A.
Pengertian Ba’i Bithaman
Ajil (BBA)[1]
Model ini mirip dengan Murabahah, kecuali bahwa BBA
merupakan bentuk pembayaran yang ditangguhkan melalui cicilan walaupun
Murabahah juga merupakan suatu pembayaran yang ditangguhkan tetapi
pembayarannya secara sekaligus. Beberapa penulis Ekonomi Islam tidak
menyebutkan BBA karena ia termasuk kedalam Murabahah. Namun di Malaysia BBA
digunakan secara terpisah dari Murabahah.[2]
Istilah Bai’ Bithaman ajil sesungguhnya istilah yang baru
dalam literatur fiqih Islam. Meskipun prinsipnya memang sudah ada sejak masa
lalu. Secara makna harfiyah, Bai’
maknanya adalah jual beli atau transaksi. Thaman
maknanya harga dan Ajil maknanya
bertempo atau tidak tunai. Jenis transaksi ini sesuai dengan namanya adalah
jual beli yang uangnya diberikan kemudian atau ditangguhkan. Thaman Ajil
maknanya adalah harga belakangan. Maksudnya harga barang itu berbeda dengan
bila dilakukan dengan tunai.[3]
Ada beberapa pengertian tentang ba’i bithaman ajil (BBA)
yang berpendapat tentang pengertian BBA antara lain:
Muhamad (2000:119) berpendapat ba’i bithaman ajil (BBA) pembiayaan
berakad jual beli, adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara
bank Islam dengan nasabah, dimana bank Islam menyediakan dananya untuk sebuah
investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian
proses pembayarannya dilakukan secara menyicil atau angsuran. Jumlah kewajiban
yang dibayarkan oleh peminjaman adalah jumlah atas harga barang modal dan
mark-up yang disepakati.
Menurut Hertanto Widodo, dkk (1999:49) bahwa bai’
bithaman ajil adalah akad jual beli barang dengan pembayaran cicilan, sedangkan
harga jual adalah harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.
Menurut Antonio (2001:101) bahwa bai’ bithamanil ajil
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam bai’ bithamanil ajil, penjual harus memberi tahu harga produk
yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan suatu imbalan. Al-bai’
bithamanil ajil dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa
disebut sebagai al-bai’ bithamanil ajil kepada pemesan pembelian (KPP).
Pendapat lain Triandaru, dkk (2006: 124) bai’ bithaman
ajil adalah akad jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan tertentu dan
pembayarannya dilakukan atas dasar angsuran. Besarnya tingkat keuntungan,
jangka waktu pembayaran, dan jumlah angsuran tersebut didasarkan pada
kesepakatan antara penjual dan pembeli. Pembayaran ini ditujukan bagi nasabah
yang akan membeli barang modal atau barang untuk tujuan investasi lainnya.
Pembiayaan ini ada kemiripan dengan kredit investasi yang diberikan oleh bank
konvensional.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa bai’ bithaman ajil
(BBA) merupakan pembiayaan yang berakad jual beli dimana suatu perjanjian yang
disepakati antara bank dengan nasabahnya, bank menyediakan dananya untuk sebuah
investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha nasabahnya yang kemudian
proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban
yang harus dibayarkan oleh peminjaman adalah jumlah atas dasar harga barang
modal dan markup yang telah disepakati.
B.
Landasan Hukum Ba’i
Bithaman Ajil
Al-qur’an mengizinkan transaksi dalam bisnis selagi
transaksi tersebut tidak keluar dari konteks syari’ah (agama).
Menurut Muhammad (2000:23), adapun ayat-ayat yang dapat
dijadikan rujukan dasar akad Bai’ Bithaman Ajil, adalah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu makan hak sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (An-Nisa’: 29)
Penjelasan: Jual beli dimana murabahah dan al-bai’
bithamanan ajil merupakan bagian terpenting dari padanya, merupakan bagian
terbesar dari rangkaian perniagaan dan bisnis.
Pada surat Al-baqarah ayat 275 juga telah dijelaskan yang
artinya: “Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba” Kalimat diatas menjelaskan bahwa Allah itu tidak
melarang adanya praktek jual beli tetapi Allah melarang/mengharamkan adanya
riba.
Firman Allah QS.
AI-Baqarah (2) : 280 : "Dan jika
(orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan
"
Dan dalam Hadist juga telah disebutkan, Muhammad
(2000:23) yang berbunyi: “Dari Suhaib r.a
bahwa Rosullah SAW bersabda: ada tiga perkara yang didalamnya terdapat
keberkatan, yaitu: (1) menjual secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
(3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah tangga dan bukan
untuk dijual ” (HR. Ibnu Majah No: 2280).
Penjelasan: Al-murabahah dan Al-bai’ Bithamanan Ajil
merupakan salah satu bentuk pembiayaan secara kredit karena pembiayaannya
dilakukan pada waktu jatuh tempo atau secara cicilan.
C.
Pengakuan dan Pengukuran
Produk Murabahah / Ba’i Bithaman Ajil (Berdasarkan PSAK 102)
Pada dasarnya, pengakuan dan pengakuan
produk ba’i bithaman ajil sama dengan pengakuan dan pengukuran produk murabahah
dalam PSAK 102.
1.
Akuntansi Untuk Penjual
a.
Pada saat perolehan, aset murabahah diakui
sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
b.
Pengukuran aset murabahah setelah
perolehan adalah sebagai berikut:
1) jika murabahah pesanan
mengikat, maka:
a) dinilai sebesar biaya
perolehan; dan
b) jika terjadi penurunan
nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke
nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai
aset:
2) jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
a) dinilai berdasarkan
biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah;
dan
b) jika nilai bersih yang
dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui
sebagai kerugian.
c.
Diskon pembelian aset murabahah diakui
sebagai:
1) pengurang biaya
perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum
akad murabahah;
2) kewajiban kepada
pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang
disepakati menjadi hak pembeli;
3) tambahan keuntungan murabahah,
jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi hak penjual; atau
4) pendapatan operasi
lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak
diperjanjikan dalam akad.
d.
Kewajiban
penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi
pada saat:
1) dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah
dikurangi dengan biaya pengembalian; atau
2) dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau
oleh penjual.
e.
Pada saat akad murabahah,
piutang murabahah diakui
sebesar biaya perolehan aset murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan
keuangan, piutang murabahah dinilai
sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi
penyisihan kerugian piutang.
f.
Keuntungan murabahah diakui:
1) pada saat terjadinya
penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak
melebihi satu tahun; atau
2) selama periode akad
sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut
untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini
digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya
transaksi murabahah-nya:
a) Keuntungan diakui saat
penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan
untuk murabahah tangguh dimana
risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.
b) Keuntungan diakui
proporsional dengan besaran kas yang berhasih ditagih dari piutang murabahah.
Metode ini terapan untuk transaksimurabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau
beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga.
c) Keuntungan diakui saat
seluruh piutang murabahah berhasil ditagih.
Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang
serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai,
karena transaksi murabahah tangguh
mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan
kasnya.
g.
Pengakuan
keuntungan, dalam paragraf 23 (b) (ii), dilakukan secara proporsional atas
jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan
terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung
dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah.
h.
Berikut ini
contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset
(pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara
angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang
diakui setiap tahun adalah sebagai berikut:
Tahun
|
Angsuran (Rp)
|
Pokok (Rp)
|
Keuntungan (Rp)
|
1
|
500,00
|
400,00
|
100,00
|
2
|
300,00
|
240,00
|
60,00
|
3
|
200,00
|
160,00
|
40,00
|
i.
Potongan pelunasan piutang murabahah yang
diberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari
waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah.
j.
Pemberian
potongan pelunasan piutang murabahah dapat
dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut:
1) diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah; atau
2) diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari
pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli.
k.
Potongan angsuran murabahah diakui
sebagai berikut:
1) jika disebabkan oleh
pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan
murabahah;
2) jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban.
l.
Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam
melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan dendayang diterima diakui
sebagai bagian dana kebajikan.
m. Pengakuan dan
pengukuran uang muka adalah sebagai berikut:
1) uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar
jumlah yang diterima;
2) jika barang jadi
dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang
(merupakan bagian pokok);
3) jika barang batal
dibeli oleh pembeli, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah
diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual.
2.
Akuntansi Untuk Pembeli Akhir
a.
Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh
diakui sebagai hutang murabahah sebesar
harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan).
b.
Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui
sebesar biaya perolehan murabahah tunai.
Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui
sebagai beban murabahah tangguhan.
c.
Beban murabahah tangguhan diamortisasi
secara proporsional dengan porsi hutang murabahah.
d.
Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah,
potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan.
e.
Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan
kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian.
f.
Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli
barang diakui sebagai kerugian.
D.
Aplikasi Produk Ba’i
Bithaman Ajil[4]
Bai` Bits-Tsaman Ajil
tidak hanya terbatas antara pembeli dan penjual di pasar. Tetapi sebuah lembaga
keuangan seperti bank pun bisa melakukan akad ini. Namun sebenarnya bank hanya
memiliki uang dan tidak memiliki barang. Maka bila ada seseorang yang ingin
membeli barang, pihak bank tidak bisa menyediakan barang itu. Pihak bank harus
membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan pembeli. Idealnya, pihak bank
akan datang ke pasar dan membeli barang yang dibutuhkan lalu menjualnya kepada
pembeli dengan mengambil keuntungan harga.
Kita harus memahami
bahwa bai` adalah akad mu`awadloh, yaitu tukar menukar barang dengan uang. Maka
barang yang dijual harus sudah menjadi milik sepenuhnya pihak penjual. Dalam
istilah fiqih dikenal dengan sebutan milkiyyah tammah. Bank berposisi sebagai
penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Namun dalam prakteknya,
untuk pengadaan barang, pihak penjual (bank) akan kerepotan bila harus bolak
bali ke pasar untuk membeli barang. Sehingga untuk mudah dan efisiennya, pihak
bank bisa mewakilkan pembelian barang dari pasar kepada calon pembelinya dengan
akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing.
Akad wakalah maksudnya
adalah pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli barang. Atau lebih mudahnya
bank minta tolong kepada pembli untuk membelikan barang. Namun kepemilikan
barang itu ketika dibeli adalah jelas milik bank. Si pembeli hanya dititipi
saja untuk membeli barang. Dan pihak bank yang sesungguhnya menjadi penjual
harus mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar-benar telah
dibeli. Salah satunya misalnya dengan ditunjukkan faktur pembelian oleh pembeli
yang dititip untuk membeli. Hal ini untuk menghindari kemungkinan barang tidak
dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian
lebih.
Resiko yang terjadi
dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan
resiko calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual beli adalah ketika
barang itu sudah diterima oleh pihak pembeli dalam keadaan selamat. Sehingga
dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu :
1.
Akad Wakalah : antara bank dengan
nasabah. Dimana saat itu bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat
itu bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan pembelian barang
dari pihak ketiga.
2.
Akad Jual Beli Kredit : setelah
barang telah terbeli maka si bank menjual barang tersebut dengan harga yang
disepakati dua pihak. Kemudian pembayaran nasabah kepada bank dengan cara
kredit atau tidak tunai.
Bai Bithaman Ajil, implementasinya dalam perbankan dapat
diilustrasikan sebagai berikut[5]
:
1.
Nasabah
membutuhkan rumah, gedung, kendaraan, alat berat, mesin-mesin, dll.
2.
Bank membeli
terlebih dahulu objek yang dibutuhkan nasabah
3.
Bank membayar
objek pembelian pada supplier
4.
Bank menjual
objek kepada pembeli / nasabah
5.
Jangka waktu
pembayaran dan besamya cicilan disepakati bersama
6.
Pada akhir
periode setelah pembayaran lunas nasabah sah menjadi pemilik objek, yaitu
setelah objek tersebut tidak lagi dibebani hak tanggungan atau tidak lagi
diikat sebagai agunan oleh bank.
Setelah dilakukan penelitian dan
pengkajian yang lebih mendalam, bahwa ba’i bithaman ajil (BBA) dan murabahah
tidaklah ada bedanya, bai’ bitsaman ajil merupakan salah satu cara pembayaran
murabahah. Oleh karena itu pada saat sekarang transaksi tersebut yang ada hanya
murabahah saja, sedangkan untuk istilah bai’ bithaman ajil sudah tidak
dipergunakan lagi. Ada bank syariah yang memasarkan BBA, tetapi hal tersebut
hanya sebatas nama saja yang merupakan nama produk murabahah yaitu Beli Bayar
Angsur.[6]
E.
Kelebihan dan Kekurangan
Produk Ba’i Bithaman Ajil
1.
Kelebihan Produk Ba’i
Bithaman Ajil
Adanya jenis transaksi ini di dalam Islam
tentu memberikan banyak keringanan dan kemudahan. Sebab tidak semua orang mampu
membeli barang kebutuhan dengan sekali bayar. Pada barang kebutuhan itu memang
sesuatu yang mutlak diperlukan. Apalagi para pegawai yang penghasilannya
terbatas. Tidak mungkin bisa dapat membeli barang kebutuhan hidupnya seperti
rumah, kendaraan atau perabot rumah tangga yang harga berkali-kali lipat dari
gaji bulanannya.
Sebenarnya seseorang yang penghasilannya
pas-pasan bisa saja menabung dan bersabar untuk tidak membeli barang yang
harganya mahal itu secepatnya. Tetapi kita sekarang ini hidup di zaman yang
serba cepat dan kebutuhan akan barang-barang itu sedemikian penting. Sehingga
kalau pun menabung, maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa
memilikinya. Apalagi tidak semua orang punya bakat untuk menabung, sebab ketika
uang ada di tangan, seringkali orang tergoda untuk membelanjakannya.
Di sisi lain, para penjual barangpun
berusaha untuk membuat barangnya segera laku terjual. Sebab bila stok barang
hanya menumpuk di toko, maka kerugian akan terjadi. Maka lebih baik barang bisa
segera terjual meskipun pembayarannya ditangguhkan. Jadi baik pembeli maupun
penjual sama-sama punya kepentingan. Pembeli butuh barang segera tapi uangnya
kurang. Sedangkan penjual butuh barangnya segera laku meski pembayarannya tidak
tunai. Dan jalan keluar dari semua itu adalah Bai` Bits-Tsaman Ajil ini.[7]
Al-bai’ bithaman ajil banyak memberikan manfaat kepada
bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih
harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem
al-bai’ bithaman ajil juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan
administrasinya di bank syariah.[8]
2.
Kekurangan Produk Ba’i
Bithaman Ajil[9]
Namun pada
praktek dan aplikasinya seperti diatas, produk ini seringkali terlanggar akibat
kurang dipahaminya prinsip syariah, juga karena batas antara akad ini dengan
akad lainnya sedemikian tipis. Ketika pihak bank menitipkan uang untuk membeli
barang kepada pihak pembeli yang nantinya akan dibeli lagi oleh pembeli itu
dengan harga yang lebih tinggi, ada celah yang bisa dimanfaatkan. Antara lain
uang titipan itu tidak dibelikan barang yang dimaksud. Tetapi digunakan untuk
keperluan yang lain. Lalu bila jatuh temponya, si pembeli melunasi pembayaran
yang sudah dimark-up kepada pihak bank.
Kalau yang
terjadi demikian, maka tidak ada bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Dan
alasan pembeli butuh barang hanyalah kamuflase belaka. Sebab pada prakteknya
yang terjadi justru sebuah transaksi pinjam uang dengan kewajiban penambahan
nilai pengembaliannya. Dan praktek itu jelas sebuah transaksi ribawi yang sejak
dini telah diharamkan oleh kitab dan sunnah.
Sehingga bila sebuah bank syariah sampai
terjebak dengan akad model begini, nilai syariahnya menjadi hilang dan syariah
itu hanya tinggal assessoris yang tidak ada gunanya serta cenderung menipu
ummat. Pada titik ini, sebuah bank yang berlabelkan syariah harus hati-hati.
Sebab umat Islam menganggap apa yang dilakukan oleh bank syariah pastilah sudah
seusai dengan syariah. Sehingga kalau sampai terjadi hal-hal yang diharamkan
Allah, tentunya dosa dan azab sepenuhnya dibebankan kepada pemegang kebijakan
bank itu.
[1] lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps,
diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[2] Lewis, Mervvyn dan Algaoud, Latifa. Islamic Banking, terj. Burhan
Wirasubrata, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)
[6]
lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps,
diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[8] lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps,
diakses pada tanggal 18 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar