana mendesak dari masyarakat.
Gadai dalam fiqh disebut
Rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan
kepercayaan. Sedangkan menurut Syara’
artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak,
tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, Rahn berarti tetap berlangsung dan
menahan sesuatu barang sebagaimana tanggungan utang. Dalam definisinya Rahn adalah barang yang digadaikan, Rahin adalah orang yang menggadaikan,
sedangkan Murtahin adalah orang yang
memberikan pinjaman
Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang
piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan
sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan Syara’ seabagai jaminan
atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang nya itu. Firman allah dalam
surat Al-Muddatstsir (74) ayat 38, ‘’setiap
diri bertanggung atas apa yang telah diperbuatnya ‘’, dan surat Al- Baqarah
(2) ayat 283 menyebutkan, ‘’ Hendaknya
ada barang tanggungan yang dipegang ‘’.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam
kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda
yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya,
apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.
Sedangkan Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam kitabnya Fathul Wahab, mendefenisikan rahn
adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari
suatu yang dapat di bayarkan dari harta benda itu bila utang tidak di bayar.
Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. Dalam
bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ
رَاهِنَةٌ bermakna nikmat
yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan
dasar firman Allah,
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas
perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)
Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua
ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap
ditempatnya.
Ibnu Faris
menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya
sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata
‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.”
Adapun definisi rahn dalam istilah Syariat,
dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan
utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam
tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang
tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu
melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan
utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu
melunasinya.”
Sedangkan Syekh Al-Basaam
mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan
pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila
orang yang berutang tidak mampu melunasinya.
2.
Landasan Ayat & Hadist Ar-Rahn
Utang-piutang dengan sistem gadai ini
diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum
muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
(Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat pernyataan “dalam
perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam
perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan”
dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini
(ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian,
sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan
beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim
no. 1603)
Dari
Anas ra berkata, rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada seseorang
Yahudi di madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR.
Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Dari
Abi Hurairah ra, Rasulullah saw berkata,’’Apabila dad ternak di gadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), Karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)-nya. Apabila ternak itu di gadaikan, maka air
susunya yang deras boleh di minum (oleh orang yang menerima gadai, karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)-nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka
ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya (HR. Jamah kecuali Muslimdan
Nasa’i).
Dari
Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata,’’barang yang di gadaikan itu
tidak boleh di tutup oleh pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah
keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya)
(HR.Syafi’I dan Daruqutni).
Demikian juga, para ulama bersepakat
menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan
perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam
al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada
keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). Demikian
juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn
diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan
dalam keadaan safar (bepergian).
Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak
mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan,
‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan
ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi
sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu
binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang
digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan.”
(Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam.
3.
Manfaat Ar-Rahn ( Gadai )
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari
prinsip Ar-Rahn adalah sebagai berikut :
a.
Menjaga
kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan bank.
b.
Menberikan
keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset
atau barang ( Marhun ) yang dipegang oleh bank..
c.
Jika
Rahn diterapkan dalam mekanisme penggadaian, sudah barang tentu akan sangat
membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama didaerah-daerah.
Adapun manfaat yang langsung didapat bank
adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan
dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan Fidusia
( penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga
harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara
umum.
Selain itu manfaat Ar-rahn dalam
perbankkan ada 2 yaitu :
a.
Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap,
artinya sebagai akad tambahan ( jaminan/collateral ) terhadap produk lain
seperti dalam pembiayaan bai’
al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
b.
Sebagai Produk Tersendiri
Dibeberapa Negara islam termasuk
diantaranya adalan Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternative dari
pegadaian konvensional. Beda nya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah
tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya Ar-Rahn dan bunga
pegadaian adalah dari sifat bunga yang biasa berakumulasi dan berlipat ganda,
sedangkan biaya Rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar