Jumat, 08 Maret 2013

Penafsiran Al-Qur'an


A.    Penafsiran Ayat Alquran dengan Ayat Alquran
Tafsiran Alquran dengan Alquran merupakan model penafsiran Alquran yang paling tinggi martabatnya. Ayat Alquran ditafsirkan oleh ayat yang lain. Contohnya:
Artinya:  Demi langit dan Thariq (yang datang pada malam hari). Tahukah 
kamu apakah thariq itu? (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.
”(Ath-Thariq:1-3)
Jadi kata An najmu Ats-Tsaqib(bintang yang cahayanya menembus) merupakan penafsiran kata Ath-thariq.

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”(Al-baqarah : 219)
Pada ayat yang lain dijelaskan mengenai pengertian dosa(itsmun) dalam khamar, yaitu pada surat al-a’raf ayat 33.
Artinya: “ Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa(itsmun), melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.”
Itsmun mencakup segala kemaksiatan yang menyebabkan dosa. Ada dua pendapat yang mengatakan bahwa itsmun berarti khamr saja, bukan tindak maksiat yang lain, seperti pernah dikatakan oleh seorang penyair:
Kuteguk khamr hingga akalku tersesat
Begitulah khamr bisa menghilangkan akal
Dikatakan dalam Ash-shahah: “Kadang-kadang khamr dinamakan juga itsmun.”
Firman Allah Swt dalam Surat Yunus:62

Artinya: “ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Kata ‘wali-wali Allah’ ditafsirkan oleh firman Allah sebagai berikut:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”(yunus;63)
Penafsiran ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud wali-wali allah itu adalah orang yang mengetahui hal-hal yang ghaib atau memilki keramat atau yang pada atas kuburannya terdpat kubah serta keyakinan-keyakinan yang bathil.
Setiap orang yang beriman kepada allah, mentaati perintah-perintahnya, menjauhi larangannya, maka ia termasuk waliyullah. Karamah bukanlah syarat, kadang tampak dan kadang pula tidak.
Terkadang memang terjadi beberapa hal yang aneh pada diri seseorang sufi dan ahli bid’ah. Ini adalah sihir, sebagaimana disinyalir oleh Allah:
..... terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka.”(thaha:66)
Hal-hal ini sering terjadi pada diri orang-orang majusi di india atau tempat-tempat lainnya.

B.     Penafsiran  Ayat Alquran dengan Hadits
Menafsirkan ayat Alquran degan hadits  shahih penting sekali, karena Rasulullah Saw merupakan manusia yang paling tahu apa yang dimaksud Allah Ta’ala dalam Ayat Al-quran itu. Sebagaimana dikatakan didalam Alquran,
 Tiadalah yang diucapkannya itu(Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturnkan(kepadanya).”(An-Najm:3-4)
Allah Swt menurnkan Alquran kepadanya agar ia menjelaskan kepada manusia, sebagaimana firman Allah.

“Dan kami telah turunkan Adz-Dzikir(Al-Quran) kepadmu, agar kamu menerangkan kepada umat manusiaapa yang telah diturnkan kepada mereka dan supaya memikirkan.”(An-nahl: 44)
Rasulullah Saw bersabda,
“Ingatlah, sesungguhnya saya diberi alquran beserta semisalnya(keterangannya).”(HR. Abu Dawud)
1.      Firman Allah Swt

Dan siapkanlah untuk  menghadapi mereka Quwwatun(kekuatan apa saja) yang kamu sanggupi.”(Al-Anfal: 60)
Kata Quwwatun daitafsirkan oleh sabda Nabi saw dalam Haditsnya:
Ketahuilah bahwa Al-Quwwatu(kekuatan) itu adalah panahan(3 kali).”(HR. Abu Dawud)
Al-Qurthubi berkata: “ditafsirkan ‘kekuatan’ dengan panahanan meski kekuatan bis apula berupa alat perang yang lain karena panahan lebih mudah menembus sasaran lawan penggunaannya. Terkadang panah dapat pula mengenai panglima perang dari pihak musuh, sehingga orang-orang yang berada di belakangnya atau balatentaranya menjadi kalang kabut dan porak poranda.
Dewasa ini, peralatan perang modern masih saja bertumpu pada panahan . oleh karena itu, islam sangat menganjurkan umatnya untuk mempelajarinya, lebih-lebih terhadap generasi muda. Hendaknya mereka menekuni bidang ini juga renang dan mengendarai kenderaan dan menjadikannya sebagai kegiatan yang diprioritaskan dari pada kegiatan atau permainan-permainan lainnya. Rasulullah Saw bersabda
Barangsiapa siapa telah mengajarkan panahan, kemudian melupakannya maka ia tidak termasuk golonganku atau ia telah berbuat maksiat.”(HR.Muslim)
Suatu ketika Nabi pernah lewat di suatu tempat, sedang sekelompok orang telah masuk Islam di situ sedang berloomba memanah, lalu Nabi berkata,
Ayo memanahlah wahai anak keturunan Ismail kerana bapak kalian dahulu juga seorang pemanah.  Ayo, memnahlah. Aku ikut kelompok bani fulan.” Maka satu dari kedua kelompok itu tidak mau memanah. Lalu rasulullah saw brtanya ‘ mengapa kalian tidak mau memanah?” mereka menjawab:” bagaiamana kami hendak memanah sedangkan engkau bersama mereka?” Maka Nabi bersabda,”Memanahlah aku bersama kalian semuanya.”(HR. Al-bukhari)

2.      Allah berfirman,


Bagi orang –orang yang berbuat baik ada  pahala yang terbaik.(suraga) dan tambahan (Ziyadah).”(yunus:26)
Dengan ‘melihat wajah Allah’, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sabdanya:
Maka hujabpun dibuka, dan mereka (penduduk surga) tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai daripada melihat Rabb mereka. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat ini (yunus:26)yang artinya : “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik(surga) dan tambahan(HR.Muslim)

3.      Dari sahabat ibnu Mas’ud ra, ia berkata:
Ketika turun ayat; “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan Iman mereka dengan kezhaliman”(Al-An’am:82), hal itu terasa berat bagi kaum muslimin. Para sahabat bertanya: “Siapa diantara kami yang tidak menzalimi dirinya? Rasulullah Saw menjawab: “Bukan itu yang dimaksud, tetapi yang dimaksud adalah syirik. Tidakkah engkau mendengarkan ketika Luqman berkata kepada putranya: Wahai putraku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Faedah atau kesimpulan yang dapat kita petik dari ayat dan hadits diatas adalah bahwa derajat kezaliman itu bermaca-macam. Adapun kemaksiatan tidak termasuk dalam perbuatn syirik. Orang yang tidak menyekutukan Alla dengan sesauatu, maka ia akan memperoleh ketentraman dan ia termasuk orang yang mendapat petunjuk. [1]
C.    Penafsiran Ayat Alquran dengan Perkataan Para Sahabat
Bagian ketiga dari “Tafsir Ma’tsur” adalah “Tafsir sahabat”. Ini juga termasuk tafsir yang bisa diterima sebagai pegangan. Karena par sahabat telah berkumpul dengan Rasulullah Saw dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya. Mereka tahu asbabun nuzul, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan kesungguhan dalam memahami secara benar dan selamat terhadap kalam allah swt, bahkan menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia Alquran lebih banyak dibanding siapapun.
Imam Al Hakim berkata ; “ sesunguhnya para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunnya adalah memilki hukum marfu’, artinya bahwa tafsir para sahabat ini mem[unyai kedudukan hukum yang sana dengan hadits Nabawi yang diangkat kepada Nabi Saw. Dengan demukian, tafsir para shabat termasuk ma’tsur.
Imam sayuti r.a dalam kitabnya Al Itqan, berkata ; “ para ahli tafsir termasyhur dari kalangan sahabat ada sepuluh orang. Khalifah empat(Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin ka’ab, Zaid bin tsabit, Abu Musa Al Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Diantara Khulafaur Rasyidin,   yang paling banyak menjadi sumber riwayat adalah Ali bin abu Thalib. Adapun Khalifah tiga lainnya amat sedikit riwayat bersumber dari mereka. Karena tidak lain bahwa mereka lebih dahulu meninggal dunia.”
Sebab sedikit riwayat dari Abu Bakar,Umar, dan Utsman, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Suyuthi adalah karena masa kekhalifahan mereka sangat singkat dan mereka lebih dahulu meninggal. Dari segi lain, mereka hidup dikalangan masyarakat yang kebanyakan tahu tentang Alquran. Mereka menemani Rasulullah Saw sehingga mengetahui rahasia-rahasia, makna-makna, dan hukum-hukum Alquran. Lain Ali r.a dia hidup setelah khalifah tiga dalam waktu di mana islam makin mmeluas. Banyak orang orang asing masuk agama baru(islam). Tumbuh pula generasi baru. Putra-putra  para sahabat, mereka butuh mempeajari al-quran. Mereka perlu mempelajari  dan memahami rahasia-rahasia dan himahnya. Oleh sebab itu,banyak riwayat yang bersumber  dari Sayyidina Ali daripada  khalifah lainnya.
Para sahabat yang termasyhur  sebagai ahli tafsir yaitu :
1)      Abdullah bin Abbas
Beliau termasuk tokoh pilihan umat, putra paman Rasulullah Saw. Yang didoakan oleh Rasulullah Saw. Dengan sabdanya: “Allahumma  ya Allah, pahamkanlah dia kepada agama dan ajari dia tentang takwil.” Dialah yang bergelar Turjumul Quran.
Abdullah bin Abbas adalah sahabat paling alim tentang tafsir alquran. Dia memilki kelebihan yang menakjubkan , bahkan menarik perhatian para pembesar sahabat Umar bin Khatab memasukkannya ke dalam “Majelis Syura” beserta para sahabat yang mulia untuk bermusyawarah. Sering permasalahan dilempar kepadanya. Inisiatif umar ini dikecamoleh sebagian sahabat, sehingga ada sebagia mereka berkata “ mengapa engkau masukkan anak ini bersama kami. Di tempat kami ada anak yang lebih tua daripada dia!”

Guru- guru ibnu abbas
Guru-guru ibnu abbas , dimana ia menimba ilmu dari mereka setekah Rasulullah saw, dan sekaligus mempengaruhi perjalanan hidup dan sikapnya adalah Umar in Khatab, Ubai bin Ka’ab, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin tsabit. Mereka berlima (termasuk Rasulullah Saw) adalah maha guru baginya, yang sebagian besar ilmunya dia ambil dari mereka. Para guru tersebut begitu besar pengaruh mereka terhadap sikap dan wajah keilmuan ibnu abbas.

2. Abdullah bin Mas’ud
Termasuk orang terkenal dari kalangan sahabat yang ahli tafsir yang menuqilkan kepada kita dan ucapan –ucapan Rasulullah Saw. Dia termasuk orang yang terdahulu masuk Islam, dimana tidak ada orang Islam dibumi selain mereka. Dia Khadam Rasulullah Saw, yang sering memakaikan teropah beliau. Dia selalu berjalan bersama beliau, sehingga dari hubungan erat semacam ini dia memilki sikap  dan adab yang amat baik. Oleh sebab itu, banyak yang menganggap bahwa dia adalah sahabat yang paling tahu tentang Alquran dan lebih mengetahui “Muhkamat dan mutasyabih” bahkan tahu halal dan haramnya. [2]

D.    Asbabun Nuzul
1.      Ali Imran Ayat 130
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda  dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(Qs.Ali Imran: 130)
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah berkata, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’.[3]
Dapat kita simpulkan dari penjelasan diatas bahwa riba itu diharamkan karena
a)      Riba dapat memutuskan rasa saling belas kasih diantara ssesama kaum mukmini, dan setiap sesuatu yang dapat menyebabkan putusnya tali persaudaraan diantara kaum mukminin itu haram hukumnya. Sebab oarang-orang yang beriman itu wajib hidup bersaudara, saling tolong menolong, dan cinta mencintai, memberikan pinjaman kepada sesama saudaranya yang beriman dalam tempo waktu yang cukup lama dengan tidak mengharapkan pahala dari Allah Swt.
b)      Untuk menjaga harta orang muslim agar tidak dimakan (diambil) dengan cara yang bathil(tidak halal)
c)      Untuk mengarahkan setiap muslim agar mengembangkan hartanya melalui cara-cara usaha yang mulia, bersih dari usaha kotor, penipuan dan kecurangan.
d)     Menutup pintu yang dapat menyeret seorang muslim kepada  permusuhan antara sesama saudaranya sesama muslim, membenci dan tidak menyukai.
e)      Untuk membuka pintu-pintu kebaikan  di hadapan setiap orang muslim agar menumpuk bekal untuk akhiratnya, dengan cara memberikan pinjaman kepada saudara muslim lainnya tanpa bunga, memberi tenggang waktu kemudahan  pembayaran tanpa harus ada  bunga, memberikan kemudahan bagi kepentingannya dengan penuh rasa kasih sayang dengan mengharapkan ridha dari Allah Swt. Dengan cara seperti itu berarti telah menyebarkan kasih sayang di antara sesama kaum muslimin dam memperat jiwa persaudaraan.
Allah melarang umatnya memakan riba  sesungguhnya karena untuk membuat jiwa merasa takut akan akibat buruk perbuatan terus menerus memakan sesuatu yang bukan haknya, sebab allah tidak mengizinkan  kepada seorangpun  diantara mereka untuk memakan atau mengambil harta saudaranya dengan cara tidak yang tidak benar.[4]
2.      Al-Baqarah Ayat 282
 Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah:282)
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:
1)      Untuk setiap agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan berdokumen.
2)      Harus ada penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada pengakuan orang yang berutang.
3)      Orang yang berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.
4)      Selain tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan proses transaksi.
5)      Dalam transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi. [5]

Adapun Hukum-hukum atau aturan piutang yaitu
1.      Membukukan atau mencatat hutang apabila ditunda sampai lebih dari tiga hari. Hukum ini diisyaratkan oleh firman-Nya, “ Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu  yang telah ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
2.      diperbolehkan menjuak sesuatu dengan cara “ as-salam”, sebab firman Allah menyatakan “Untuk waktu yang ditentukan” sebagai dalilnya.menjual secara as salam adalah menjual sesuatu  kepada orang lain dengan uang dimuka, sedangkan uang diberikan pada saat waktu yang telah disepakati, dengan syarat barang yang dijual itu telah ditentukan beratt dan takarannya.
3.      mencatat hutang piutang, dan penulis wajib berlaku adil, tidak boleh menambah atau mengurangi ataupun merubahnya, sebab Alllah berfirman, “... hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.”
4.      oranng yang pandai mencatat apabila dibutuhkan untuk mencatat utang piutang diatara orang-orang yang bertransaksi utang piutang wajib memenuhi permintaan mereka, karena Allah Swt telah berfirman,”Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis”, sebagaimana wujud kesyukurannya kepada Allah Swtt yang telah memberinya kemampuan tulis menulis.
5.      Orang yang mendiktekan  kepada juru tulis  adalah orang yang mempunyai hak (berhutang) agar imlaknya menjadi bukti kebenaran, sebab Allah Swt berfirman,”dan hendaklah orang yang berhutang itu menimlakkan (apa yang akan ditulis itu)”, dan Allah melarang mngurangi (catatan) hutang itu walaupun sedikit, karena firmannya mengatak(bole)an,” dan janganlah ia mengurangi seditpun daripada hutangnya.”
6.      kalau orang yang berhutang itu lemah atau ada rasa kekhawatiran, hendaknya yang mengimlakkan adalah walinya denagan adil, tidak menambah ataupun mengurangi hutangitu. Allah berfirman “ jika yang bergutang itu orang-orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah waliinya mengimlakkannya dengan jujur.”
7.      memperlihatkan hasil catatan dan disaksikan oleh kedua orang lelaki, dan jika tidak maka satu orang lelaki dan dua orang perempuan, karena Allah berfirman,” dan opersaksikanlah dengan dua oranng saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.’”
8.      haramnya  hukumnya menolak jadi saksi bila diminta untuk memberikan kesaksian, karena hak seseorang itu sangat bergantung kepada kesaksian dua saksi, sebagaimana  firman Allah Swt: “ janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan ) apabila mereka dipanggil.”
9.      sangat dianjurkan mencatat hutang piutang, banyak ataupun sedikit(nilainya), karena Allah berfirman,”dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.”
10.  dimaklumi kalau tidak mencatat transaksi (perdagangan) tunai, seperti seseorang membeli satu kwintal kurma atau satu kwintal gula, namun sisa harganya dibayar besok hari atau beberapa hari kemudian. Yang demikian ini tidak harus dicatat. Allah berfirman: “ (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan yang tunai yyang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak menulisnya.
11.  wajib mempersaksikan jual beli kepada saksi-saksi. Maka jika ada seseorang menjual rumah, kebun atau mobil maka hendaknya dicatat dan pencatatan disaksikan oleh kedua orang saksi, karena Allah Swt berfirman: “ dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
12.  tidak boleh mempersulit juru tulis ataupun saksi, seperti mengajak mereka kesuatu tempat yang jauh atai untuk waktu yang cukup lama yang menyebabkan pekerjaan mereka terabaikan, atau menyebabkan hak-haknya terabaikan. Allah berfirman,” dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”
13.  perintah bertakwa kepada Allah dan janji Allah kepada orang-orang yang bertakwa, bahwa Allah akan mengajarkannya kepada mereka sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan Akhirat mereka, dengan cara memberikan cahaya ke dalam hati mereka dengan yang dengannya mereka dapat membedakan mana yang hak dan dan man yang bathil, mana yang menguntungkan   dan mana merugikan.



3.      Al Baqarah Ayat 283
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat-ayat sebelum ini, kita telah katakan bahwa Islam menganjurkan agar hak-hak milik masyarakat dipelihara. Setiap jenis transaksi bukan tunai atau pembayaran hutang haruslah tercatat dan dilangsungkan di depan dua saksi supaya tidak berlaku kesalahan atau bila salah seorang ada yang memungkiri, tidak tercipta kesulitan. Perhatian Islam terhadap persoalan ini sampai pada tahapan di mana dalam perjalanan pun, lakukanlah pesan ini dan jika kalian tidak menemukan penulis, maka kokohkanlah transaksi (jual-beli) itu dengan cara mengambil sesuatu dari pihak yang berutang sebagai jaminan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang, adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar utangnya itu tepat pada waktunya, supaya orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang lain.
Penutupan ayat juga menganjurkan kepada orang-orang Mukmin secara umum supaya tidak berpendek tangan dalam menjelaskan hak-hak masyarakat, karena Allah Swt mengetahui segala apa yang ada di hati kalian dan menyembunyikan kebenaran, kendati dalam zahirnya diam dan manusia tidak melakukan suatu pun tindakan, sehingga merasakan berbuat dosa, namun sesungguhnya merupakan dosa yang paling besar, karena ruh manusia menjadi kotor karenanya.
Dari ayat ini kita petik beberapa pelajaran:
1.      Transaksi bukan tunai, janganlah ditegaskan atas janji lisan, melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian dan sekiranya perlu, transaksi itu dikokohkan dengan mengambil jaminan.
2.      Dengan jalan membayar hutang tepat pada waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi masyarakat terjaga.
3.      Al Baqarah Ayat 280
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”(Al-Baqarah:280)
Sebagai lanjutan ayat-ayat terdahulu, yang merangsang orang-orang Mukmin agar membayar infak dan melarang mereka mengambil riba, ayat ini menyinggung poin moral sehubungan dengan bukan hanya dalam utang kalian jangan mengambil riba, malah ketika dalam masa yang sudah dijanjikan orang yang berutang tidak dapat membayar maka berilah dia kesempatan, dan lebih mulia dari itu bebaskanlah utangnya itu dan ketahuilah bahwa pemberianmu ini tidak akan terbiar tanpa jawaban dan Allah Swt akan menggantinya di hari kiamat tanpa dikurangi. Jika anjuran-anjuran agama dilaksanakan dalam masyarakat, maka ketulusan akan bertambah berlipat ganda? Keperluan orang-orang miskin akan terpenuhi dan juga orang kaya akan terbebaskan dari kerakusan dan kebakhilan dan keterkaitan dengan dunia serta dinding antara sikaya dengan simiskin dapat diperkecil.
Dari ayat ini kita ambil beberapa pelajaran;
1.      Masalah yang utama dalam infak dan memberikan utang adalah untuk mewujudkan kesenangan dan kelapangan bagi orang-orang miskin, maka tidak boleh orang kaya memberikan pinjaman membuat orang miskin itu kembali jatuh miskin dan tidak berkemampuan membayarnya.
2.      Islam pendukung sejati orang-orang tertindas dan dengan diharamkannya riba dan dianjurkannya infak, kekosongan-kekosongan ekonomi masyarakat dapat terpenuhi.
3.      Mencari keridhaan Allah Swt dan keridhaan Khaliq lebih baik dari mencari penghasilan. (IRIB)
5.   Al Baqarah Ayat 275
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al.Baqarah:275)

[174]Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175]  Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176]  riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Telah disebutkan bahwa Allah Swt dalam 14 ayat secara beruntun pada surat al-Baqarah menyeru orang-orang Mukmin agar berinfak dan menjelaskan kesan-kesan personal dan sosial. Alasannya, agar dari satu sisi menghidupkan jiwa kedermawanan dalam individu-individu dan mengurangi keterikatan mereka dengan dunia dan dari sisi lain kesenjangan serta perbedaan status sosial dapat dikurangi dan jiwa persaudaraan dan persamaan bisa ditegakkan dalam masyarakat Islam.
Kini kelanjutan dari ayat-ayat tersebut, al-Quran mengutarakan fenomena buruk "memakan riba" yang selain meluluh lantakkan keseimbangan ekonomi sosial, juga menggoyahkan keseimbangan jiwa orang yang memakan riba. Dari satu sisi, menyebabkan dendam dan kebencian orang-orang dhuafa' terhadap orang-orang kaya dan menyeret masyarakat ke lembah peledakan dan dari sisi lain, meninggalkan sejenis kegilaan bagi orang-orang yang memakan riba. Mereka yang tidak mengenali kecuali uang dan mas serta segala sesuatu bahkan emosi dan perasaan kemanusiaan dijualbelikan dengan uang.
Orang yang memakan riba tanpa memanfaatkan uangnya berperan dan berfungsi dalam produksi atau urusan pelayanan sosial, dan tanpa menggunakan pikiran atau tangannya. Mereka justru meminjamkan uang kepada orang miskin dan memerlukan, kemudian menagih lebih daripada jumlah uang yang dipinjamkan kepada orang yang meminjam. Hasil dari perbuatan ini pada akhirnya, yang lemah semakin lemah dan yang kaya semakin kaya. Dan ini adalah kezaliman yang paling tinggi pada hak orang-orang tertindas dan dengan demikian semua agama samawi riba adalah diharamkan dan orang-orang yang memakan riba dijatuhi sanksi.
Meskipun secara lahiriahnya riba menyebabkan bertambahnya kekayaan dan sedekah mengurangi harta kekayaan, namun pengaruh dan berkah harta ada di tangan Allah. Maka harta yang diperoleh dari jalan riba yang semestinya menyebabkan kebahagiaan dan kesenangan orang yang bersangkutan, karena disertai dengan kebencian orang-orang tertindas, telah mencabut keamanan jiwa dan harta dari orang yang memakan riba dan betapa mungkinnya menyebabkan hangus dan habisnya harta-harta asalnya. Lain halnya dengan orang-orang yang suka memberikan sedekah, dengan popularitas dan kecintaan masyarakat kepadanya, mereka berada dalam keadaan tenang dan damai dan membangun peluang bagi pertumbuhan dan kesejahteraan baginya.
Dari ayat ini kita dapat memetik beberapa pelajaran:
1. Memakan riba menyebabkan hancurnya keseimbangan jiwa individu-individu dan keseimbangan masyarakat sampai pada tahapan dimana, sebagai ganti cinta kasih, tertanam kebencian dan sebagai ganti keadilan, tertanam kesewenang-wenangan sosial.
2. Islam adalah agama universal dan memiliki visi sosial. Dengan demikian, bagi urusan ekonomi rakyat, Islam memiliki program bukan hanya ibadah yang kering yang dipaksakan kepada rakyat dan melepaskan dunia mereka pada mereka sendiri.
3. Memakan riba sejenis ketiadaan syukur. Harta-harta yang diserahkan kepada kita tidaklah lebih dari amanah dan tidak menginfakkan harta-harta tadi kepada orang-orang miskin adalah tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang mana kufur nikmat dapat menyebabkan kebinasaan.
6.      Al-Baqarah Ayat:233
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang hak menyusu bagi seorang anak dan kewajiban seorang ibu untuk menyusuinya serta kewajiban bagi seorang ayah untuk mencukupi kebutuhan mereka baik mereka dalam kondisi belum bercerai atau telah bercerai. Allah Ta’ala berfirman…

Artinya:”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(Al-Baqarah:233)
Apabila seorang bayi telah sempurna dua tahun menyusu, maka telah selesailah masa menyusunya dan air susu yang ada setelah itu berfungsi sama dengan segala macam makanan. Karena itu penyusuan yang terjadi setelah dua tahun itu tidaklah dianggap dan tidak mengharamkan. Dan dapat dijadikan dalil dari ayat ini dan firman Allah yang lain,
….وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا …..{15}
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).
Bahwasanya masa kehamilan yang paling sedikit adalah enam bulan dan bahwa mungkin saja dalam tempo secepat itu terlahir seorang bayi. { وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ } “Dan diwajibkan atas orang yang dilahirkan untuknya”, yaitu ayah, { رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ } “memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. Ini mencakup (semua) baik yang masih dalam ikatan pernikahan dengan suaminya maupun yang telah diceraikan; maka seorang ayah wajib memberinya makan. Artinya, memberi nafkah dan pakaian yaitu upah bagi pekerjaan menyusui yang dilakukannya. Ini juga menunjukkan bahwa apabila masih dalam ikatan pernikahan, suaminya wajib memberi nafkah dan pakaian, sesuai kondisinya. Karena itu Allah berfirman, { لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا } “Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”. Tidaklah seorang yang fakir dibebankan untuk memberikan nafkah seperti nafkahnya orang yang kaya, dan tidak pula seorang yang tidak punya apa-apa hingga dia mendapatkannya.
{ لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ } “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya”, maksudnya, tidaklah halal bagi seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya baik dengan melarangnya untuk menyusui anaknya atau tidak diberi hak yang wajib untuknya dari nafkah dan pakaian atau upah, { وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ } “dan seorang ayah karena anaknya” yaitu dengan cara ibunya itu tidak mau menyusui anaknya yang dapat menyengsarakan dirinya, atau ibunya meminta bayaran yang lebih besar dari yang seharusnya dan semacamnya. Dan firman Allah, { مَوْلُودٌ لَهُ } “dan seorang ayah” menunjukkan bahwa anak itu adalah milik ayahnya karena dialah yang diberikan untuknya dan karena anak itu adalah hasil jerih payahnya, oleh karena itu boleh baginya mengambil harta anaknya itu baik ridha maupun tidak, berbeda dengan ibu.
Pelajaran dari Ayat :
·         Wajib bagi seorang ibu menyusui anaknya.
·         Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang paling maha Rahim (Maha Penyayang) bagi seluruh makhluknNya dari pada kasih sayangnya seorang ibu kepada anaknya, karena Allah Ta’ala memerintahkan kepada para ibu untuk menyusui, padahal hal itu sudah merupakan fitrah dan naluri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah Ta’ala sangat jauh lebih luas dan agung dari pada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
·         Bahwasanya perintah menyusui yang sempurna adalah selama dua tahun penuh.
·         Dan boleh bagi ibunya menyusui kurang dari dua tahun, akan tetapi hal itu dimusyawarahkan terlebih dahulu (oleh kedua orang tua anak tersebut), dan dengan keridhaan keduanya dan kemashlahatan bagi bayinya, jika memadharatkan anaknya maka hal itu dilarang. Dan apakah menyusui boleh lebih dari dua tahun? Dijawab : hal itu tergantung kondisi bayi tersebut, jika dia sangat membutuhkan air susu tersebut maka boleh ditambahkan secukupnya, dan jika tidak lagi membutuhklan maka masa menyusui telah sempurna (yaitu dua tahun penuh), sebagaimana hal itu di ungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya.
·         Seorang anak adalah merupakan ‘Hibah’ (pemberian) bagi ayahnya, sebagaimana ayat “Dan diwajibkan atas orang yang dilahirkan untuknya” . sebagian ulama beristimbath dari ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa seorang ayah adalah ‘seorang yang diberikan hibah kepadanya’; yang jelas bahwa ayat ini semisal dengan hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
7.      Shaad Ayat; 24

Artinya:  Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.(Shaad:24)
8.      An-Nissa’ Ayat 12
Artinya:  “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”(An-Nisaa’:12)

[274]  memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.








9.      Al-jumuah Ayat 10


Artinya: ‘Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(Al-Jumuah:10)
Tafsirnya, seruan Allah terhadap orang-orang beriman atau umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mukallaf untuk untuk melaksanakan sholat jumu’at umat Islam diwajibkan untuk meninggalkan segala pekerjaannya, seperti menuntut ilmu dan jual beli. Umat islam yang memenuhi sruan Allah tersebut tentu akan memperoleh banyak hikmah.
Umat Islam yang telah selesai menunaikan sholat diperintahkan Allah untuk berusaha atau bekerja agar memperoleh karunia-Nya, seperti ilmu pengetahuan, harta benda, kesehatan dan lain-lain. Dimana pun dan kapanpun kaum muslimin berada serta apapun yang mereka kerjakan, mereka dituntut oleh agamanya agar selalu mengingat Allah. Mengacu kepada QS al-Jumuah 9-10 umat Islam diperintahkan oleh agamanya agar senantiasa berdisiplin dalam menunaikan ibadah wajib seperti sholat, dan selalu giat berusaha atau bekerja sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti bekerja keras dan belajar secara sungguh-sungguh. (Syamsuri, 2004: 25)
Selain berisikan perintah melaksanakan sholat jumu’at juga memerintahkan setiap umat Islam untuk berusaha atau bekerja mencari rezeki sebagai karunia Allah SWT. Ayat ini memerintahkan manusia untuk melakukan keseimbangan antara kehidupan di dunia dan mempersiapakan untuk kehidupan di akhirat kelak. Caranya, selain selalu melaksanakan ibadah ritual, juga giat bekerja memenuhi kebutuhan hidup. (Bachrul Ilmy, 2006: 15)
Kesimpulan dari ayat diatas adalah :
a)      Wajibnya shalat jum’at, kewajiban ini ini tidak gugur kecuali wanita, hamba sahaya, orang sakit, dan musaffir.
b)      Haramnya jual beli dan pekerjaan-pekerjaan lainnya apabila imam/khatib telah duduk di atas mimbar dan telah di kumandangkan azan keedua.
10.  Yusuf Ayat 55
Artinya:“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf:55)

Dalam konteks ayat ini,Nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve” negeri mesir. 
11.  At-taubah Ayat 103
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(At-Taubah)
[658]  Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]  Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.


[1] Lihat Bagaimana Memahami Alquran.hal; 3-10
[2] Lihat Ikhtisar Ulumul Quran Praktis. Hal: 105-113
[3] peershttp://soaljawabquranhadis.blogspot.com/2009/03/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-ayat.htm

[4] Lihat 90 Seruan dalam Alquran. Hal: 63
[5]http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=26675&Itemid=75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar