A.
Pengertian As – Salam
Dalam pengertian yang
sederhana, salam berarti pemberian barang yang di serahkan dikemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.
Secara terminologi (ta’rif)
muamalah salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya
sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan
penjualan, yang syarat tersebut diantaranya adalah mendahulukan pembayaran pada
waktu diakad majlis (akad disepakati).
As-salam / disebut juga
as-salaf, merupakan istilah dalam bahasa arab yang mengandung makna penyerahan.
Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan transaksi as-salam,
perbedaan ini didasari oleh perbedaan persyaratan yang dikemukakan oleh
masing-masing mereka.
1. Al-Bahuti mendefenisikan as-salam sebagai
transaksi atas sesuatu yang masih berada dalam tanggungan dengan
kriteria-kriteria tertentu dan diserahkan kemudian dengan pembayaran harga
ditempat kontrak, secara lebih ringkas disebutkan jual beli yang ditangguhkan
dengan harga diserahkan.
2. An-Nawawi mengemukakan bahwa as-salam
merupakan transaksi atas sesuatu yang masih berada dalam tanggungan dengan
kriteria-kriteria tertentu dan pembayaran dilakukan segera, dalam defenisi tadi
tidak disebutkan bahwa sesuatu yang berada dalam tanggungan tersebut diserahkan
kemudian, karena menurutnya transaksi as-salam juga boleh dengan penyerahan
barang segera.
3. Menurut Al-Qurthubi, as-salam merupakan
transaksi jual-beli atas sesuatu yang diketahui dan masih berada dalam
tanggungan dengan kriteria-kriteria tertentu dan diserahkan kemudian dengan
pembayaran harga segera/tunai atau dihukumkan sama dengan segera/tunai. Dalam
hal ini mereka membolehkan pembayaran harga ditangguhkan dua atau 3 hari,
karena hal itu dihukumkan sama dengan segera/tunai.
Dari berbagai perbedaan
defenisi yang disebutkan nampak ada beberapa poin yang disepakati :
·
Pertama,
disebutkan bahwa as-salam merupakan suatu transaksi dan sebagian menyebutkan
sebagai transaksi jual beli.
·
Kedua,
adanya keharusan menyebutkan kriteria-kriteria untuk sesuatu yang dijadikan
obyek transaksi/al-muslam fih.
·
Ketiga,
obyek transaksi/al-muslam fih harus berada dalam tanggungan.
B.
Ayat dan Hadist Tentang As-Salam
1.
Ayat
tentang as-salam
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya …” (Al-Baqarah : 282 )
2.
Hadist
tentang as-salam
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam)
dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau
berkata,
Artinya :
“Barangsiapa yang melakukan
salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, untuk janka waktu yang diketahui.”
Menurut pendapat kebanyakan
ahli fiqh, transaksi as-salam boleh namun bertentangan dengan qiyas. Hal ini
merupakan suatu dispensasi untuk kemaslahatan dan kemudahan bagi manusia dari
kaidah larangan memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada yang diambil dari
hadist.
Adapun yang dilarang pada hadist
tersebut adalah jual beli sesuatu yang bukan dalam tanggungan dan tidak bisa
dihadirkan kriteria-kriterianya.
Transaksi as-salam boleh
sesuai dengan al-qur’an dan hadist dan berlandaskan atas dasar, bahwa :
·
Di
dalam transaksi as-salam terdapat unsur yang sejalan dengan upaya
merealisasikan kemashalatan perekonomian (mushlahah al-iqtishadiyyah).
·
Transaksi
as-salam merupakan rukhsyah (suatu dispensi / sesuatu yang meringankan bagi
manusia.
·
Transaksi
as-salam memberikan kemudahan kepada manusia.
C.
Rukun dan Syarat As-Salam
1.
Rukun
As-Salam
Pelaksanaan as-salam harus
memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
Ø Muslam (pembeli)
Ø Muslam Ilaih (penjual)
Ø Modal / uang
Ø Muslam Fiihi (barang)
Ø Sighat
Akan tetapi, dalam pembahasan
diuraikan mengenai ketentuan-ketentuan pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi as-salam, dalam transaksi as-salam memiliki 3 unsur rukun, yaitu
pertama tentang sighat transaksi, kedua tentang perilaku transaksi, dan ketiga
tentang obyek transaksi.
Ketiga unsur rukun tersebut
harus ada untuk terjadinya transaksi as-salam.
a.
Sighat
transaksi
Sighat adalah pertanyaan ijab
dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang keluar lebih dahulu dari salah seorang
yang melakukan transaksi yang menunjukkan atas keinginan melakukan transaksi.
Adapun qabul adalah pernyataan yang terakhir dari pihak kedua yang menunjukkan
atas kerelaannya menerima pernyataan pertama.
Unsure utama dari transaksi
as-salam adalah kerelaan kedua belah pihak, sama halnya dalam transaksi jual
beli. Hal ini menunjukkan bahwa ijab dan qabul merupakan unsur penting dalam
melakukan transaksi as-salam selain dua unsur lainnya, yaitu subyek dan obyek
transaksi.
Pernyataan ijab dan qabul
dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan/surat menyurat atau isyarat yang
memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul.
Dengan memperhatikan hal
diatas, maka transaksi as-salam dapat dilakukan dengan segala macam pernyataan
yang dapat dipahami maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi,
baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat maupun dalam bentuk tulisan.
b.
Pelaku
transaksi
Pelaku transaksi / pihak-pihak
yang terlibat dalam transaksi as-salam sama dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi jual beli biasa, yaitu pembeli / pemesan atau disebut juga
dengan istilah rab as-salam atau al-muslim dan penjual / disebut dengan istilah
al-muslam ilaih.
Utama fiqh sepakat menyatakan
bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli harus orang yang memiliki
kecakapan melakukan tindakan-tindakan hukum. Jual beli yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah.
Ahli Fiqh mazhab syafi’i
mengisyaratkan pelaku transaksi harus sudah baliq.
Menurut ahli fiqh dan Mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hambali, anak kecil yang sudah dapat membedakan / memilih
sah transaksi jual belinya apabila mendapatkan izin dari walinya.
c.
Obyek
transaksi
Obyek dalam transaksi as-salam
sama halnya seperti dalam transaksi jual beli yaitu sesuatu yang
diperjualbelikan yang dalam transaksi as-salam disebut ra’s al-mal dan
al-muslam fih.
Ra’s as-mal adalah harga yang
harus dibayar oleh rab as-salam, sedang al muslam fih adalah produk / komoditi
yang harus diserahkan oleh al-muslam ilaih kepada rab as-salam.
Para ahli fiqh menentukan
bahwa obyek transaksi harus merupakan harta yang memiliki nilai dan manfaat
menurut syara’ bagi pihak-pihak yang mengadakan transaksi. Ahli fiqh dan Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa manfaat / jasa tidak boleh dijadikan sebagai obyek
transaksi as-salam, karena menurut mereka manfaat / jasa bukan termasuk
kategori harta.
Menurut Ibn Rusyd sesuatu yang najis seperti minuman
keras dan babi tidak boleh dijadikan subyek transaksi. Hal ini ditegaskan oleh
Rasulullah SAW, yang artinya yaitu :
“Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala.”
Hadist itu menurut Sayyid
Sabiq mempunyai ‘illat pengharaman jual beli adalah karena najis Mazhab Hanafi
mengecualikan bagi barang yang dipandang kotor dan najis selama dapat
dimanfaatkan, maka dinilai boleh untuk diperjualbelikan, seperti menjual
kotoran binatang yang dipergunakan sebagai pupuk tanam-tanaman.
2.
Syarat
As-Salam
Disamping segenap rukun harus
terpenuhi, as-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada
masing-masing rukun. Dibawah ini akan diuraikan dua diantaranya rukun-rukun
terpenting, yaitu modal dan barang.
a.
Modal
transaksi as-salam
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam modal as-salam adalah sebagai berikut:
1.
Modal
harus diketahui
Barang yang akan disuplai
harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya.
Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia
harus dalam bentuk uang tunai.
2.
Penerimaan
pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan
pembayaran salam dilakukan ditempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar
pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai
utang penjual. Lebih khusus lagi pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk
pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini adalah
untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam.
b.
Al-Muslam
Fiihi (barang)
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam al-muslam fiihi / barang yang ditransaksikan dalam as-salam
adalah sebagai berikut :
1.
Harus
spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2.
Harus
bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya
pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras atau kain), tentang
klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, kelas dua, atau ekspor), serta
mengenai jumlahnya.
3.
Penyerahan
barang dilakukan kemudian hari.
4.
Kebanyakan
ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian,
tetapi Mashab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
5.
Bolehnya
menentukan tanggal waktu dimasa yang akan datang untuk penyerahan barang.
6.
Tempat
penyerahan, pihak-pihak yang berkontrak harus menunjukkan tempat yang
disepakati dimana barang harus diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak
tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ketempat yang menjadi
kebiasaan, misalnya gudang si penjual / bagian pembelian si pembeli.
7.
penggantian
musiman fi’ihi dengan barang lain, para ulama melarang penggantian muslam fi’ihi
dengan barang lainnya.
Penukaran atau penggantian
barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan,
barang tersebut tidak lagi milik si muslam alaih, tetapi sudah menjadi milik
muslam (fidz-dzimah) . bila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki
spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama
membolehkannya.
Hal demikian tidak dianggap
sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang lain.
D.
Manfaat As-Salam
Manfaat as-salam adalah selisih harga yang
didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar