Kamis, 20 Desember 2012

Teori Akuntansi Syariah


PEMBAHASAN

A.                Pengertian Kaidah Akuntansi Syariah
Pengertian kaidah secara bahasa, menurut Ahmad Warson Munawwir, adalah “al-asas” (dasar, asas, dan fondasi), al-qanian (peraturan dan kaidah dasar), “al-mabda” (prinsip), dan “al-nasaq” (metode atau cara). Sedangkan menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, menjelaskan arti kaidah secara bahasa adalah al-asas, yaitu baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi).
Adapun arti kaidah yang menunjukkan arti konkret adalah firman Allah :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ {البقرة : 127}
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-Baqarah : 127)
...فَأَتَى اللهُ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ... {النحل : 26}
“…Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya…”, (An-Nahl : 26)
Dua ayat al-Qur’an di atas menunjukkan salah satu arti dari kaidah, yaitu al-asas atau fondasi. Ulama berbeda dalam meredaksikan definisi kaidah secara istilah. Paling tidak ulama ahli nahwu berbeda pendapat dengan ulama ahli fiqh dan ahli ushul dalam menentukan redaksi kaidah secara istilah, ulama ahli nahwu berpendapat bahwa kaidah semakna dengan al-dlabith, yaitu : “aturan-aturan umum yang mencakup semua baginya”. Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut. Sedangkan ulama fiqh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahi bagian-bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut.[1]
Jadi Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam yaitu dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Menurut Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Pada Akuntansi Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT.[2]

B.                 Landasan Syar’i Akuntansi Syariah
1.      Al-Quran[3]
Akuntansi sebenarnya merupakan domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun, karena pentingnya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al Quran, Al Baqarah ayat 282. Penempatan ayat ini juga unik dan relevan dengan sifat akuntansi. Ia ditempatkan dalam Surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi ekonomi.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.  (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271 – 274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (275 – 279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan Al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Akuntansi juga merupakan upaya untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat karena akuntansi memelihara catatan sebagai accountability dan menjamin akurasinya. Pentingnya keadilan ini dapat dilihat dari ayat Al Quran surat Al Hadiid 25: ”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”
Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
2.      Sunah Nabawiyah
“Yang pertama di hisab di hari kiamat nanti adalah shalat. Jika shalat itu dikerjakan dengan benar, benarlah semua perbuatannya. Tetapi jika shalat itu rusak, rusaklah semua amal perbuatannya”. (H.R. Tabrani)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”. (H.R. Ibnu Maajah, Ahmad dan Malik)
3.      Pendapat para Sahabat dan Ulama Salaf
Umar Ibnul Khatthab r.a berkata : “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalanmu, sebelum kamu ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadapi hari dimana semua amal perbuatan dibeberkan”.

C.                Prinsip-prinsip Akuntansi Syariah (dalam Q.S Al-Baqarah: 282)[4]
Nilai pertanggungjawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam prinsip akuntansi syariah. Berikut uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat Al-Baqarah:282.
1.      Prinsip pertanggungjawaban, Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan, manusia dibebani ole hAllah untuk menjalankan fungsi kehalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
2.      Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah;282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapsitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
3.      Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran, kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
a.       Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
b.      Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
c.       Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
d.      Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
e.       Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
f.       Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha.

D.                Sifat-sifat Akuntansi Syariah[5]
Berdasarkan pengertian, landasan syar’i, dan prinsip-prinsip Akutansi Syariah, dapat kita simpulkan sifat-sifat spesifik akuntansi Syariah adalah sebagai berikut :
1.      Kaidah-kaidah dasar akuntansi Islam bersumber dari Al Quran, Sunnah Nabawiyyah serta fiqih para ulama. Oleh karena itu kaidah-kaidah ini memiliki keistimewaan yaitu permanen dan objektif. Tidak akan berubah karena dasar akidah ini berasal dari Allah dan sesuai untuk segala waktu dan kondisi, sesuai dengan firman Allah, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. al-Mulk: 14). Berdasarkan ayat ini, tidak boleh bagi seorang akuntan pun untuk mengabaikan atau berpaling dari kaidah-kaidah akuntansi yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah serta ijma ulama.
2.      Akuntansi Islam dilandasi oleh akidah yang kuat, iman serta pengakuan bahwa Allah itu adalah Tuhan, Islam adalah agama, Muhammad adalah Nabi dan Rasul, dan juga percaya pada hari akhir. Berdasarkan hal ini, wajiblah bagi setiap akuntan yang menjalankan berbagai proses akuntansi untuk percaya bahwa harta yang ia hitung itu ialah harta Allah, dan Allah telah menyuruhnya untuk mencatat perputaran harta itu, seperti pemasukan dan pengeluaran berdasarkan kaidah-kaidah hukum, karena Allah juga akan menghisabnya (akuntan / juru tulis) pada Hari Kiamat terhadap sejauh mana ia melaksanakan pekerjaan ini dengan baik. Ia pun harus percaya bahwa Allah selalu mengawasi perbuatannya dan mengetahui segala informasi yang diberikannya kepada pihak yang berkepentingan. Ini termasuk tanggungjawab dari segi akidah di hadapan Allah. Oleh karena itu seorang akuntan harus menguasai hukum-hukum syariat Islam sehingga ia mampu menyebarluaskan dan meneliti dengan cermat akuntan Islam. Dan ia juga harus konsisten dengan kaidah-kaidah itu, baik dalam ucapan maupun perbuatan, seperti tidak takut cacian orang.
3.      Akuntansi Islam berlandaskan pada akhlak yang baik. Karenanya seorang akuntan yang melaksanakan proses akuntansi harus mempunyai sifat amanah, jujur, netral, adil dan profesional supaya setiap kliennya merasa tenang terhadap harta dan terhadap orang yang berinteraksi dengannya.
4.      Akuntansi Islam berkaitan dengan proses-proses keuangan yang sah. Seorang akuntan harus menyiapkan laporan-laporan dan mendiskusikan akibat-akibat dari proses keuangan untuk menghindari kesalahan yang serupa di masa mendatang.
5.      Akuntansi Islam sangat memperhatikan aspek-aspek tingkah laku sebagai unsur yang juga berperan dalam kesatuan ekonomi. Ketika merumuskan undang-undang akuntansi dan penentuan petunjuk-petunjuk evaluasi kerja juga diperhatikan motivasi-motivasi yang manusiawi, baik materiil maupun moril.


[1]  Ibnu. 2008. Kaidah Fiqh dan Nadlariyah Al-Fiqh. http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/12/kaidah-fiqh-dan-nadlariyah-al-fiqh.html
[2]  Kiamifsifeui. 2008. Akuntansi Syariah vs Akuntansi Konvensional. http://kiamifsifeui.wordpress.com/2008/04/18/essai-4-akuntansi-syariah-vs-akuntansi-konvensional/
[3]  Khairunnissa, Atin. 2011. Al-Quran Sebagai Dasar Perumusan Teori Akuntansi. http://atinkhairunnissa.multiply.com/journal/item/263
[4]  Galo, Kampang. 2011. Akuntansi Syariah. http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_53799/title_akuntansi-syariah/
[5]  Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan Sistem Operasional. Gema Insani : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar