Jumat, 08 Maret 2013

Ar-Rahn


1.                  Pengertian Ar-Rahn ( Pegadaian )

Menurut bahasanya Rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al habsu, artinya penahan, seperti dikatakan ni’matun rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari. Teknisnya  Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa  Rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Muhammmad Syafi’i Antonio dalam bukunya, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, bahwa pengertian gadai atau Ar-Rahn, mengutip pandangan Sayyid Sabiq, adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh si piutang. Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Selain itu Ar-Rahn merupakan harta jaminan hutang yang harus dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu, jika penghutang mengalami kesulitan untuk melakukan pembayarannya.
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang member utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kemasyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang – Undang Perdata Pasal 1150 diatas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai aga masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cendrung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.
Gadai dalam fiqh disebut Rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut Syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, Rahn berarti tetap berlangsung dan menahan sesuatu barang sebagaimana tanggungan utang. Dalam definisinya Rahn adalah barang yang digadaikan, Rahin adalah orang yang menggadaikan, sedangkan Murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman
Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara’ seabagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang nya itu. Firman allah dalam surat Al-Muddatstsir (74) ayat 38, ‘’setiap diri bertanggung atas apa yang telah diperbuatnya ‘’, dan surat Al- Baqarah (2) ayat 283 menyebutkan, ‘’ Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang ‘’.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam kitabnya Fathul Wahab, mendefenisikan rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat di bayarkan dari harta benda itu bila utang tidak di bayar.
Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)
Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.
Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.”
Adapun definisi rahn dalam istilah Syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Sedangkan Syekh Al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya.

2.                  Landasan Ayat & Hadist Ar-Rahn
Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Dari Anas ra berkata, rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi di madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw berkata,’’Apabila dad ternak di gadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), Karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)-nya. Apabila ternak itu di gadaikan, maka air susunya yang deras boleh di minum (oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)-nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya (HR. Jamah kecuali Muslimdan Nasa’i).
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata,’’barang yang di gadaikan itu tidak boleh di tutup oleh pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya) (HR.Syafi’I dan Daruqutni). 
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam.
3.                  Manfaat Ar-Rahn ( Gadai )
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip Ar-Rahn adalah sebagai berikut :
a.              Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b.             Menberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang ( Marhun ) yang dipegang oleh bank..
c.              Jika Rahn diterapkan dalam mekanisme penggadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama didaerah-daerah.
Adapun manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan Fidusia ( penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
Selain itu manfaat Ar-rahn dalam perbankkan ada 2 yaitu :
a.                  Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan ( jaminan/collateral ) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
b.                 Sebagai Produk Tersendiri
Dibeberapa Negara islam termasuk diantaranya adalan Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Beda nya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya Ar-Rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang biasa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya Rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar