A.
Auditing dalam Perspektif
Islam
Auditing adalah berfungsi
untuk memeriksa / menyaksikan kewajaran (kebenaran) suatu laporan yang
disajikan oleh manajemen sehingga bisa diyakini oleh pembaca umum yang
digunakan dalam proses pengambilan keputusan.[1]
Dibutuhkannya Auditing
berhubungan dengan lahirnya Akuntansi. Banyak
menyebutkan bahwa akuntansi yang sekarang ini diklaim berasal dari Barat.
Keberadaan akuntansi Barat atau konvensional yang selama ini berkembang
terutama yang kita kenal dalam teorinya Luca Paciolli, telah mengakar dalam
arah pemikiran dan praktik di dunia bisnis hampir seluruh negara. Selama kurun
waktu berlangsung, banyak juga kontroversi diantara sejarahwan yang meneliti
tentang perkembangan akuntansi bahwa akuntansi itu bukan berasal dari Barat.
Sebenarnya Luca Pacioli bukanlah orang yang menemukan double
entri accounting system. Karena sebelum Luca Pacioli, sebenarnya akuntansi
telah dikenal melalui Rasulullah yang telah menggunakan prinsip akuntansi dalam
kesehariannya. Dan sejarah ini di mulai pada zaman Rasulullah saw.
Perbandingan
lamanya akuntansi dikenal dalam Negara Islam dengan akuntansi dikenal oleh
orang kebanyakan adalah 800 tahun lebih dulu, karena akuntansi Islam telah
dikenal sejak diturunkannya Al-Qu’an yaitu pada tahun 610 M sedangkan
masyarakat kebanyakan mengenal akuntansi pada tahun 1494 M setelah terbitnya
buku Luca Paciolli.[2]
Di negara Islam, para akuntan
terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan pekerjaan akuntansi,
dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian
pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul
hisabat (pengoreksian pembukuan / auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian
pembukuan), atau arriqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun,
hanya menganggap penamaan yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk
watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan ketiga, dipandang tidak
sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada auditor.
Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal.
130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan
kebutuhan terhadapnya. Dia berkata:
“Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam
menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu
tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan
orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi
pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al
Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika
seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus
memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku
tersebut.”[3]
Akuntansi dalam perspektif
Islam ditunjukkan pada berbagai ayat telah dijelaskan dalam Al-quran. Ayat-ayat
tersebut adalah :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282).
Ayat ini
mewajibkan penulisan utang piutang untuk menjamin terciptanya kebenaran dan
keadilan. Menurut ayat ini, pencatatan saja tidak cukup, tetapi harus ada
persaksian dari pihak lain. Profesi akuntan sangat relevan dengan fungsi
persaksian (attestation) dan fungsi akunting dengan pencatatan.[4]
Dalam Al Quran disampaikan
bahwa kita harus mengukur secara adil tersebut, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi
kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam ayat lain dalam surah Asy-Syu'ara ayat 181-184 yang berbunyi:
"Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan
dan bertakwalah kepada Allah yang telah Menciptakan kamu dan umt-umat yang
dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam
mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran
kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang
Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam
sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau
ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan
sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan
dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang
melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan
strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam ilmu Auditing. Dalam
Islam, fungsi Auditing ini disebut "tabayyun"
sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”[5]
B.
Auditing dan Masyarakat [6]
Tidak dapat disangkal bahwa secara tidak
langsung dunia saat ini dikuasai oleh konglomerat atau perusahaan
multinasional. Tidak terasa pemerintah, masyarakat bahkan pola pikir kita juga
sudah dipengaruhi oleh cara berfikir kapitalis yang menguasai perusahaan
multinasonal itu. Perusahaan ini tentu harus juga memiliki tanggungjawab kepada
masyarakat sehingga dia harus meminimalkan munculnya social cost (biaya sosial) dan memaksimalkan munculnya social benefit (manfaat sosial). Salah satu media pertanggungjawaban
perusahaan kepada masyarakat adalah melalui laporan keuangan. Laporan keuangan ini disusun dengan menggunakan
standar akuntansi yang ditetapkan oleh suatu lembaga resmi baik pemerintah
maupun organisasi profesi. Standar ini disusun bukan hanya memperhatikan
kepentingan perusahaan, pemilik, investor, tetapi juga kepentingan pemerintah
dan masyarakat.
Laporan keuangan selaku informasi yang
disajikan perusahaan tentu tidak bisa dipercaya begitu saja oleh masyarakat
karena kepentingan pribadinya yang melekat dalam laporan itu. Sehingga
masyarakat membutuhkan pihak ketiga yang independen yang berfungsi selaku “penyaksi” yang akan memeriksa kewajaran, kebenaran, keakuratan,
informasi yang disampaikannya kepada masyarakat. Hal ini penting untuk
melindungi masyarakat dari informasi yang tidak benar atau palsu (disinformasi)
tentang perusahaan itu. Padahal informasi ini sangat mempengaruhi perilaku
masyarakat yang membacanya. Dalam hipotesa EMH (Efficiency Market Hypothesis) kita ketahui bahwa harga pasar di
bursa ditentukan oleh informasi yang tersedia bagi masyarakat. Artinya
informasi mengenai perusahaan itu yang berasal dari berbagai sumber akan
mempengaruhi perilaku masyarakat yang memiliki hubungan dengannya. Sehingga
informasi itu akan mempengaruhi keputusannya dan keputusan itu bisa menimbulkan
keuntungan atau kerugian. Bailey (1979) menggambarkan hubungan ini sebagai
berikut :
Gambar :
Hubungan antara Auditor,
Laporan Keuangan, Badan Usaha, dan Masyarakat
Laporan keuangan yang disajikan
perusahaan diperiksa oleh auditor untuk mendapatkan bukti sejauh mana
kebenaran, kewajaran, atau kesesuaiannya dengan bukti yang dimiliki oleh
perusahaan. Hasil audit ini adalah dalam bentuk penyaksian yang akan dituangkan
dalam bentuk laporan akuntan independen.
Memang fungsi audit disini didasarkan
pada ketidakpercayaan atau kehati-hatian terhadap kemungkinan laporan yang
disajikan oleh perusahaan mengandung informasi yang tidak benar yang dapat
merugikan pihak lain yang tidak memiliki kemampuan akses terhadap sumber
informasi. Dalam Islam fungsi ini disebut “tabayyun”
atau mengecek kebenaran berita yang disampaikan dari sumber yang kurang
dipercaya. Sebenarnya dasar dari audit bukan hanya karena “kecurigaan”. Fungsi
audit juga didasarkan kepada keinginan mendapatkan informasi yang lebih
dipercaya, karena informasi keuangan ini dinilai sangat penting dan besar
dampaknya jika mengandung kesalahan maka diperlukan upaya dari pihak ketiga
yang independen untuk “mengecek ulang”, meyakinkan bukan saja kebenarannya
tetapi juga penyampaian, isi, bentuk dan kecukupan informasi yang disajikan.
Rittenberg and Schwieger (2001)
mengemukakan minimal ada 3 alasan perlunya fungsi assurance (kebenaran/kepastian) :
1.
Potensi adanya bias informasi dimana pihak perusahaan ingin
memberikan kesan yang lebih baik daripada kenyataan yang sebenarnya.
2.
Adanya jarak antara pemakai informasi dengan organisasi
perusahaan.
3.
Kerumitan transaksi, informasi atau sistem prosessingnya,
sehingga dalam penyajiannya diperlukan tenaga yang ahli dibidangnya.
Biasanya mereka yang diyakini
atau diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk melakukan fungsi ini adalah
akuntan publik atau akuntan independen yang pengaturan dan pengawasannya juga
dilakukan oleh masyarakat baik melalui pemerintah, lembaga tertentu,
organisasi, masyarakat, profesi maupun gabungannya. Pengawasan ini penting
karena fungsi ini melayani masyarakat. Sebenarnya dalam konteks ini akuntan
independen secara implisit memiliki “social
contract” dengan masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan besar
terhadap akuntan untuk mewakilinya (agency
theory) memeriksa dan memberikan laporan kepada masyarakat atas
kesaksiannya pada informasi yang dilaporkan. Oleh karenanya profesi ini tidak
akan eksis jika masyarakat tidak menaruh kepercayaan terhadapnya. Jika akuntan
publik ini masih ingin dihargai oleh masyarakat maka ia harus dapat meyakinkan
masyarakat bahwa ia dapat dipercaya. Tingkat kepercayaan ini merupakan modal
utama profesi akuntan.
[1]
Sofyan S Harahap. Auditing dalam Perspektif Islam. (Pustaka
Quantum, Jakarta : 2002) h. 1
[2]
http://chiehaniefha.blogspot.com/2012/10/sejarah-akuntansi-syariah.html, diakses pada tanggal 06 Februari 2013
[3]
http://ahmadbasatrisahari.blogspot.com/2012/02/auditing-dalam-perspektif-islam.html, diakses
pada tanggal 04 Februari 2013
[4]
Sofyan S Harahap. Auditing dalam Perspektif Islam. (Pustaka
Quantum, Jakarta : 2002) h. 12-3
[5]
http://ahmadbasatrisahari.blogspot.com/2012/02/auditing-dalam-perspektif-islam.html, diakses
pada tanggal 04 Februari 2013
[6]
Sofyan S Harahap. Auditing dalam Perspektif Islam. (Pustaka
Quantum, Jakarta : 2002) h. 15-8
thank you so much. Your article really helps me finishing my final work. Hope you always be surrounded by happines.
BalasHapus