Jumat, 08 Maret 2013

Istihsan


A.      Pengertian Istihsan
Istihsan secara bahasa(Arab: استحسان)  adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan itu sendiri adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1.    Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[2]
2.    Dalil yang terpetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3.    Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
4.    Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah
1.    Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2.    Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3.    Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4.    Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
           
B.  Sejarah metode Istihsân
Penggunaan Istihsân tidak ditegaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash al-Qur’ân ataupun al-Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan Istihsân di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan logika di kalangan mereka.
Penggunaan logika sendiri dibenarkan kedudukannya oleh Rasulullah SAW, seperti dalam hadits Mu’âdz bin Jabal r.a. Hal ini yang menjadikan para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka. Penggunaan logika (ra’yu) tentu saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk di dalamnya metode qiyâs, Istihsân, Istishâb, Sadd adz-Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus menunjukkan adanya pemahaman yang luas berkaitan dengan maqâshid Syarî’ah. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththâb r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.” Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththâb ini ada pemahaman yang jelas bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas jalan Syariat.
DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarrakah dengan menggunakan proses istinbâth hukum istihsân di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsân menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsân sering disandingkan dengan qiyâs. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyâs seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsân.
C.  Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
D.  Macam – Macam Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda yaitu:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya. Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1)   Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah.
contohnya : hukum jual-beli as-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad  terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari  no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2)   Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3)   Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
4)   Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:  
36. Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjidز
Istihsan dengan ‘urf  yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang  kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas. Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
1.      Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
2.      Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3.      Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
4.      Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya diqiyaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal najisnya liur mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara qiyas khafy) dengan liur manusia, karena keduanya –manusia dan burung yang carnivora- tidak boleh dimakan. Dan liur manusia –sebagaimana terdapat dalam hadits– adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsan lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas.
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Secara qiyas seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini –menurut Hanafiyah- pengamalan qiyas lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain –pen), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.
Lalu ia mengatakan,
“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam kasus ini) dengan alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung mudharat terhadapnya. Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justru akan menyebabkan mudharat.”[5]


[1]Di kutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Istihsan#Jenis-jenis_Istihsan,  di akses pada hari Sabtu, 22 oktober 2011
[2] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Muhammad ibn Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
[3]     I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut. T.t.
[4] .      Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
[5]Di kutip dari http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7, di akses pada hari sabtu 22 oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar