Jumat, 01 Maret 2013

Ba’i Bithaman Ajil


A.                Pengertian Ba’i Bithaman Ajil (BBA)[1]
Model ini mirip dengan Murabahah, kecuali bahwa BBA merupakan bentuk pembayaran yang ditangguhkan melalui cicilan walaupun Murabahah juga merupakan suatu pembayaran yang ditangguhkan tetapi pembayarannya secara sekaligus. Beberapa penulis Ekonomi Islam tidak menyebutkan BBA karena ia termasuk kedalam Murabahah. Namun di Malaysia BBA digunakan secara terpisah dari Murabahah.[2]
Istilah Bai’ Bithaman ajil sesungguhnya istilah yang baru dalam literatur fiqih Islam. Meskipun prinsipnya memang sudah ada sejak masa lalu. Secara makna harfiyah, Bai’ maknanya adalah jual beli atau transaksi. Thaman maknanya harga dan Ajil maknanya bertempo atau tidak tunai. Jenis transaksi ini sesuai dengan namanya adalah jual beli yang uangnya diberikan kemudian atau ditangguhkan. Thaman Ajil maknanya adalah harga belakangan. Maksudnya harga barang itu berbeda dengan bila dilakukan dengan tunai.[3]
Ada beberapa pengertian tentang ba’i bithaman ajil (BBA) yang berpendapat tentang pengertian BBA antara lain:
Muhamad (2000:119) berpendapat ba’i bithaman ajil (BBA) pembiayaan berakad jual beli, adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara bank Islam dengan nasabah, dimana bank Islam menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara menyicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang dibayarkan oleh peminjaman adalah jumlah atas harga barang modal dan mark-up yang disepakati.
Menurut Hertanto Widodo, dkk (1999:49) bahwa bai’ bithaman ajil adalah akad jual beli barang dengan pembayaran cicilan, sedangkan harga jual adalah harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.
Menurut Antonio (2001:101) bahwa bai’ bithamanil ajil adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ bithamanil ajil, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan suatu imbalan. Al-bai’ bithamanil ajil dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai al-bai’ bithamanil ajil kepada pemesan pembelian (KPP).
Pendapat lain Triandaru, dkk (2006: 124) bai’ bithaman ajil adalah akad jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan tertentu dan pembayarannya dilakukan atas dasar angsuran. Besarnya tingkat keuntungan, jangka waktu pembayaran, dan jumlah angsuran tersebut didasarkan pada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Pembayaran ini ditujukan bagi nasabah yang akan membeli barang modal atau barang untuk tujuan investasi lainnya. Pembiayaan ini ada kemiripan dengan kredit investasi yang diberikan oleh bank konvensional.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa bai’ bithaman ajil (BBA) merupakan pembiayaan yang berakad jual beli dimana suatu perjanjian yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, bank menyediakan dananya untuk sebuah investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha nasabahnya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara mencicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh peminjaman adalah jumlah atas dasar harga barang modal dan markup yang telah disepakati.
B.                 Landasan Hukum Ba’i Bithaman Ajil
Al-qur’an mengizinkan transaksi dalam bisnis selagi transaksi tersebut tidak keluar dari konteks syari’ah (agama).
Menurut Muhammad (2000:23), adapun ayat-ayat yang dapat dijadikan rujukan dasar akad Bai’ Bithaman Ajil, adalah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan hak sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (An-Nisa’: 29)
Penjelasan: Jual beli dimana murabahah dan al-bai’ bithamanan ajil merupakan bagian terpenting dari padanya, merupakan bagian terbesar dari rangkaian perniagaan dan bisnis.
Pada surat Al-baqarah ayat 275 juga telah dijelaskan yang artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Kalimat diatas menjelaskan bahwa Allah itu tidak melarang adanya praktek jual beli tetapi Allah melarang/mengharamkan adanya riba.
Firman Allah QS. AI-Baqarah (2) : 280 : "Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan "
Dan dalam Hadist juga telah disebutkan, Muhammad (2000:23) yang berbunyi: “Dari Suhaib r.a bahwa Rosullah SAW bersabda: ada tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan, yaitu: (1) menjual secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah tangga dan bukan untuk dijual ” (HR. Ibnu Majah No: 2280).
Penjelasan: Al-murabahah dan Al-bai’ Bithamanan Ajil merupakan salah satu bentuk pembiayaan secara kredit karena pembiayaannya dilakukan pada waktu jatuh tempo atau secara cicilan.
C.                Pengakuan dan Pengukuran Produk Murabahah / Ba’i Bithaman Ajil (Berdasarkan PSAK 102)
Pada dasarnya, pengakuan dan pengakuan produk ba’i bithaman ajil sama dengan pengakuan dan pengukuran produk murabahah dalam PSAK 102.
1.      Akuntansi Untuk Penjual
a.         Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
b.         Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
1)      jika murabahah pesanan mengikat, maka:
a)    dinilai sebesar biaya perolehan; dan
b)   jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
2)      jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
a)    dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan
b)   jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
c.         Diskon pembelian aset murabahah diakui sebagai:
1)      pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah;
2)      kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati menjadi hak pembeli;
3)      tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi hak penjual; atau
4)      pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad.
d.        Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat:
1)      dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian; atau
2)      dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual.
e.         Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang.
f.          Keuntungan murabahah diakui:
1)      pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau
2)      selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahah-nya:
a)    Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.
b)   Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasih ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksimurabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga.
c)    Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
g.         Pengakuan keuntungan, dalam paragraf 23 (b) (ii), dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah.
h.         Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut:
Tahun
Angsuran (Rp)
Pokok (Rp)
Keuntungan (Rp)
1
500,00
400,00
100,00
2
300,00
240,00
60,00
3
200,00
160,00
40,00

i.           Potongan pelunasan piutang murabahah yang diberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah.
j.           Pemberian potongan pelunasan piutang murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut:
1)      diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah; atau
2)      diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli.
k.         Potongan angsuran murabahah diakui sebagai berikut:
1)      jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah;
2)       jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban.
l.           Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan dendayang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.
m.       Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut:
1)       uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima;
2)      jika barang jadi dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang (merupakan bagian pokok);
3)      jika barang batal dibeli oleh pembeli, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual.
2.      Akuntansi Untuk Pembeli Akhir
a.         Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan).
b.         Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan.
c.         Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah.
d.        Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan.
e.         Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian.
f.          Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.
D.                Aplikasi Produk Ba’i Bithaman Ajil[4]
Bai` Bits-Tsaman Ajil tidak hanya terbatas antara pembeli dan penjual di pasar. Tetapi sebuah lembaga keuangan seperti bank pun bisa melakukan akad ini. Namun sebenarnya bank hanya memiliki uang dan tidak memiliki barang. Maka bila ada seseorang yang ingin membeli barang, pihak bank tidak bisa menyediakan barang itu. Pihak bank harus membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan pembeli. Idealnya, pihak bank akan datang ke pasar dan membeli barang yang dibutuhkan lalu menjualnya kepada pembeli dengan mengambil keuntungan harga.
Kita harus memahami bahwa bai` adalah akad mu`awadloh, yaitu tukar menukar barang dengan uang. Maka barang yang dijual harus sudah menjadi milik sepenuhnya pihak penjual. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan milkiyyah tammah. Bank berposisi sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Namun dalam prakteknya, untuk pengadaan barang, pihak penjual (bank) akan kerepotan bila harus bolak bali ke pasar untuk membeli barang. Sehingga untuk mudah dan efisiennya, pihak bank bisa mewakilkan pembelian barang dari pasar kepada calon pembelinya dengan akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing.
Akad wakalah maksudnya adalah pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli barang. Atau lebih mudahnya bank minta tolong kepada pembli untuk membelikan barang. Namun kepemilikan barang itu ketika dibeli adalah jelas milik bank. Si pembeli hanya dititipi saja untuk membeli barang. Dan pihak bank yang sesungguhnya menjadi penjual harus mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar-benar telah dibeli. Salah satunya misalnya dengan ditunjukkan faktur pembelian oleh pembeli yang dititip untuk membeli. Hal ini untuk menghindari kemungkinan barang tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang terjadi dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan resiko calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual beli adalah ketika barang itu sudah diterima oleh pihak pembeli dalam keadaan selamat. Sehingga dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu :
1.                  Akad Wakalah : antara bank dengan nasabah. Dimana saat itu bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat itu bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan pembelian barang dari pihak ketiga.
2.                  Akad Jual Beli Kredit : setelah barang telah terbeli maka si bank menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua pihak. Kemudian pembayaran nasabah kepada bank dengan cara kredit atau tidak tunai.
Bai Bithaman Ajil, implementasinya dalam perbankan dapat diilustrasikan sebagai berikut[5] :
1.                  Nasabah membutuhkan rumah, gedung, kendaraan, alat berat, mesin-mesin, dll.
2.                  Bank membeli terlebih dahulu objek yang dibutuhkan nasabah
3.                  Bank membayar objek pembelian pada supplier
4.                  Bank menjual objek kepada pembeli / nasabah
5.                  Jangka waktu pembayaran dan besamya cicilan disepakati bersama
6.                  Pada akhir periode setelah pembayaran lunas nasabah sah menjadi pemilik objek, yaitu setelah objek tersebut tidak lagi dibebani hak tanggungan atau tidak lagi diikat sebagai agunan oleh bank.
Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam, bahwa ba’i bithaman ajil (BBA) dan murabahah tidaklah ada bedanya, bai’ bitsaman ajil merupakan salah satu cara pembayaran murabahah. Oleh karena itu pada saat sekarang transaksi tersebut yang ada hanya murabahah saja, sedangkan untuk istilah bai’ bithaman ajil sudah tidak dipergunakan lagi. Ada bank syariah yang memasarkan BBA, tetapi hal tersebut hanya sebatas nama saja yang merupakan nama produk murabahah yaitu Beli Bayar Angsur.[6]
E.                 Kelebihan dan Kekurangan Produk Ba’i Bithaman Ajil
1.         Kelebihan Produk Ba’i Bithaman Ajil
Adanya jenis transaksi ini di dalam Islam tentu memberikan banyak keringanan dan kemudahan. Sebab tidak semua orang mampu membeli barang kebutuhan dengan sekali bayar. Pada barang kebutuhan itu memang sesuatu yang mutlak diperlukan. Apalagi para pegawai yang penghasilannya terbatas. Tidak mungkin bisa dapat membeli barang kebutuhan hidupnya seperti rumah, kendaraan atau perabot rumah tangga yang harga berkali-kali lipat dari gaji bulanannya.
Sebenarnya seseorang yang penghasilannya pas-pasan bisa saja menabung dan bersabar untuk tidak membeli barang yang harganya mahal itu secepatnya. Tetapi kita sekarang ini hidup di zaman yang serba cepat dan kebutuhan akan barang-barang itu sedemikian penting. Sehingga kalau pun menabung, maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memilikinya. Apalagi tidak semua orang punya bakat untuk menabung, sebab ketika uang ada di tangan, seringkali orang tergoda untuk membelanjakannya.
Di sisi lain, para penjual barangpun berusaha untuk membuat barangnya segera laku terjual. Sebab bila stok barang hanya menumpuk di toko, maka kerugian akan terjadi. Maka lebih baik barang bisa segera terjual meskipun pembayarannya ditangguhkan. Jadi baik pembeli maupun penjual sama-sama punya kepentingan. Pembeli butuh barang segera tapi uangnya kurang. Sedangkan penjual butuh barangnya segera laku meski pembayarannya tidak tunai. Dan jalan keluar dari semua itu adalah Bai` Bits-Tsaman Ajil ini.[7]
Al-bai’ bithaman ajil banyak memberikan manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem al-bai’ bithaman ajil juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.[8]
2.         Kekurangan Produk Ba’i Bithaman Ajil[9]
Namun pada praktek dan aplikasinya seperti diatas, produk ini seringkali terlanggar akibat kurang dipahaminya prinsip syariah, juga karena batas antara akad ini dengan akad lainnya sedemikian tipis. Ketika pihak bank menitipkan uang untuk membeli barang kepada pihak pembeli yang nantinya akan dibeli lagi oleh pembeli itu dengan harga yang lebih tinggi, ada celah yang bisa dimanfaatkan. Antara lain uang titipan itu tidak dibelikan barang yang dimaksud. Tetapi digunakan untuk keperluan yang lain. Lalu bila jatuh temponya, si pembeli melunasi pembayaran yang sudah dimark-up kepada pihak bank.
Kalau yang terjadi demikian, maka tidak ada bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Dan alasan pembeli butuh barang hanyalah kamuflase belaka. Sebab pada prakteknya yang terjadi justru sebuah transaksi pinjam uang dengan kewajiban penambahan nilai pengembaliannya. Dan praktek itu jelas sebuah transaksi ribawi yang sejak dini telah diharamkan oleh kitab dan sunnah.
Sehingga bila sebuah bank syariah sampai terjebak dengan akad model begini, nilai syariahnya menjadi hilang dan syariah itu hanya tinggal assessoris yang tidak ada gunanya serta cenderung menipu ummat. Pada titik ini, sebuah bank yang berlabelkan syariah harus hati-hati. Sebab umat Islam menganggap apa yang dilakukan oleh bank syariah pastilah sudah seusai dengan syariah. Sehingga kalau sampai terjadi hal-hal yang diharamkan Allah, tentunya dosa dan azab sepenuhnya dibebankan kepada pemegang kebijakan bank itu.


[1] lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[2] Lewis, Mervvyn dan Algaoud, Latifa. Islamic Banking, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)
[3] http://elfadhi.wordpress.com, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[4] http://elfadhi.wordpress.com, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[5] eprints.undip.ac.id/18803/1/RAHADI_KRISTIYANTO.pdf, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[6] lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[7] http://elfadhi.wordpress.com, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[8] lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/04610030-dwi-riska-amalia.ps, diakses pada tanggal 18 Desember 2012
[9] http://elfadhi.wordpress.com, diakses pada tanggal 18 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar