Aksioma Dasar (Ketentuan Umum)[1]
1.
Kesatuan (Unity)
Unit adalah
kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan
keseluruhan aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial
menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh.
Dari
konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal maupun horisontal,
membentuk
suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.
Keseimbangan (Equilibrium)
Dalam
beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,
tidak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam (Surat Al-Maidah : 8) yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan
takwa”.
3.
Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan
merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif, kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya
dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk
terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan
dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat,
infak dan sedekah.
4.
Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan
tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabiliats. Untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakanya. Secara
logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Allah menetapkan
batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab
atas semua yang dilakukannya.
5.
Kebenaran: kebajikan
dan kejujuran( truth, goodness, and honesty)
Kebenaran
dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis
kebenaran dimaksudkan sebagian
niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses
mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih
atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis
Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian
salah satu pihak yang melakukan transaksi , kerjasama atau perjanjian dalam
bisnis.
Prinsip-Prinsip
Dasar Bisnis Menurut Islam[2]
1.
Konsep Kepemilikan dan
Kekayaan
Aplikasi
etika dan konsep kepemilikan dan kekayaan pribadi dalam Islam bermuara pada
pemahaman bahwasannya sang pemilik hakiki dan absolute hanyalah Allah SWT. sedangkan
manusia hanya diberi hak kepemilikan terbatas, yaitu sebagai pihak yang diberi
wewenang untuk memanfaatkan, dan inti dari kewenangan tersebut adalah tugas
(taklif) untuk menjadi seorang khalifah yang beribadah dimuka bumi ini. Inilah
moral yang paling mendasari setiap bentukan etika seorang muslim dalam
memberikan apresiasi terhadap kepemilikan dan kekayaan.
Pertama, kepemilikan yang sah
secara hukum, Artinya segala bentuk hak kepemilikan didapatkan dengan cara yang
sesuai dengan hukum (halal). Pada dasarnya dalam mengupayakan kepemilikan materi, hukum/islam menetapkan
bahwa semua bentuk teransaksi pada dasarnya dibolehkan, kecuali dilarang oleh
syariat. Dan sebagaimana yang dipahami oleh para fuqaha, unsur terpenting dari
pelarangan sesuatu biasanya dapat dicirikan dengan impurity (ketidaksucian) dan
hulmfulness (berbahaya dan
merusak). Pesan moral inilah yang
kemudian mengarahakan kepda muslim sebagai homo economics untuk menjauhi
pencapaian materi dengan cara riba, judi, curang, monopoli, penipuan,
penindasan, spekulasi, dan lain sebagainya. Allahberfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani bnar-benar
memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”(
QS. At-Taubah:34)
Kajian
hukum syariat mengenal dua bentuk hukum kepemilikan, yaitu: 1. kepemilikan
sempurna (al-milk al tam): materi dan
manfaat benda dimiliki sepenuhnya, sehingga seluruh hak kebendaan terkait
berada dibawah penguasaannya. Status kepemilikan ini didapat dengan Ibraz Almubahat
(mengupayakan/mengusahakan hal-hal yang diperbolehkan), uqud (transaksi), khalafiyah
(peninggalan seperti warisan), Tawalud
min mamluk (berkembangnya asset yang dimiliki), 2. Kepemilikan tidak
sempurna (al-milk an-naqis): hak
menguasai materi benda, sehingga hak pemanfaatannya dikuasai oleh pihak lain,
begitu sebaliknya. Status kepemilikan ini didapat dengan I’arah (pinjam-meminjam), ijarah
(sewa-menyewa), wakaf wasiat.
Kedua,
pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan yang berkesinambungan, dimana sangat etis bila
seorang muslim terus mengupayakan produktifitas kekayaannya. Asset yang idle
(didiamkan) atau berlebih-lebihan dalam membelanjakan aset secara konsumtif,
keduanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mubazir.
Ketiga, pemanfaatan hak milik diarahkan kepada pemanfaatan
fisabilillah (berfaedah dijalan Allah). Hal ini berarti cara pemanfaatan yang merupakan input produktifitas
dan hasil pemanfaatan yang merupakan output produktivitas harus berada dijalur
aturan syariah.
Keempat, pemanfaatan hak milik
yang tidak mendatangkan kerugian bagi orang lain. Penekanan pada pemanfaatan
ateri kekayaan dalam Islam berarti penekanan pula pada konsep pendayagunaan
yang tidak menyinggung atau
mengganggu
kepentingan pihak lain.
Kelima,
penggunaan dan pemanfaatan yang berimbang, dengan begitu dalam setiap
penggunaan barang ataupun apa saja yang jadi milik tidak diarahkan untuk pemborosan
dan tidak pula terlalu kikir. Perilaku
produksi dan konsumsi harus bisa diseimbangkan secara baik demi kepentingan
hajat orang banyak.
Secara
komersial, Islam tetap mengakui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses
ekonomi berhak atas hasil dan karya mereka. Faktor-faktor tersebut meliputi
upah bagi para pekerja. Biaya untuk
sewa tanah serta alat produksi lainnya. Profit atau keuntungan untuk pihak yang
menjalankan usaha atau yang melakukan perdagangan. Demikian juga bagi hasil
untuk modal dana. Islam menegaskan bahwa bekerja dan berkarya merupakan
konsekuensi sari posisi manusia sebagai khallifatullah fil ardi. Kerja adalah
ibadah dan bukti tanggung jawab kita untuk memakmurkan bumi ini.
Akses
atau konsekuensi etika dari hak kepemilikan akan materi/ kekayaan dalam Islam
mencerminkan beberapa hal berikut:
· Pemberlakuan
hak kepemilikan individu pada satu benda, tidak menutupi sepenuhnya akan adanya
hak yang sama bagi orang lain.
· Negara
mempunyai otoritas kepemilikan atas individu yang tidak bertanggung jawab
terhadap hak miliknya.
· Dalam
hak kepemilikan berlaku sistematika
konsep takaful/jaminan sosial (sesame muslim aau sesame manusia secara
umum).
· Hak
milik umum dapat menjadi hak milik pribadi.
· Konsep
hak kepemilikan dapat meringankan sejumlah konsekuensi hukum syariah.
· Konsep
kongsi dalam hak yangmelahirkan
keuntungan materi harus merujuk kepada sistem bagi hasil.
· Ada
hak kepemiikan orang lain dalam hak kepemilian harta (konsep zakat).
2.
Konsep Distribusi Kekayaan
Konsep
dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi kekayaan adalah kepemilikan
private (pribadi). Karenanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan
mencolok pada kepemilikan, pendapatan, dan harta pusaka peninggalan leluhurnya
masing-masing.
Dalam
Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai yang minimum, namun
demikian kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal yang
palingmendasaridalam distribusi kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan
kerja dan kepemilikan pribadi. Setiap umat harus mampu mencapai yang minimum
dulu, bahkan diupayakan agar dapat mencapai standar hidup yang sudah dikatakan
baik. Standar kecukupan ini diasumsikan oleh para ulama sebgaia titik pembeda
dengan yang kekurangan. Dan Islam mengenal batasan tersebut merupakan hak orang
yang harus disediakan oleh otoritas sosial dari negaranya. Ini artinya
kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi si ‘yang berkecukupan’ untuk mereka
‘yang kekurangan’ adalah merupakan dana kompensasi atas kekayaan mereka. Dan
untuk hal iniotoritas negara punya kewenangan unutk pengelolanya.
3.
Konsep Kerja dan Bisnis
Paradigma yang dikembangkan dalam konsep kerja dan bisnis Islam
mengarah kepada pengertian kebaikan yang meliputi materinya itu sendiri, cara
perolehannya dan cara pemanfaatannya. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa
rasulullah SAW. Bersabda; “Berusaha dalam mendapatkan rezeki yang halal adalah
keawajiban setelah kewajiban”. Atau dengan kata lain bahwa bekerja untuk
mendapatkan yang halal adalah kewajiban agama yang kedua setelah kewajiban
pokok dari agama seperti shalat, zakat, dan haji. Hadits tersebut mensyinyalir
secara jelas permasalahan dikotonomi antara dunia maateri dan spiritual. Karena
pada kebanyakan kasus sering kali terlihat bahwa antara keduanya mengarah
kepada tujuan yang saling bertolak belakang. Kecintaan kepada materi terkadang
membawa orang untuk menjauh dari kehidupan spiritualnya.
Hadis diatas juga memberi pesan
bahwa yang diwajibkan bukan saja untuk mencari uang, tapi bagaimana mendapatkan
uang yang halal.
Harus diakui pada saat ini, umat
islam kehilangan keseimbangan untuk kedua kewajiban tersebut. Memang sangat
jelas, bahwa kewajiban yang paling akhir dan utama bagi setiap musllim adalah
memenuhi kewajiban pada level individu, namun pada era perusahaan multinasional
saat ini, sudah bisa dipastikan bahwa usaha individu sendiri tidak akan mampu
menggiring kehidupan sosial dan ekonomi kepada tujuan yang halal. Yang tidak
kalah penting adalah usaha untuk mencapai pendapatan yang halal tersebut
tentunya tidak mengurangi usaha memenuhi kewajiban yang lebih utama dalam
agama.
Karakter
Kerja dan Bisnis Halal
Dalam Islam, terdapat lima karakter
yang dapat mencirikan dimensi etis pada aktivitas ekonomik (halalan toyyiban). Kelima karakter
tersebut diasumsikan dari kelima sistem moral Islam sebagai berikut:
Pertama, free-interrest system, dalam perspektif para sarjana muslim
kontemporer infrastruktur perekonomian Islam harus bediri diatas perekonomian
tanpa bunga. Oleh sebab itu, transaksi yang dijalankan kerja dan bisnis
(kontrak/akad) mengacu pada konsep-konsep fiqh muamalah yang sudah di-convergence dengan sistem ekonomi dan
keuangan modern. Substansi dari pelarangan riba adalah unutk mengantisipasi
adanya tindakan-tindakan ekploitatif terhadap mereka yang lebih lemah/kecil
dalam mekanisme kerja dan biasnis.
Kedua, sistem bagi hasil;
dikedepankan dalam merumuskan hubungan kerja antara tenaga kerja dan modal investasi.
Islam mencanangan hubungan antara pihak-pihak yang bertransaksi dalam hubungan
partner-ship. Keuntungan dalam sistem bagi hasil dipresentasekan (nisbah bagi
hasil) dan keuntungan yang didapat. Konsep ini tidak mengenal pre determined fix income ( kepastian
keuntungan dimuka), dengan alasan ketidaktahuan manusia akan keuntungan yang
bakal didapat dimasa yang akan datang.
Ketiga, joint venture, skema kerja dan bisnis dalam bentuk penyertaan
modal. Investasi diarahkan kepada equity base fund ketimbagn debt base fund.
Keempat, lembaga intermediary yang
berkaitan dengan aktivitas karitatif, keberkahan
dalam bisnis dan kedermawaan.
Kelima, menghidari pemanfaatan dan
pemakaian sumber daya secara berlebihan.
Nilai
Etika Kerja Islami
Ada beberapa cirin etos kerja
islami yang dapat diakomodir dari implementasi nilai islam dalam Al-Quran dan
hadist, seperti : manghargai waktu, ikhlas, jujur, komitmen, kuat, istikamah,
disiplin, kreatif, percaya diri dan ulet, bertanggung jawab, bahagia karena
melayani, memiliki harga diri, memiliki jiwa kepemimpinan, berorientasi pada
masa depan, hidup hemat, jiwa wirausaha, insting dalam bertanding dalam
kompetisi kebaikan, keinginan mandiri, selalu belajar, orientasi pada
produktivitas, perkaya jaringan silaturrahmi, semangat perantauan
dan semangat peruabahan.
Berikut sejumlah nilai moral dalam
konsep kerja dan bisnis Islam yang dapat diterjemahkan dalam bentuk aplikasi
etos kerja:
@ Keimanan
bahwa tujuan manusia dalam
melakukan pekerjaan adalah beribadah kepada Allah dan memakmurkan kehidupan
dengan mengelola bumi beserta seisinya.
Rasulullah
SAW bersabda: “ Apabila pada hari kiamat nanti seorang diantara kamu memiliki
sebatang bibit pohon kurma, jika mampu menanam hingga tumbuh dan berkembang
maka pertumbuhan dan perkembngannya itu merupakan pahala.” (HR. Ahmad)
@ Kerja
ada usah untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan
jasmani.
Rasulullah
SAW. Bersabda: “Sesunnguhnya jiwamu memiliki hak, jasadmu memiliki hak,
pasanganmu (kelurga) memiliki hak, mak penuhilah hak mereka. (HR. Bukhari)
@ Bekrja
keras untuk mendapatkan rezeki disertai dengan tawakal dan takwa kepada Allah
SWT. Sabda Rasulullah SAW: “mencari rezeki
yang halal itu merupakan kewajiban setelah melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang lain. (HR. Baihaqi)
@ Usaha yang halal dan menghindari usaha yang
haram.
Hal
ini berdasarkan Firman Allah SWT. dalam surat
al-Maidah ayat 100 yang artinya: “katakanlah: tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik perhatian hatimu”.
@ Keinginan
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Islam yang lebih utama tanpa dilandasi
dengan sikap sombong atau tinggi hati.
@ Tidak
bekerja sam dengan musuh-musuh Islam.
Wajib
bagi setiap muslim untuk tidak bekerja sama dengan musuh-musuh Islam seperti yang
difirmankan Allah SWT. dalam surat al-Maidah ayat 51 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiap diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
@ Keimanan
yang menyatakan bahwa seluruh materi didunia ini hanya milik Allah sedang
manusia hanya bertugas sebagai khalifah.
@ Menjaga
kepemilikan materi dan mengembangkannya di jalan yang halal.
@ Kewajiban
bermoral seperti: jujur, amanah, dan paham akan segala aspek perdagangan.
@ Memperbanyak
berbanyak beristighfar, karena memperbanyak permohonan ampunan kepada Allah
dapat menjadi salah satu faktor dimudahkannya untuk mendapatkan rezeki.
@ Keseimbangan
dalam penegeluaran uang.
@ Mengeluarkan
zakat harta, karena zakat adalah ibadah dan bagian dari rukun Islam.
@ Membuat
perjanjian dalam hubungan kemitraan.
@ Pembiayaan
proyek usaha secara Islami.
@ Menghindari
jual beli yang tidak dibolehkan syara’.
@ Mematuhi
kode etik dalam setiap melaksanakan kewajiban dan interaksi keuangan.
@ Melakukan
transaksi dengan bank secara islami.
@ Tanpa
adanya alasan dharuraat sebisa mungkin menjauhkan transaksi yang
tidak islami dengan perusahaan asuransi.
@ Berhati-hati
ketika bertransaksi dengan surat dagang.
Mematuhi
batasan-batasan syariah ketika bertransaksi dengan menggunakan surat-surat
dagang seperti: bilyet giro, cek, dan lain-lain karena syariat memberikan
rambu-rambu larangan teretentu dalam melakuan setiap transaksi yang mnggunakan
surat-surat tersebut, khsusnya ketika men-discounto-kannya
ke bank, karena kesulitan melunasiny dengan nilai yang lebi tinggi dari nilai
asli surat tersebut, dan praksti tersebut mengandung undur riba.
@ Memberikan
hak-hak pekerja.
@ Melaksanakan
hak Allah yang diwajibkan atas materi.
@ Menggunakan
prinsip al ma’ruf dalam pembubaran
usaha.
Mematuhi
batasan-batasan syariah pada saat melakukan pembubaran sebuah usaha dengan
memperhitungkan hak-hak setiap pemegang saham, hal ini dapat dimanifestasikan
dengan mengikuti aturan yang sudah dituangkan dalam akad pendirian proyek atau
perusahaan tersebut, karena seorang mukmin berkewajiban untuk mematuhi
syarat-syarat yang dibuatnya dan memberikan hak kepada mitra kerja kita didunia
lebih baik daripada harus memberikannya diakhirat, dihari dimana harta dan anak
tidak lagi bermanfaat kecuali bagi mereka yang berpihak kepada hidayah Allah.
@ Memberikan
kemudahan bagi pihak yang mengalamu kesulitan.
@ Seseorang
dilarang menawar di atas tawaran saudaranya.
@ Memurahkan
harga dan berkecukupan dengan keuntungan sedikit.
4.
Konsep Halal-Haram
Dalam al-Qur’an aturan halal dan
haram kontrak komersial atau bisnis diatur oleh Allah dalam firman-Nya yang
artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
batil kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku suka sama suka diantara
kamu..”(Qs. An-Nisaa’:4) .
Mekanisme suka sama suka adalah
paduan dari garis al-Qur’an dalam melakukan kontol terhadap perniagaan yang
dilakukan. Teknik, sistem dan aturan main tentang tercapainya tujuan ayat
tersebut menjadi ruang ijtihad bagi para pakar muslim dalam men terjemahkan konsep dan
implementasinya pada konteks modern saat ini.
Hadits Rasulullah SAW menjelaskan
tentang konsep halal-haram yang artinya:
“Seungguhnya perkara
halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat
perkara-perkara subhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh
karena itu, barang siapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas
(dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus
kedalam subhat, berarti terjerumus kedalam perkara haram, seperti pengembala
yang mengembala di sekitar tempat terlarang, maka kemungkinan besar gembalanya
akan masuk ketempat terlarang tadi. Ingat! Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada
sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia
rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adalah hati.” (HR Muslim).
Beberapa
transaksi yang dilarang dalam islam antara lain:
· Jual
beli An-Najsy, yaitu adanya kesepakatan antara penjual dengan pihak ketiga
untuk melakukan penawaran palsu, sehingga dapat memepengaruhi perilaku calon
pembeli yang sebenarnya.
· Jual
beli Al-Ghoban, yaitu suatu transaksi jual beli yang dilakukan dibawah atau
diatas harga yang sebenarnya.
Jual beli Al-Mad’un,
yaitu jenis penjualan efek yang tidak atau belum dimiliki langsung oleh
penjual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar