A.
Penafsiran Ayat Alquran dengan Ayat
Alquran
Tafsiran Alquran dengan
Alquran merupakan model penafsiran Alquran yang paling tinggi martabatnya. Ayat
Alquran ditafsirkan oleh ayat yang lain. Contohnya:
Artinya: “Demi
langit dan Thariq (yang datang pada malam hari). Tahukah
kamu apakah thariq itu? (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.”(Ath-Thariq:1-3)
kamu apakah thariq itu? (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.”(Ath-Thariq:1-3)
Jadi kata An najmu Ats-Tsaqib(bintang yang cahayanya menembus) merupakan
penafsiran kata Ath-thariq.
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”(Al-baqarah : 219)
Pada ayat yang
lain dijelaskan mengenai pengertian dosa(itsmun)
dalam khamar, yaitu pada surat al-a’raf ayat 33.
Artinya: “ Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa(itsmun), melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.”
Itsmun
mencakup segala kemaksiatan yang menyebabkan dosa. Ada dua pendapat yang
mengatakan bahwa itsmun berarti khamr saja, bukan tindak maksiat yang lain,
seperti pernah dikatakan oleh seorang penyair:
Kuteguk khamr hingga akalku tersesat
Begitulah khamr bisa menghilangkan akal
Dikatakan dalam Ash-shahah:
“Kadang-kadang khamr dinamakan juga itsmun.”
Firman Allah Swt dalam Surat
Yunus:62
Artinya: “ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran atas mereka
dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Kata ‘wali-wali Allah’ ditafsirkan oleh firman
Allah sebagai berikut:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”(yunus;63)
Penafsiran ini merupakan
bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud wali-wali
allah itu adalah orang yang mengetahui hal-hal yang ghaib atau memilki keramat
atau yang pada atas kuburannya terdpat kubah serta keyakinan-keyakinan yang
bathil.
Setiap orang yang beriman
kepada allah, mentaati perintah-perintahnya, menjauhi larangannya, maka ia
termasuk waliyullah. Karamah bukanlah syarat, kadang tampak dan kadang pula
tidak.
Terkadang memang terjadi
beberapa hal yang aneh pada diri seseorang sufi dan ahli bid’ah. Ini adalah
sihir, sebagaimana disinyalir oleh Allah:
..... terbayang kepada Musa
seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka.”(thaha:66)
Hal-hal ini sering terjadi
pada diri orang-orang majusi di india atau tempat-tempat lainnya.
B.
Penafsiran
Ayat Alquran dengan Hadits
Menafsirkan ayat Alquran degan
hadits shahih penting sekali, karena
Rasulullah Saw merupakan manusia yang paling tahu apa yang dimaksud Allah
Ta’ala dalam Ayat Al-quran itu. Sebagaimana dikatakan didalam Alquran,
“Tiadalah
yang diucapkannya itu(Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diturnkan(kepadanya).”(An-Najm:3-4)
Allah Swt menurnkan Alquran
kepadanya agar ia menjelaskan kepada manusia, sebagaimana firman Allah.
“Dan kami telah turunkan Adz-Dzikir(Al-Quran) kepadmu, agar kamu
menerangkan kepada umat manusiaapa yang telah diturnkan kepada mereka dan
supaya memikirkan.”(An-nahl: 44)
Rasulullah Saw bersabda,
“Ingatlah, sesungguhnya saya diberi alquran beserta semisalnya(keterangannya).”(HR. Abu Dawud)
1.
Firman Allah Swt
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka Quwwatun(kekuatan apa saja) yang kamu sanggupi.”(Al-Anfal: 60)
Kata Quwwatun
daitafsirkan oleh sabda Nabi saw dalam Haditsnya:
“Ketahuilah bahwa Al-Quwwatu(kekuatan) itu adalah panahan(3 kali).”(HR.
Abu Dawud)
Al-Qurthubi berkata:
“ditafsirkan ‘kekuatan’ dengan panahanan meski kekuatan bis apula berupa alat
perang yang lain karena panahan lebih mudah menembus sasaran lawan
penggunaannya. Terkadang panah dapat pula mengenai panglima perang dari pihak
musuh, sehingga orang-orang yang berada di belakangnya atau balatentaranya
menjadi kalang kabut dan porak poranda.
Dewasa ini, peralatan perang
modern masih saja bertumpu pada panahan . oleh karena itu, islam sangat
menganjurkan umatnya untuk mempelajarinya, lebih-lebih terhadap generasi muda.
Hendaknya mereka menekuni bidang ini juga renang dan mengendarai kenderaan dan
menjadikannya sebagai kegiatan yang diprioritaskan dari pada kegiatan atau
permainan-permainan lainnya. Rasulullah Saw bersabda
“Barangsiapa siapa telah mengajarkan panahan, kemudian melupakannya maka
ia tidak termasuk golonganku atau ia telah berbuat maksiat.”(HR.Muslim)
Suatu ketika Nabi pernah lewat
di suatu tempat, sedang sekelompok orang telah masuk Islam di situ sedang
berloomba memanah, lalu Nabi berkata,
“Ayo memanahlah wahai anak keturunan Ismail kerana bapak kalian dahulu
juga seorang pemanah. Ayo, memnahlah.
Aku ikut kelompok bani fulan.” Maka satu dari kedua kelompok itu tidak mau
memanah. Lalu rasulullah saw brtanya ‘ mengapa kalian tidak mau memanah?”
mereka menjawab:” bagaiamana kami hendak memanah sedangkan engkau bersama
mereka?” Maka Nabi bersabda,”Memanahlah aku bersama kalian semuanya.”(HR.
Al-bukhari)
2.
Allah berfirman,
“ Bagi orang –orang yang berbuat baik ada
pahala yang terbaik.(suraga) dan tambahan (Ziyadah).”(yunus:26)
Dengan ‘melihat wajah Allah’,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah sabdanya:
“Maka hujabpun dibuka, dan mereka (penduduk surga) tidak diberi sesuatu
yang lebih mereka sukai daripada melihat Rabb mereka. Kemudian Rasulullah saw
membaca ayat ini (yunus:26)yang artinya : “Bagi orang-orang yang berbuat baik,
ada pahala yang terbaik(surga) dan tambahan(HR.Muslim)
3. Dari sahabat ibnu Mas’ud ra, ia berkata:
“Ketika turun ayat; “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
Iman mereka dengan kezhaliman”(Al-An’am:82), hal itu terasa berat bagi kaum
muslimin. Para sahabat bertanya: “Siapa diantara kami yang tidak menzalimi
dirinya? Rasulullah Saw menjawab: “Bukan itu yang dimaksud, tetapi yang
dimaksud adalah syirik. Tidakkah engkau mendengarkan ketika Luqman berkata
kepada putranya: Wahai putraku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya
syirik itu adalah kezaliman yang besar.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Faedah atau kesimpulan yang
dapat kita petik dari ayat dan hadits diatas adalah bahwa derajat kezaliman itu
bermaca-macam. Adapun kemaksiatan tidak termasuk dalam perbuatn syirik. Orang
yang tidak menyekutukan Alla dengan sesauatu, maka ia akan memperoleh
ketentraman dan ia termasuk orang yang mendapat petunjuk. [1]
C.
Penafsiran Ayat Alquran dengan Perkataan
Para Sahabat
Bagian ketiga dari “Tafsir Ma’tsur”
adalah “Tafsir sahabat”. Ini juga termasuk tafsir yang bisa diterima sebagai
pegangan. Karena par sahabat telah berkumpul dengan Rasulullah Saw dan mereka
telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan
turunnya. Mereka tahu asbabun nuzul, mereka mempunyai kesucian jiwa,
keselamatan fitrah dan kesungguhan dalam memahami secara benar dan selamat
terhadap kalam allah swt, bahkan menjadikan mereka mampu menemukan
rahasia-rahasia Alquran lebih banyak dibanding siapapun.
Imam Al Hakim berkata ; “
sesunguhnya para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunnya adalah
memilki hukum marfu’, artinya bahwa tafsir para sahabat ini mem[unyai kedudukan
hukum yang sana dengan hadits Nabawi yang diangkat kepada Nabi Saw. Dengan
demukian, tafsir para shabat termasuk ma’tsur.
Imam sayuti r.a dalam kitabnya
Al Itqan, berkata ; “ para ahli
tafsir termasyhur dari kalangan sahabat ada sepuluh orang. Khalifah empat(Abu
bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin ka’ab, Zaid
bin tsabit, Abu Musa Al Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Diantara Khulafaur
Rasyidin, yang paling banyak menjadi
sumber riwayat adalah Ali bin abu Thalib. Adapun Khalifah tiga lainnya amat
sedikit riwayat bersumber dari mereka. Karena tidak lain bahwa mereka lebih
dahulu meninggal dunia.”
Sebab sedikit riwayat dari Abu
Bakar,Umar, dan Utsman, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Suyuthi adalah karena
masa kekhalifahan mereka sangat singkat dan mereka lebih dahulu meninggal. Dari
segi lain, mereka hidup dikalangan masyarakat yang kebanyakan tahu tentang
Alquran. Mereka menemani Rasulullah Saw sehingga mengetahui rahasia-rahasia,
makna-makna, dan hukum-hukum Alquran. Lain Ali r.a dia hidup setelah khalifah
tiga dalam waktu di mana islam makin mmeluas. Banyak orang orang asing masuk
agama baru(islam). Tumbuh pula generasi baru. Putra-putra para sahabat, mereka butuh mempeajari
al-quran. Mereka perlu mempelajari dan
memahami rahasia-rahasia dan himahnya. Oleh sebab itu,banyak riwayat yang
bersumber dari Sayyidina Ali
daripada khalifah lainnya.
Para sahabat yang
termasyhur sebagai ahli tafsir yaitu :
1) Abdullah bin Abbas
Beliau termasuk tokoh pilihan
umat, putra paman Rasulullah Saw. Yang didoakan oleh Rasulullah Saw. Dengan
sabdanya: “Allahumma ya Allah, pahamkanlah dia kepada agama dan
ajari dia tentang takwil.” Dialah yang bergelar Turjumul Quran.
Abdullah bin Abbas adalah
sahabat paling alim tentang tafsir alquran. Dia memilki kelebihan yang
menakjubkan , bahkan menarik perhatian para pembesar sahabat Umar bin Khatab
memasukkannya ke dalam “Majelis Syura” beserta para sahabat yang mulia untuk
bermusyawarah. Sering permasalahan dilempar kepadanya. Inisiatif umar ini
dikecamoleh sebagian sahabat, sehingga ada sebagia mereka berkata “ mengapa
engkau masukkan anak ini bersama kami. Di tempat kami ada anak yang lebih tua
daripada dia!”
Guru- guru ibnu abbas
Guru-guru ibnu abbas , dimana
ia menimba ilmu dari mereka setekah Rasulullah saw, dan sekaligus mempengaruhi
perjalanan hidup dan sikapnya adalah Umar in Khatab, Ubai bin Ka’ab, Ali bin
Abu Thalib, Zaid bin tsabit. Mereka berlima (termasuk Rasulullah Saw) adalah
maha guru baginya, yang sebagian besar ilmunya dia ambil dari mereka. Para guru
tersebut begitu besar pengaruh mereka terhadap sikap dan wajah keilmuan ibnu
abbas.
2. Abdullah bin Mas’ud
Termasuk
orang terkenal dari kalangan sahabat yang ahli tafsir yang menuqilkan kepada
kita dan ucapan –ucapan Rasulullah Saw. Dia termasuk orang yang terdahulu masuk
Islam, dimana tidak ada orang Islam dibumi selain mereka. Dia Khadam Rasulullah
Saw, yang sering memakaikan teropah beliau. Dia selalu berjalan bersama beliau,
sehingga dari hubungan erat semacam ini dia memilki sikap dan adab yang amat baik. Oleh sebab itu,
banyak yang menganggap bahwa dia adalah sahabat yang paling tahu tentang
Alquran dan lebih mengetahui “Muhkamat dan mutasyabih” bahkan tahu halal dan
haramnya. [2]
D.
Asbabun Nuzul
1.
Ali Imran Ayat 130
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(Qs.Ali
Imran: 130)
Tentang
sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering
mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan
pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu
pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi
bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li
Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu
Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa
riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan
lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan
beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu
buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih
sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya
jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika
itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus
real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah
total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari
jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan
dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah
sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh
tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang
berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan
penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi
ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu
diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal
itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para
rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan
setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa
terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah
yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam
hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski
sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit,
Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski
berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu
tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini
berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut
penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang
mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]:
289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah
hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan
kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum
muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu
(lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian
Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan
harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al
Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang
diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan
dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka.
Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia
takuti.
Ayat ini
menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa
dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.Hal ini menunjukkan bahwa
jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di
dapatkan juga akan turut berkurang.Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu
menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama
‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
Dari Abu
Hurairah berkata, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba
di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta
ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?”
“Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga
berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya
untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya
dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum
muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka
berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah
beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat
keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui
saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti
perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan
rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah
melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta
dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri
bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di
dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum
pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas
mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam
riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada
Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.”
(Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan
Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang
tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin
mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat
sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat
selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar
tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk
orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap
transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis
kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga
pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang
bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal
tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan
harta riba dan khianat terhadap amanat.
Abu Bakar
al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka
tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa
menzalimi sesama.”
Ayat di
atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta
karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’.[3]
Dapat kita
simpulkan dari penjelasan diatas bahwa riba itu diharamkan karena
a) Riba dapat memutuskan rasa saling belas
kasih diantara ssesama kaum mukmini, dan setiap sesuatu yang dapat menyebabkan
putusnya tali persaudaraan diantara kaum mukminin itu haram hukumnya. Sebab
oarang-orang yang beriman itu wajib hidup bersaudara, saling tolong menolong,
dan cinta mencintai, memberikan pinjaman kepada sesama saudaranya yang beriman
dalam tempo waktu yang cukup lama dengan tidak mengharapkan pahala dari Allah
Swt.
b) Untuk menjaga harta orang muslim agar
tidak dimakan (diambil) dengan cara yang bathil(tidak halal)
c) Untuk mengarahkan setiap muslim agar
mengembangkan hartanya melalui cara-cara usaha yang mulia, bersih dari usaha
kotor, penipuan dan kecurangan.
d) Menutup pintu yang dapat menyeret seorang
muslim kepada permusuhan antara sesama
saudaranya sesama muslim, membenci dan tidak menyukai.
e) Untuk membuka pintu-pintu kebaikan di hadapan setiap orang muslim agar menumpuk
bekal untuk akhiratnya, dengan cara memberikan pinjaman kepada saudara muslim
lainnya tanpa bunga, memberi tenggang waktu kemudahan pembayaran tanpa harus ada bunga, memberikan kemudahan bagi
kepentingannya dengan penuh rasa kasih sayang dengan mengharapkan ridha dari
Allah Swt. Dengan cara seperti itu berarti telah menyebarkan kasih sayang di
antara sesama kaum muslimin dam memperat jiwa persaudaraan.
Allah melarang umatnya memakan riba
sesungguhnya karena untuk membuat jiwa merasa takut akan akibat buruk
perbuatan terus menerus memakan sesuatu yang bukan haknya, sebab allah tidak
mengizinkan kepada seorangpun diantara mereka untuk memakan atau mengambil
harta saudaranya dengan cara tidak yang tidak benar.[4]
2. Al-Baqarah Ayat 282
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(Al-Baqarah:282)
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam
al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan
masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam
yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman
dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar
bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan
kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi.
Syarat-syarat
yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:
1) Untuk setiap agama, baik hutang maupun
jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan berdokumen.
2) Harus ada penulis selain dari kedua pihak
yang bertransaksi, namun berpijak pada pengakuan orang yang berutang.
3) Orang yang berhutang dan yang memberikan
pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak meremehkan kebenaran dan
menjaga kejujuran.
4) Selain tertulis, harus ada dua saksi yang
dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan proses transaksi.
5) Dalam transaksi tunai, tidak perlu
tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi. [5]
Adapun Hukum-hukum atau aturan piutang
yaitu
1. Membukukan atau mencatat hutang apabila
ditunda sampai lebih dari tiga hari. Hukum ini diisyaratkan oleh firman-Nya, “
Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang telah ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.”
2. diperbolehkan menjuak sesuatu dengan cara
“ as-salam”, sebab firman Allah menyatakan “Untuk
waktu yang ditentukan” sebagai dalilnya.menjual secara as salam adalah
menjual sesuatu kepada orang lain dengan
uang dimuka, sedangkan uang diberikan pada saat waktu yang telah disepakati,
dengan syarat barang yang dijual itu telah ditentukan beratt dan takarannya.
3. mencatat hutang piutang, dan penulis wajib
berlaku adil, tidak boleh menambah atau mengurangi ataupun merubahnya, sebab
Alllah berfirman, “... hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.”
4. oranng yang pandai mencatat apabila
dibutuhkan untuk mencatat utang piutang diatara orang-orang yang bertransaksi
utang piutang wajib memenuhi permintaan mereka, karena Allah Swt telah
berfirman,”Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis”, sebagaimana wujud kesyukurannya
kepada Allah Swtt yang telah memberinya kemampuan tulis menulis.
5. Orang yang mendiktekan kepada juru tulis adalah orang yang mempunyai hak (berhutang)
agar imlaknya menjadi bukti kebenaran, sebab Allah Swt berfirman,”dan hendaklah
orang yang berhutang itu menimlakkan (apa yang akan ditulis itu)”, dan Allah
melarang mngurangi (catatan) hutang itu walaupun sedikit, karena firmannya
mengatak(bole)an,” dan janganlah ia mengurangi seditpun daripada hutangnya.”
6. kalau orang yang berhutang itu lemah atau
ada rasa kekhawatiran, hendaknya yang mengimlakkan adalah walinya denagan adil,
tidak menambah ataupun mengurangi hutangitu. Allah berfirman “ jika yang
bergutang itu orang-orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah waliinya mengimlakkannya
dengan jujur.”
7. memperlihatkan hasil catatan dan
disaksikan oleh kedua orang lelaki, dan jika tidak maka satu orang lelaki dan
dua orang perempuan, karena Allah berfirman,” dan opersaksikanlah dengan dua
oranng saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang
laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai.’”
8. haramnya
hukumnya menolak jadi saksi bila diminta untuk memberikan kesaksian,
karena hak seseorang itu sangat bergantung kepada kesaksian dua saksi,
sebagaimana firman Allah Swt: “
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan ) apabila mereka
dipanggil.”
9. sangat dianjurkan mencatat hutang piutang,
banyak ataupun sedikit(nilainya), karena Allah berfirman,”dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya.”
10. dimaklumi kalau tidak mencatat transaksi
(perdagangan) tunai, seperti seseorang membeli satu kwintal kurma atau satu
kwintal gula, namun sisa harganya dibayar besok hari atau beberapa hari
kemudian. Yang demikian ini tidak harus dicatat. Allah berfirman: “ (tulislah
muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan yang tunai yyang kamu
jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak
menulisnya.
11. wajib mempersaksikan jual beli kepada
saksi-saksi. Maka jika ada seseorang menjual rumah, kebun atau mobil maka hendaknya
dicatat dan pencatatan disaksikan oleh kedua orang saksi, karena Allah Swt
berfirman: “ dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
12. tidak boleh mempersulit juru tulis ataupun
saksi, seperti mengajak mereka kesuatu tempat yang jauh atai untuk waktu yang
cukup lama yang menyebabkan pekerjaan mereka terabaikan, atau menyebabkan
hak-haknya terabaikan. Allah berfirman,” dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli.”
13. perintah
bertakwa kepada Allah dan janji Allah kepada orang-orang yang bertakwa, bahwa
Allah akan mengajarkannya kepada mereka sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan
Akhirat mereka, dengan cara memberikan cahaya ke dalam hati mereka dengan yang
dengannya mereka dapat membedakan mana yang hak dan dan man yang bathil, mana
yang menguntungkan dan mana merugikan.
3.
Al Baqarah Ayat 283
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat-ayat sebelum ini, kita telah
katakan bahwa Islam menganjurkan agar hak-hak milik masyarakat dipelihara.
Setiap jenis transaksi bukan tunai atau pembayaran hutang haruslah tercatat dan
dilangsungkan di depan dua saksi supaya tidak berlaku kesalahan atau bila salah
seorang ada yang memungkiri, tidak tercipta kesulitan. Perhatian Islam terhadap
persoalan ini sampai pada tahapan di mana dalam perjalanan pun, lakukanlah
pesan ini dan jika kalian tidak menemukan penulis, maka kokohkanlah transaksi
(jual-beli) itu dengan cara mengambil sesuatu dari pihak yang berutang sebagai
jaminan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang,
adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau
menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya
memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar
pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang
berutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan
pinjaman, maka ia harus membayar utangnya itu tepat pada waktunya, supaya orang
yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana
orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berutang sedemikian besarnya
sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang
berutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang lain.
Penutupan ayat juga menganjurkan kepada
orang-orang Mukmin secara umum supaya tidak berpendek tangan dalam menjelaskan
hak-hak masyarakat, karena Allah Swt mengetahui segala apa yang ada di hati
kalian dan menyembunyikan kebenaran, kendati dalam zahirnya diam dan manusia
tidak melakukan suatu pun tindakan, sehingga merasakan berbuat dosa, namun
sesungguhnya merupakan dosa yang paling besar, karena ruh manusia menjadi kotor
karenanya.
Dari ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1. Transaksi bukan tunai, janganlah
ditegaskan atas janji lisan, melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian
dan sekiranya perlu, transaksi itu dikokohkan dengan mengambil jaminan.
2. Dengan jalan membayar hutang tepat pada
waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi
masyarakat terjaga.
3.
Al
Baqarah Ayat 280
Artinya: “Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”(Al-Baqarah:280)
Sebagai lanjutan ayat-ayat
terdahulu, yang merangsang orang-orang Mukmin agar membayar infak dan melarang
mereka mengambil riba, ayat ini menyinggung poin moral sehubungan dengan bukan
hanya dalam utang kalian jangan mengambil riba, malah ketika dalam masa yang
sudah dijanjikan orang yang berutang tidak dapat membayar maka berilah dia
kesempatan, dan lebih mulia dari itu bebaskanlah utangnya itu dan ketahuilah
bahwa pemberianmu ini tidak akan terbiar tanpa jawaban dan Allah Swt akan
menggantinya di hari kiamat tanpa dikurangi. Jika anjuran-anjuran agama
dilaksanakan dalam masyarakat, maka ketulusan akan bertambah berlipat ganda?
Keperluan orang-orang miskin akan terpenuhi dan juga orang kaya akan
terbebaskan dari kerakusan dan kebakhilan dan keterkaitan dengan dunia serta
dinding antara sikaya dengan simiskin dapat diperkecil.
Dari ayat ini kita ambil
beberapa pelajaran;
1. Masalah yang utama dalam infak dan
memberikan utang adalah untuk mewujudkan kesenangan dan kelapangan bagi
orang-orang miskin, maka tidak boleh orang kaya memberikan pinjaman membuat
orang miskin itu kembali jatuh miskin dan tidak berkemampuan membayarnya.
2. Islam pendukung sejati orang-orang
tertindas dan dengan diharamkannya riba dan dianjurkannya infak,
kekosongan-kekosongan ekonomi masyarakat dapat terpenuhi.
3. Mencari keridhaan Allah Swt dan keridhaan
Khaliq lebih baik dari mencari penghasilan. (IRIB)
5. Al Baqarah Ayat 275
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al.Baqarah:275)
[174]Riba itu ada dua macam:
nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang
yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak
tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum
turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Telah disebutkan bahwa Allah Swt dalam 14
ayat secara beruntun pada surat al-Baqarah menyeru orang-orang Mukmin agar
berinfak dan menjelaskan kesan-kesan personal dan sosial. Alasannya, agar dari
satu sisi menghidupkan jiwa kedermawanan dalam individu-individu dan mengurangi
keterikatan mereka dengan dunia dan dari sisi lain kesenjangan serta perbedaan
status sosial dapat dikurangi dan jiwa persaudaraan dan persamaan bisa
ditegakkan dalam masyarakat Islam.
Kini kelanjutan dari ayat-ayat tersebut,
al-Quran mengutarakan fenomena buruk "memakan riba" yang selain
meluluh lantakkan keseimbangan ekonomi sosial, juga menggoyahkan keseimbangan
jiwa orang yang memakan riba. Dari satu sisi, menyebabkan dendam dan kebencian
orang-orang dhuafa' terhadap orang-orang kaya dan menyeret masyarakat ke lembah
peledakan dan dari sisi lain, meninggalkan sejenis kegilaan bagi orang-orang
yang memakan riba. Mereka yang tidak mengenali kecuali uang dan mas serta
segala sesuatu bahkan emosi dan perasaan kemanusiaan dijualbelikan dengan uang.
Orang yang memakan riba tanpa memanfaatkan
uangnya berperan dan berfungsi dalam produksi atau urusan pelayanan sosial, dan
tanpa menggunakan pikiran atau tangannya. Mereka justru meminjamkan uang kepada
orang miskin dan memerlukan, kemudian menagih lebih daripada jumlah uang yang
dipinjamkan kepada orang yang meminjam. Hasil dari perbuatan ini pada akhirnya,
yang lemah semakin lemah dan yang kaya semakin kaya. Dan ini adalah kezaliman
yang paling tinggi pada hak orang-orang tertindas dan dengan demikian semua
agama samawi riba adalah diharamkan dan orang-orang yang memakan riba dijatuhi
sanksi.
Meskipun secara lahiriahnya riba
menyebabkan bertambahnya kekayaan dan sedekah mengurangi harta kekayaan, namun
pengaruh dan berkah harta ada di tangan Allah. Maka harta yang diperoleh dari
jalan riba yang semestinya menyebabkan kebahagiaan dan kesenangan orang yang
bersangkutan, karena disertai dengan kebencian orang-orang tertindas, telah
mencabut keamanan jiwa dan harta dari orang yang memakan riba dan betapa
mungkinnya menyebabkan hangus dan habisnya harta-harta asalnya. Lain halnya
dengan orang-orang yang suka memberikan sedekah, dengan popularitas dan
kecintaan masyarakat kepadanya, mereka berada dalam keadaan tenang dan damai
dan membangun peluang bagi pertumbuhan dan kesejahteraan baginya.
Dari ayat ini kita dapat memetik beberapa
pelajaran:
1. Memakan riba menyebabkan hancurnya keseimbangan jiwa individu-individu dan keseimbangan masyarakat sampai pada tahapan dimana, sebagai ganti cinta kasih, tertanam kebencian dan sebagai ganti keadilan, tertanam kesewenang-wenangan sosial.
2. Islam adalah agama universal dan memiliki visi sosial. Dengan demikian, bagi urusan ekonomi rakyat, Islam memiliki program bukan hanya ibadah yang kering yang dipaksakan kepada rakyat dan melepaskan dunia mereka pada mereka sendiri.
3. Memakan riba sejenis ketiadaan syukur. Harta-harta yang diserahkan kepada kita tidaklah lebih dari amanah dan tidak menginfakkan harta-harta tadi kepada orang-orang miskin adalah tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang mana kufur nikmat dapat menyebabkan kebinasaan.
1. Memakan riba menyebabkan hancurnya keseimbangan jiwa individu-individu dan keseimbangan masyarakat sampai pada tahapan dimana, sebagai ganti cinta kasih, tertanam kebencian dan sebagai ganti keadilan, tertanam kesewenang-wenangan sosial.
2. Islam adalah agama universal dan memiliki visi sosial. Dengan demikian, bagi urusan ekonomi rakyat, Islam memiliki program bukan hanya ibadah yang kering yang dipaksakan kepada rakyat dan melepaskan dunia mereka pada mereka sendiri.
3. Memakan riba sejenis ketiadaan syukur. Harta-harta yang diserahkan kepada kita tidaklah lebih dari amanah dan tidak menginfakkan harta-harta tadi kepada orang-orang miskin adalah tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang mana kufur nikmat dapat menyebabkan kebinasaan.
6.
Al-Baqarah Ayat:233
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala
menjelaskan tentang hak menyusu bagi seorang anak dan kewajiban seorang ibu
untuk menyusuinya serta kewajiban bagi seorang ayah untuk mencukupi kebutuhan
mereka baik mereka dalam kondisi belum bercerai atau telah bercerai. Allah
Ta’ala berfirman…
Artinya:”Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena
anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(Al-Baqarah:233)
Apabila seorang bayi telah sempurna dua
tahun menyusu, maka telah selesailah masa menyusunya dan air susu yang ada
setelah itu berfungsi sama dengan segala macam makanan. Karena itu penyusuan
yang terjadi setelah dua tahun itu tidaklah dianggap dan tidak mengharamkan. Dan
dapat dijadikan dalil dari ayat ini dan firman Allah yang lain,
….وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا …..{15}
“Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).
Bahwasanya masa kehamilan yang paling
sedikit adalah enam bulan dan bahwa mungkin saja dalam tempo secepat itu
terlahir seorang bayi. { وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ } “Dan diwajibkan atas
orang yang dilahirkan untuknya”, yaitu ayah, { رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ } “memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf”. Ini mencakup (semua) baik yang masih dalam ikatan pernikahan
dengan suaminya maupun yang telah diceraikan; maka seorang ayah wajib
memberinya makan. Artinya, memberi nafkah dan pakaian yaitu upah bagi pekerjaan
menyusui yang dilakukannya. Ini juga menunjukkan bahwa apabila masih dalam
ikatan pernikahan, suaminya wajib memberi nafkah dan pakaian, sesuai
kondisinya. Karena itu Allah berfirman, { لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
} “Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”.
Tidaklah seorang yang fakir dibebankan untuk memberikan nafkah seperti
nafkahnya orang yang kaya, dan tidak pula seorang yang tidak punya apa-apa
hingga dia mendapatkannya.
{ لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ
مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ } “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya”, maksudnya, tidaklah halal
bagi seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya baik dengan melarangnya
untuk menyusui anaknya atau tidak diberi hak yang wajib untuknya dari nafkah
dan pakaian atau upah, { وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ } “dan seorang
ayah karena anaknya” yaitu dengan cara ibunya itu tidak mau menyusui
anaknya yang dapat menyengsarakan dirinya, atau ibunya meminta bayaran yang
lebih besar dari yang seharusnya dan semacamnya. Dan firman Allah, { مَوْلُودٌ
لَهُ } “dan seorang ayah” menunjukkan bahwa anak itu adalah milik
ayahnya karena dialah yang diberikan untuknya dan karena anak itu adalah hasil
jerih payahnya, oleh karena itu boleh baginya mengambil harta anaknya itu baik
ridha maupun tidak, berbeda dengan ibu.
Pelajaran dari Ayat :
·
Wajib
bagi seorang ibu menyusui anaknya.
·
Sesungguhnya
Allah Ta’ala adalah yang paling maha Rahim (Maha Penyayang) bagi seluruh
makhluknNya dari pada kasih sayangnya seorang ibu kepada anaknya, karena Allah
Ta’ala memerintahkan kepada para ibu untuk menyusui, padahal hal itu sudah
merupakan fitrah dan naluri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah
Ta’ala sangat jauh lebih luas dan agung dari pada kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya.
·
Bahwasanya
perintah menyusui yang sempurna adalah selama dua tahun penuh.
·
Dan
boleh bagi ibunya menyusui kurang dari dua tahun, akan tetapi hal itu
dimusyawarahkan terlebih dahulu (oleh kedua orang tua anak tersebut), dan
dengan keridhaan keduanya dan kemashlahatan bagi bayinya, jika memadharatkan
anaknya maka hal itu dilarang. Dan apakah menyusui boleh lebih dari dua tahun?
Dijawab : hal itu tergantung kondisi bayi tersebut, jika dia sangat membutuhkan
air susu tersebut maka boleh ditambahkan secukupnya, dan jika tidak lagi
membutuhklan maka masa menyusui telah sempurna (yaitu dua tahun penuh),
sebagaimana hal itu di ungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah
dalam tafsirnya.
·
Seorang
anak adalah merupakan ‘Hibah’ (pemberian) bagi ayahnya, sebagaimana ayat “Dan
diwajibkan atas orang yang dilahirkan untuknya” . sebagian ulama beristimbath
dari ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa seorang ayah adalah ‘seorang
yang diberikan hibah kepadanya’; yang jelas bahwa ayat ini semisal dengan
hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, “Engkau dan hartamu adalah milik
ayahmu”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
7.
Shaad Ayat; 24
Artinya:
Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim
kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui
bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertaubat.(Shaad:24)
8.
An-Nissa’ Ayat 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”(An-Nisaa’:12)
[274]
memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud
mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
9.
Al-jumuah Ayat 10
Artinya: ‘Apabila Telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(Al-Jumuah:10)
Tafsirnya, seruan Allah terhadap orang-orang
beriman atau umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mukallaf
untuk untuk melaksanakan sholat jumu’at umat Islam diwajibkan untuk
meninggalkan segala pekerjaannya, seperti menuntut ilmu dan jual beli. Umat
islam yang memenuhi sruan Allah tersebut tentu akan memperoleh banyak hikmah.
Umat Islam yang telah selesai menunaikan
sholat diperintahkan Allah untuk berusaha atau bekerja agar memperoleh
karunia-Nya, seperti ilmu pengetahuan, harta benda, kesehatan dan lain-lain.
Dimana pun dan kapanpun kaum muslimin berada serta apapun yang mereka kerjakan,
mereka dituntut oleh agamanya agar selalu mengingat Allah. Mengacu kepada QS
al-Jumuah 9-10 umat Islam diperintahkan oleh agamanya agar senantiasa
berdisiplin dalam menunaikan ibadah wajib seperti sholat, dan selalu giat
berusaha atau bekerja sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti bekerja keras dan
belajar secara sungguh-sungguh. (Syamsuri, 2004: 25)
Selain berisikan perintah melaksanakan
sholat jumu’at juga memerintahkan setiap umat Islam untuk berusaha atau bekerja
mencari rezeki sebagai karunia Allah SWT. Ayat ini memerintahkan manusia untuk
melakukan keseimbangan antara kehidupan di dunia dan mempersiapakan untuk
kehidupan di akhirat kelak. Caranya, selain selalu melaksanakan ibadah ritual,
juga giat bekerja memenuhi kebutuhan hidup. (Bachrul Ilmy, 2006: 15)
Kesimpulan dari ayat diatas adalah :
a)
Wajibnya
shalat jum’at, kewajiban ini ini tidak gugur kecuali wanita, hamba sahaya,
orang sakit, dan musaffir.
b) Haramnya jual beli dan pekerjaan-pekerjaan
lainnya apabila imam/khatib telah duduk di atas mimbar dan telah di
kumandangkan azan keedua.
10. Yusuf Ayat 55
Artinya:“Berkata
Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf:55)
Dalam konteks ayat ini,Nabi
Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve”
negeri mesir.
11. At-taubah Ayat 103
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(At-Taubah)
[658]
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka
dan memperkembangkan harta benda mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar