A. Filosofi
dan Teori Auditing
Filosofi menurut Webster Dictionary adalah bidang ilmu yang mencari
pemahaman umum terhadap nilai dan realitas melalui kegiatan pemikiran bukan
melalui pengamatan lapangan. Sehingga filosofi auditing ini merupakan kegiatan
olah fikir yang membahas bagaimana sebenarnya ilmu auditing itu baik dari aspek
realitasnya maupun nilainya.[1]
Pengertian filosofi memang beragam, namun ada “basic idea” yang dapat sama-sama diterima umum yaitu bahwa:[2]
1. Filosofi berarti dapat kembali ke prinsip pertama yaitu
keaspek rasional dari tindakan dan pemikiran yang cenderung diterima tanpa
perlu dipertanyakan lagi.
2.
Filososfimmenyangkut
struktur ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis sehingga lebih
bermanfaat dan berkurang hal-hal yang bersifat kontradiktif internal.
3.
Filososfi
memeberikan sebuah dasar dimana hubungan social dapat menyatu dan dipahami.
Secara etimologis philosophy yang berasal ari bahasa Greek terdiri dari dua
kata: “Philein” yang berarti mencintai(to
love) dan “Sophia” yang berarti kebijaksanaan (wisdom).
Karakteristik
dari pendekatan filosofi dapat dibedakan dalam 4 bagian :[3]
1.
Comprehension (pemahaman), yakni
menunjukkan pemahaman keseluruhan dan bukan hanya bagian-bagian.Dalam Auditing
hal ini akan mengarahkan kita pada suatu Pertimbangan dari konsep umum seperti
: Bahan Pembuktian, Hal pemeliharaan, Disclosure dan Independensi.
2.
Prespektip, pandangan
pendekatan filosofi yang mengeksplorasi kebenaran sampai keakarnya para Auditor
harus mempunyai wawasan yang sangat luas yang penting untuk mendapatkan
kebenaran dan signifikasi akan berbagai hal dalam pembuktian audit. Auditor perlu
menyingkirkan dalih-dalih tertentu dan lebih mementingkan kepedulian pribadi
dan kepentingan yang ada. Tiap masalah harus ditimbang berdasarkan kepentingan
keseluruhan dan percabangnya dibandingkan dengan dari satu atau lebih pandangan
lain yang teratur.
3.
Insight (Wawasan), auditor harus mampu
memberikan asumsi-asumsi yang rasional. Pengungkapan dan penerimaan postulat
sebagai dasar auditing penting untuk menghindari bias dan menghilangkan alasan
yang tidak jelas. Asumsi-asumsi dasarnya, asal bahan pembuktian, kelemahan dan
implikasi-implikasi diungkap dan diuji.
4.
Vision (Visi), dalam pendekatan
filosofi, auditing harus mempunyai visi ke depan yang jelas . ini akan membantu
auditor dalam memberikan keyakinan, melihat jauh kedepan dalam emfisualisasikan
prospek-prospek dan tujuan-tujuan.
Sedangkan menurut Mauft dan Sharaf (1961) filosofi
diartikan sebagai “kumpulan prinsip yang mendasari suatu cabang pengetahuan dan
sebagai suatu system untuk memandu permasalahan praktis”. Dengan demikian maka
filosofi auditing berarti kita mengikuti pandangan synoptic dalam mana suatu persoalan dapat dipahami secara menyeluruh dalam ketotalitasannya setiap isu
secara berkaitan satu sama lain, memasuki wilayah keyakinan yang diterima akal
dan melihat jauh kedepan baik prospeknya maupun tujuannya.
Terlepas dari kritikan kedua penulis mengklaim bahwa ada
teori auditing yang memiliki asumsi dasar (basic
assumption) atau body of integrate
ideas. Dengan adanya basic assumption
ini maka diaharapkan akan dapat
membantu pengembangan dan pelaksanaan praktek audit serta dapat memecahkan
berbagai persoalan yang ditemukan dalam profesi dan ilmu audit ini. Basic assumption atau body
of integrate ideas ini lazim disebut teori. Sedangkan teori adalah susunan
konsep, defenisi dan dalam menyajikan pandangan sistematis fenomena dengan
menunjukkan hubungan antara satu variable dengan variable lai untuk menjelaskan
dan meramalkn fenomena. Teori menurut Webster merupakan susunan yang saling berkaitan
tentang hipotesa, konsep dan prinsip pragmatis yang
membentuk kerangka acuan untuk bidang yang dipertanyakan.
Meminjam pendapat
Vernon Kam dalam membahas kegunaan teori Akuntansi, menurut penulis
teori auditing ini berguna dalam hal:
1.
Menjadi
pegangan bagi lembaga penyusun standar auditing dalam menyusunnya.
2.
Memberikan
kerangka rujukan untuk menyelesaikan masalah auditing dalam hal tidak adanya
standar resmi.
3.
Menentukan
batas dalam hal melakukan “judgment” dalam
penyusunan strategi atau program audit.
4.
Meningkatkan
pemahaman dan keyakinan pelaku audit terhadap pelaksaksanaan auditing.
5.
Meningkatkan
kualitas audit.
Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa sebagai
ilmu maupun sebagai metode, praktek dan teknik alangkah baiknya jika Auditing memiliki
landasan filosofi atau teori yang jelas sehingga dapat menjawab permasalahan
yang muncul serta dapat mengembangkan ilmu itu selanjutnya.[4]
B. Postulat
Auditing
Untuk merumuskan struktur teori auditing maka salah satu
yang perlu dirumuskan adalah pernyataan yang tidak perlu dibuktikan
kebenarannya yang dianggap sebagai suatu persyaratan untuk membangun suatu
kerangka teori dimana disiplin itu akan berkiprah. Mautz dan Sharaf (1961)
mengemukakan bahwa postulat adalah merupakan syarat penting dalam pengembangan
disiplin, tidak perlu diperiksa kebenarannya lagi, sebagai dasar dalam
pengambilan kesimpulan, sebagai dasar dalam membangun struktur teori dan bisa
juga dimodifikasi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan defenisi itu maka Mautz dan Sharaf
mengemukakan 8 tentatif postulat Auditing:
1.
Laporan
dan data keuangan harus bisa diperiksa.
2.
Tidak
ada konflik kepentingan antara auditor dan manajemen perusahaan yang lagi
diperiksa.
3.
Laporan
dan informasi keuangan diserahkan untuk diperiksa bebas dari kolusi dan
ketidakteraturan lainnya.
4.
System
internal control yang memuasakan
dapat mengeliminasi kemungkinan katidakteraturan dalam laporan keuangan.
5.
Konsistensi
laporan keuangan sesuai standar yang diterima umum sehingga laporan keuangan
disajikan secara wajar.
6.
Dalam hal bukti tidak jelas atau bertentangan, maka apa yang
selama ini dianggap benar sekarang dan dimasa yang akan datang.
7.
Pemeriksaan
yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat yang independen, auditor harus
bertindak selaku auditor.
8.
Status
professional dari seorang independen auditor menekankan pada tanggungjawab
professional.
C. Konsep
Auditing
Konsep adalah ide umum yang diambil dan dianggap sebagai
bagian dari suatu disiplin yang diamati melalui perasaan. Konsep merupakan
sesuatu yang saling berhubungan dalam totalitasnya. Konsep berbeda dengan
persepsi, yang terakhir ini merupakan rekonstruksi mental dan kombinasi dari
pemahaman terhadap data. Konsep adalah bentuk abstraksi yang diambil dari
pengamatan, pengalaman, ide umumyang membantu kita melihat kesamaan dan
perbedaan. Dengan konsep ini kita akan lebih mudah dan lebih baik memahami
suatu persoalan yang dibahas. Tanpa
konsep maka permasalahan hanya merupakan hasil pengamatan yang berserakan yang
tidak berkaitan satu sama lain. Konsep akan membantu pemikiran dan membuat
struktur teori dan membantu pengembangan ilmu.
Untuk merumuskan konsep dari suatu bidang ilmu mala dapat
dilakukan dengan merumuskan;
1.
Hasil
observasi dari fakta yang berhubungan dengan suatu bidang kegiatan.
2.
Perumusan
dengan melakukan generalisasi berdasarkan fakta yang diobservasi.
3.
Mengaitkan
berbagai generalisasi tadi, menghilangkan duplikasi, pengulangan, hal yang
tidak konsistendan yang tidak relevan.
4.
Mereview
kembali dan mengkajinya sehingga dapat dirumuskan konsep yang lebih bermanfaat.
Mautz dan Sharaf mengemukakan beberapa tentative konsep
sebagai berikut:[5]
1.
Bukti (evidence)
Ø
Tujuannya
adalah untuk memperoleh pengertian, sebagai dasar untuk memberikan kesimpulan,
yang dituangkan dalam pendapat auditor.
Ø
Bukti
harus diperoleh dengan cara-cara tertentu agar dapat mencapai hasil yang
maksimal sesuai yang diinginkan.
Ø
Bukti
dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
1)
Authoritarianisme,
yaitu bukti yang diperoleh berdasarkan informasi dari pihak lain
2)
Mistikisme,
yaitu bukti dihasilkan dari intuisi.
3)
Rasionalisasi,
yaitu pemikiran asumsi yang diterima,
4)
Empidikisme,
yaitu pengalaman yang sering terjadi,
5)
Pragmatisme,
yaitu merupakan hasil praktik,
2.
Pelaksanaan
audit yang hati-hati
Ø
Konsep
ini berdasarkan adanya issue pokok tingkat kehati-hatian yang diharapkan pada
auditor yang bertanggungjawab (prudent auditor)
Ø
Dalam
hal ini yang dimaksud dengan tanggung jawab yaitu tanggungjawab seorang
profesional dalam melaksanakan tugasnya. dengan konsep konservatif.
Ø
Auditor
juga seorang manusia,oleh karenanya meskipun seseorang sudah disebut sebagai
auditor yang berpengalaman dan memiliki profesionalisme yang tinggi pasti juga
tak luput dari kesalahan, namun sebagai seorang yang profesional ia dituntut
utk dpt melaksanakan pekerjaannya dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
3.
Penyajian Atau Pengungkapan Yang Wajar
Ø
Konsep
ini menuntut adanya informasi laporan keuangan yang bebas (tidak memihak),
tidak bias, dan mencerminkan posisi keuangan, hasil operasi, dan aliran kas
perusahaan yang wajar.
Ø
Konsep
ini dijabarkan lagi dalam tiga sub konsep, yaitu:
1)
Accounting
propriety yang berhubungan dengan penerapan prinsip akuntansi tertentu, dalam
kondisi tertentu.
2)
Adequate
Disclosure yang berkaitan dengan jumlah dan luasnya pengungkapan.
3)
Audit
obligation yang berkaitan dengan kewajiban auditor untuk bersikap independen
dalam memberikan pendapat.
4.
Independensi
Ø
Yaitu
suatu sikap yang dimiliki auditor untuk tidak memihak dalam melakukan
audit.
Ø
Masyarakat
pengguna jasa audit memandang bahwa auditor akan independen terhadap laporan
keuangan yang diperiksannya, dari pembuat dan pemakai laporan-laporan keuangan.
Ø
Konsep
independensi berkaitan dengan independensi pada diri pribadi auditor secara
individual (practitioner-independence), dan independen pada seluruh auditor
secara bersama-sama dalam profesi (profession-independence)
1)
Practioner-
Independence
§
Merupakan
pikiran, sikap tidak memihak, dan percaya diri yang mempengaruhi pendekatan
auditor dalam pemeriksaan.
§
Harus
independen dalam memilih aktivitas, berhubungan secara profesional, dan
kebijakan mabajemen yg akan diperiksannya (investigation –independence), dan
harus independen dalam mengemukakan fakta hasil pemeriksaannya yang tercermin
dalam pemerian pendapat dan rekomendasi yg diberikan (reporting- independence)
2)
Profession
Independence
§
Merupakan
persepsi yang timbul dari anggota masyarakat keuangan / bisnis dan masyarakat
umum tentang profesi akuntan sebagai kelompok.
5.
Etika Perilaku
Ø
Etika
dalam auditing, berkaitan dengan konsep perilaku yang ideal dari seorang
auditor profesional yang independen dalam melaksanakan audit.
Ø
Pengguna
laporan keuangan yg diaudit mengharapkan auditor untuk:
1)
Melaksanakan
audit dengan kompetensi teknis, integritas, independensi, dan objektivitas;
2)
Mencari
dan mendeteksi salah saji yang material, baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja;
3)
Mencegah
penerbitan laporan keuangan yang menyesatkan.
Konsep ini merupakan bagian dari struktur teori auditing
sebagian dasar pengembangan disiplin auditing.
D. Metodologi
Auditing[6]
Mautz dan Sharaf mencoba menjadikan auditing sebagai
science sehingga mereka sampai pada perumusan metodologi auditing sebagai
berikut:
1.
Pengakuan
adanya masalah dengan kesediaan menerima penugasan.
2.
Mengamati
fakta-fakta yang relevan terhadap masalah itu.
3.
Memilah
problem menjadi berbagai problem individual.
4.
Menentukan
kecukupan bukti yang berkaitan dengan problem individu.
5.
Memeilih
teknik audit dan menyusun prosedur yang tepat.
6.
Melakukan
pengumpulan bukti.
7.
Menilai
kecukupan bukti dengan melihat:
a.
Keterkaitan
dengan keabsahan.
b.
Melihat
petunjuk adanya masalah baru.
c.
Melihat
kecukupan untuk mengambil keputusan professional.
8.
Perumusan
kesimpulan professional.
a.
Menurut
problem individual
b.
Secara
keseluruhan
Metode ini merupakan tahapan yang dilalui oleh seorang
auditor dalam melaksanakan tugas profesinya, mulai dari penugasan, pengumpulan
bukti, sampai pada pengambilan keputusan.
Khususnya dalam proses pengambilan keputusan atau value judgment maka Mautz dan Sharaf
mengemukakan beberapa tahap sebagai berikut:
1.
Pengakuan
masalah
2.
Perumusan
masalah
3.
Memilih
beberapa aternatif pemecahan masalah
4.
Menilai
alternative pemecahan masalah
a.
Melihat
pengalaman masa lalu dalam kasus yang sama
b.
Mempertimbangkan
akibat dari alternatife yang ada
c.
Melihat
kesesuaian alternative itu dengan prinsip dan sifat professi.
5. Perumusan kesimpulan.
Dari tahapan ini dapat
kita lihat bahwa seorang auditor dalam proses pengambilan keputusan tidak hanya
terbatas pada pengetahuan teknik, metode pemeriksaan, tetapi juga kemampuan
menggunakan pertimbangan professi. Dan ini membutuhkan pengalaman, pengetahuan,
ingatan, persepsi, imajinasi dan tanggung jawab yang besar terhadap integritas
professi.
[1] Sofyan Harahap, Auditing
dalam Perspektif Islam,( Jakarta: Pustaka Quantum, 2002), h. 67
[2] Ibid, h. 68
[4]
Sofyan Harahap, Auditing
dalam Perspektif Islam,( Jakarta: Pustaka Quantum, 2002), h. 69-70.
[6]
Sofyan Harahap, Auditing
dalam Perspektif Islam,( Jakarta: Pustaka Quantum, 2002),h.73-75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar