PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah Akuntansi Syariah
Pengertian kaidah secara
bahasa, menurut Ahmad Warson Munawwir, adalah “al-asas” (dasar, asas,
dan fondasi), al-qanian (peraturan dan kaidah dasar), “al-mabda”
(prinsip), dan “al-nasaq” (metode atau cara). Sedangkan menurut Mustafa Ahmad
al-Zarqa, menjelaskan arti kaidah secara bahasa adalah al-asas, yaitu
baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi).
Adapun arti kaidah yang
menunjukkan arti konkret adalah firman Allah :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ {البقرة : 127}
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-Baqarah : 127)
...فَأَتَى اللهُ بُنْيَانَهُم
مِّنَ الْقَوَاعِدِ... {النحل : 26}
“…Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya…”, (An-Nahl : 26)
Dua ayat al-Qur’an di atas
menunjukkan salah satu arti dari kaidah, yaitu al-asas atau fondasi. Ulama
berbeda dalam meredaksikan definisi kaidah secara istilah. Paling tidak ulama
ahli nahwu berbeda pendapat dengan ulama ahli fiqh dan ahli ushul dalam
menentukan redaksi kaidah secara istilah, ulama ahli nahwu berpendapat bahwa
kaidah semakna dengan al-dlabith, yaitu : “aturan-aturan umum yang mencakup
semua baginya”. Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
kaidah adalah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya
diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut. Sedangkan ulama fiqh
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah aturan pada umumnya atau
kebanyakan yang membawahi bagian-bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang
dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut.[1]
Jadi Kaidah Akuntansi dalam
konsep Syariah Islam yaitu dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar
hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam
dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik
dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan
menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Menurut Toshikabu Hayashi
dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Pada Akuntansi
Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang
berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan
kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di
akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan
Allah SWT.[2]
B.
Landasan Syar’i
Akuntansi Syariah
1. Al-Quran[3]
Akuntansi sebenarnya merupakan
domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal
pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun, karena pentingnya permasalahan
ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al Quran, Al
Baqarah ayat 282. Penempatan ayat ini juga unik dan relevan dengan sifat
akuntansi. Ia ditempatkan dalam Surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi
ekonomi.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat ini ditempatkan setelah
uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271 – 274), kemudian
disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (275 – 279), serta anjuran
memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu
atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Anjuran
bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa
kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan
kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan
Al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh
sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Akuntansi juga merupakan upaya
untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat karena akuntansi memelihara
catatan sebagai accountability dan menjamin akurasinya. Pentingnya keadilan ini
dapat dilihat dari ayat Al Quran surat Al Hadiid 25: ”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”
Dalam Al Quran disampaikan
bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.
Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan
bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam
berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah
yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam
mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut pengukuran
kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang
Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar pengukuran tersebut
dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing
ini disebut “tabayyun” sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan
perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas
dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam
Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
2. Sunah Nabawiyah
“Yang
pertama di hisab di hari kiamat nanti adalah shalat. Jika shalat itu dikerjakan
dengan benar, benarlah semua perbuatannya. Tetapi jika shalat itu rusak,
rusaklah semua amal perbuatannya”. (H.R. Tabrani)
“Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”. (H.R. Ibnu Maajah, Ahmad dan Malik)
3. Pendapat para Sahabat dan Ulama Salaf
Umar Ibnul Khatthab r.a berkata : “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalanmu,
sebelum kamu ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadapi hari dimana semua amal
perbuatan dibeberkan”.
C.
Prinsip-prinsip Akuntansi Syariah (dalam Q.S Al-Baqarah:
282)[4]
Nilai pertanggungjawaban, keadilan dan
kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut
tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam prinsip akuntansi
syariah. Berikut uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat
Al-Baqarah:282.
1.
Prinsip pertanggungjawaban, Prinsip
pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi
dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep
amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia
dengan sang khalik mulai dari alam kandungan, manusia dibebani ole hAllah untuk
menjalankan fungsi kehalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah
menjalankan atau menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka
bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat
dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah
diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
2.
Prinsip keadilan, jika ditafsirkan
lebih lanjut, surat Al-Baqarah;282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan
transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika
kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat
dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki
kapsitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam
konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah,
secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh
perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah
sebesar Rp 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah
yang sama. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi
perusahaan.
3.
Prinsip kebenaran, prinsip ini
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh,
dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran
laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan
pada nilai kebenaran, kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam
mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Dengan
demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan
keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar,
bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
a.
Akuntan muslim harus meyakini
bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
b.
Akuntan harus memiliki karakter
yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
c.
Akuntan bertanggung jawab
melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta
teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
d.
Dalam penilaian kekayaan (aset),
dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus
dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
e.
Standar akuntansi yang diterima
umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
f.
Transaksi yang tidak sesuai dengan
ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai
halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan
berlangsungnya kegiatan usaha.
D.
Sifat-sifat Akuntansi Syariah[5]
Berdasarkan pengertian,
landasan syar’i, dan prinsip-prinsip Akutansi Syariah, dapat kita simpulkan sifat-sifat
spesifik akuntansi Syariah adalah sebagai berikut :
1. Kaidah-kaidah dasar akuntansi Islam
bersumber dari Al Quran, Sunnah Nabawiyyah serta fiqih para ulama. Oleh karena
itu kaidah-kaidah ini memiliki keistimewaan yaitu permanen dan objektif. Tidak
akan berubah karena dasar akidah ini berasal dari Allah dan sesuai untuk segala
waktu dan kondisi, sesuai dengan firman Allah, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan
atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. al-Mulk: 14). Berdasarkan
ayat ini, tidak boleh bagi seorang akuntan pun untuk mengabaikan atau berpaling
dari kaidah-kaidah akuntansi yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah serta
ijma ulama.
2. Akuntansi Islam dilandasi oleh akidah yang
kuat, iman serta pengakuan bahwa Allah itu adalah Tuhan, Islam adalah agama,
Muhammad adalah Nabi dan Rasul, dan juga percaya pada hari akhir. Berdasarkan
hal ini, wajiblah bagi setiap akuntan yang menjalankan berbagai proses
akuntansi untuk percaya bahwa harta yang ia hitung itu ialah harta Allah, dan
Allah telah menyuruhnya untuk mencatat perputaran harta itu, seperti pemasukan
dan pengeluaran berdasarkan kaidah-kaidah hukum, karena Allah juga akan
menghisabnya (akuntan / juru tulis) pada Hari Kiamat terhadap sejauh mana ia
melaksanakan pekerjaan ini dengan baik. Ia pun harus percaya bahwa Allah selalu
mengawasi perbuatannya dan mengetahui segala informasi yang diberikannya kepada
pihak yang berkepentingan. Ini termasuk tanggungjawab dari segi akidah di
hadapan Allah. Oleh karena itu seorang akuntan harus menguasai hukum-hukum
syariat Islam sehingga ia mampu menyebarluaskan dan meneliti dengan cermat akuntan
Islam. Dan ia juga harus konsisten dengan kaidah-kaidah itu, baik dalam ucapan
maupun perbuatan, seperti tidak takut cacian orang.
3. Akuntansi Islam berlandaskan pada akhlak
yang baik. Karenanya seorang akuntan yang melaksanakan proses akuntansi harus mempunyai
sifat amanah, jujur, netral, adil dan profesional supaya setiap kliennya merasa
tenang terhadap harta dan terhadap orang yang berinteraksi dengannya.
4. Akuntansi Islam berkaitan dengan
proses-proses keuangan yang sah. Seorang akuntan harus menyiapkan
laporan-laporan dan mendiskusikan akibat-akibat dari proses keuangan untuk
menghindari kesalahan yang serupa di masa mendatang.
5. Akuntansi Islam sangat memperhatikan
aspek-aspek tingkah laku sebagai unsur yang juga berperan dalam kesatuan
ekonomi. Ketika merumuskan undang-undang akuntansi dan penentuan
petunjuk-petunjuk evaluasi kerja juga diperhatikan motivasi-motivasi yang
manusiawi, baik materiil maupun moril.
[1]
Ibnu. 2008. Kaidah Fiqh dan Nadlariyah Al-Fiqh. http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/12/kaidah-fiqh-dan-nadlariyah-al-fiqh.html
[2]
Kiamifsifeui. 2008. Akuntansi Syariah vs Akuntansi Konvensional.
http://kiamifsifeui.wordpress.com/2008/04/18/essai-4-akuntansi-syariah-vs-akuntansi-konvensional/
[3]
Khairunnissa, Atin. 2011. Al-Quran Sebagai Dasar Perumusan Teori
Akuntansi. http://atinkhairunnissa.multiply.com/journal/item/263
[4]
Galo, Kampang. 2011. Akuntansi Syariah. http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_53799/title_akuntansi-syariah/
[5]
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (life and general): Konsep
dan Sistem Operasional. Gema Insani : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar