1.
TEORI NILAI TUKAR UANG KONVENSIONAL
Definisi nilai tukar atau kurs (foreign
exchange rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu dalam bukunya ‘Memahami kurs valuta asing’ adalah harga mata uang suatu negara
relative terhadap mata uang negara lain. Karena nilai tukar ini mencakup dua
mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi penawaran dan
permintaan dari kedua mata uang tersebut.[1]
Exchange rates (nilai tukar
uang) atau yang lebih popular di kenal dengan sebutan kurs mata uang adalah
catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam
harga mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yaitu harga
mata uang domestic dalam mata uang asing. Nilai tukar uang merepresentasikan
tingkat harga pertukaran dari satu mata uang ke mata uang yang lainnya dan di
gunakan dalam berbagai transaksi, antara
lain transaksi perdagangan internasional, turisme, investasi internasional ataupun aliran uang jangka pendek
antarnegara, yang melewati batas-batas geografis ataupun batas-batas hukum.
Nilai tukar suatu mata uang
dapat di tentukan oleh pemerintah (otoritas moneter), seperti pada
Negara-negara yang memakai system fixed
exchange rates ataupun di
tentukan oleh kombinasi antara kekuatan-kekuatan pasar yang saling berinteraksi
serta kebijakan pemerintah seperti pada Negara-negara yang memakai rezim system
‘flexible exchange rates.
Karena setiap negara memiliki
hubungan dalam investasi dan perdagangan dengan negara lain, tidak ada satu pun
nilai tukar yang dapat mengukur secara memadai daya beli (purchasing power)
mata uang domestik atas mata uang asing secara umum. Oleh karena itu sejumlah
konsep nilai tukar uang yang efektif telah dikembangkan untuk mengukur
rata-rata tertimbang (weighted average) harga mata uang asing dalam mata uang
domestik.[2]
Definisi dari purchasing power parity (paritas daya
beli) atau PPP adalah suatu kondisi dimana harga dari suatu barang yang dapat
di perdagangkan (tradable goods) dalam
suatu mata uang seharusnya sama di manapun barang itu di beli. Katakanlah jika
suatu barang yang identik dapat di beli di dua Negara dimana tidak terdapat
biaya transaksi (transaction cost), biaya transportasi (transportation cost),
serta tidak ada halangan perdagangan (trade barrier), sehingga dapat di
katakanan sebagai tradable goods. Jika kondisi arbitrase (arbitrage condition =
kondisi di mana tidak terdapatnya kesempatan untuk membeli suatu barang dengan
harga rendah dan menjualnya lagi dengan
harga yang lebih tinggi) terjadi untuk setiap barang secara individual, maka
kondisi arbitrase ini akan terjadi juga untuk sekelompok barang (basket of
goods) dalam jumlah yang representative, sehingga dapat di turunkan persamaan
sebagai berikut:
P = e p’
Di mana; P= tingkat harga
domestic (domestic price)
p’= tingkat harga
luar negeri (foreign price)
e= nilai tukar
uang
Persamaan di atas adalah apa
yang di namakan dengan ‘persamaan
paritas daya beli’ atau purchasing power parity equation yang menyatakan bahwa
rupiah sejumlah x di Indonesia akan mempunyai daya beli yang sama di singapura.
Ini akan sejalan dengan asumsi bahwa semua barang dapat di perdagangkan dan
terdapatnya kondisi arbitrase yang menjamin setiap individual dapat menjual
barang dengan harga yang sama di manapun juga.
Low of One Price (LOP) atau
hukum satu harga menyebutkan bahwa didalam suatu pasar persaingan yang tidak
ada biaya transportasi serta bebas dari hambatan perdagangan, maka suatu barang
yang identik akan mempunyai harga yang sama jika nilai dalam suatu mata uang
tertentu. Perbedaan antara PPP dan LOP
adalah jika LOP di aplikasikan di komoditas individual sedangkan PPP di
palikasikan untuk tingkat harga secara umum ( komposit harga dari keseluruhan
komoditas yang masuk dalam kumpulan yang menjadi referensi).
Nilai tukar riil uang suatu
Negara adalah jumlah dari barang domestic yang di butuhkan untuk membeli satu
unit barang yang sama (identik) di luar negeri. Persamaannya adalah sebagai
berikut :
Real Exchange Rate = e p’/ P
Jika nilai tukar riil >1 ,
maka lebih dari 1 unit barang domestic di butuhkan untuk membeli barang luar
negeri yang identik. Jika nilai tukar Riil <1, maka kurang dari 1 unit
barang domestic di butuhkan untuk membeli barang luar negeri yang identik.
Asumsi utama yang mendasari teori PPP adalah bahwa
pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional,
penentuan harga, dan informasi. Secara implisit ini berarti[4]:
1.
Semua
barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar internasional (tradable
goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun;
2.
Tidak
ada bea masuk, kuota, atau pun hambatan lain dalam perdagangan internasional;
3.
Barang
luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing
barang;
4.
Adanya
kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing
dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga.
Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling
berinteraksi, yaitu permintaan dan penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan
yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas dimana kurva permintaan dan
penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan berbagai titik kombinasi
antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan. Semakin
tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya
jika harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan
yang positif antara harga dan penawaran.
Dalam konteks pasar valas, komoditi yang
diperdagangkan adalah valuta asing dan harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar
US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah nilai tukar rupiah per US
dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya meningkat
berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.
Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar
terapresiasi. Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi
rupiah (depresiasi US dollar).
Oleh karena itu upaya untuk menyeimbangkan
permintaan dan penawaran valas tersebut harus diawali dengan pemantauan
perkembangan permintaan dan penawaran di pasar valas, termasuk aktifitas
significant players, untuk mengantisipasi terjadinya imbalances dan gejolak
nilai tukar. Apabila terjadi ketidakseimbangan yang signifikan perlu dilakukan
upaya penyeimbangan. Supply-demand valas dengan cara meningkatkan penawaran
valas DN atau mengurangi permintaan valas DN. Langkah untuk mengurangi
permintaan valas relatif terbatas oleh karena Bank Indonesia tidak memiliki
wewenang untuk membatasinya. Yang dapat dilakukan BI adalah tidak melakukan
intervensi untuk menyerap valas dari pasar, dan berkoordinasi dengan Pemerintah
untuk menghimbau agar pembelian valas oleh BUMN dibatasi atau diatur
timing-nya, misalnya pada saat terjadi capital inflows dalam jumlah besar.
Sebaliknya, BI dapat melakukan upaya untuk meningkatkan pasokan valas, yaitu
dengan intervensi jual valas. BI perlu melanjutkan intervensi jual valas yang
telah dilakukan secara rutin dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan
(yaitu untuk memenuhi genuine demand) dan waktu pelaksanaannya (yaitu pada saat
terjadi outflows dan rupiah tertekan).
C.
Penawaran Mata Uang Luar Negeri
Penawaran mata uang luar
negeri dilakukan oleh penduduk yang ingin membeli barang-barang buatan
Indonesia. Misalnya, jika penduduk AS ingin membeli sebuah barang dari
Indonesia maka ia akan menukarkan dolarnya dengan rupiah. Penawaran mata uang
luar negeri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Semakin tinggi harga mata uang
asing, semakin banyak penawaran mata uang asing tersebut. Semakin rendah harga
mata uang asing semakin sedikit penawaran mata uang asing tersebut.[6]
Adanya kekuatan penawaran
dalam transaksi ekspor dan impor. Transaksi import dari Indonesia juga akan
mempengaruhi penawaran US $, karena makin besar import dari Indonesia, maka
semakin banyak US $ harus ditukar atau ditawarkan terhadap Rp utuk membayar
import tersebut. Begitu juga transaksi import dari Amerika juga akan mempengaruhi penawaran Rp, karena
makin besar import dari Amerika, maka semakin banyak Rp harus ditukar atau
ditawarkan terhadap US $ utuk membayar import tersebut.
Nilai tukar antara Rp terhadap
US $ akan menuju keseimbangan sesuai
dengan arus barang/jasa diantara dua Negara : [7]
·
Jika
ekspor Indonesia ke Amerika Serikat
turun, maka penawaran US $ akan turun juga,
·
Jika
import Indonesia dari Amerika Serikat meningkat, maka permintaan US $ akan
meningkat juga,
·
Penurunan
penawaran US $ disertai dg kenaikan permintaan, mengakibatkan nilai tukar Rp
trhadap US $ mengalami perubahan.
Diasumsikan hanya ada dua
Negara yang melakukan perdagangan internasional, yaitu domestic dan asing.
Dalam suatu Negara, satu satunya institusi resmi yang dapat mengubah penawaran
mata uang nya adalah Bank Sentral dari Negara tersebut. Bank Sentral dalam
keseharian nya acap kali menjual dan membeli
mata uang asing. Setiap Bank Sentral dapat memilih antara dua rezim
kebijakan nilai tukar yang berbeda yaitu:
1.
Rezim
Nilai Tukar Dipagu (fixed Exchange Rate Ragime) : yaitu bila otoritas keuangan
suatu Negara menetapkan suatu nilai tukar uang tertentu untuk mata uangnya.
Dalam sistem kebijakan ini
Bank Sentral suatu negara cukup mengumumkan suatu nilai tukar tertentu mata
uang nya terhadap mata uang asing tertentu di mana bank Sentral bersedia
membeli dan menjual mata uang asing dengan kuantitas berapapun. Contohnya
adalah indonesia yang pada era sebelum pertengahan tahun 1980-an memakai rezim
nilai tukar di pagu. Kita ketahui bahwa setiap beberapa periode waktu mata uang
rupiah mengalami penyesuaian nilai tukar terhadap dollar Amerika Serikat dan
mata uang asing lainnya.
Dalam rezim nilai tukar di
pagu ini bank Sentral acap kali di paksa untuk mencetak uang melebihi apa yang
di inginkannya. Dalam rezim nilai tukar di pagu ini Bank sentral dapat
mengendalikan nilai tukar atau penawaran uang, akan tetapi tidak keduanya
sekaligus. Jika Bank sentral menetapkan nilai tukar, maka bank sentral harus
menawar berapapun kuantitas yang di butuhkan oleh para pedagang atau dengan
kata lain Bank Sentral Harus membeli berapapun kuantitas mata uang asing yang
di tawarkan oleh pedagang (kehilangan kendali atas penawaran mata uang asing)
yang mana hal tersebut jika terjadi terus menerus dapat mengakibatkan ‘international
reserve crisis’, yaitu di mana sebuah Bank sentral kehilangan kemampuan nya
untuk menjaga nilai tukar tertentu untuk mata uang negaranya. Ketika Bank
Sentral menyadari bahwa cadangan devisanya telah banyak berkurang, maka Bank
Sentral terpaksa harus menaikkan nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang
domestik dengan harapan agar permintaan terhadap cadangan devisa yang dimiliki
nya menurun. Hal tersebut di kenal dengan nama ‘ devaluasi ‘. Jika yang terjadi
sebaliknya, di mana Bank Sentral harus terus membeli devisa, maka Bank Sentral
dapat menurunkan nilai tukar mata uang negaranya terhadap mata uang asing. Hal
ini di kenal dengan nama ‘ revaluasi’ .
Pada saat Bank Sentral
kehilangan kendali atas penawaran mata uang, bank Sentral juga kehilangan
kendali atas tingkat harga, sehingga jika Bank Sentral ingin mengendalikan
tingkat harga domestik, maka Bank sentral harus membiarkan nilai tukar uang
mengambang bebas.
Pada rezim nilai tukar yang di
pagu ini juga di mungkinkan bagi Bank Sentral untuk menetapkan nilai tukar yang
berbeda-beda pada orang-orang tertentu menyangkut keperluan yang tertentu pula.
Katakanlah jika Bank Indonesia (BI)
menetapkan nilai tukar mata uang IDR a= SGD x untuk orang yang membeli barang-barang
konsumsi dari Singapura dan nilai tukar mata uang IDR b = SGD y untuk orang
yang membeli barang-barang kapital dari Singapura di mana kedua harga ini
mungkin lebih tinggi daripada harga Bank Sentral Singapura menjual SGD-nya. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya kesempatan arbitrase kepada orang-orang yang
membeli SGD dengan harga yang lebih murah dan menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi. Untuk mencegah harga jual
yang lebih rendah daripada harga resmi dari pemerintah, Bank sentral atau
otoritas moneter harus melarang perdagangan seperti itu. Akan tetapi, karena
begitu besarnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, hukum itu pun jadi
dikesampingkan sehingga muncullah pasar pertukaran uang gelap (black market in
currencies) di mana warga suatu negara membuat pasar pertukaran uangnya sendiri
yang tidak resmi.
[1] Dikutip dari http://www.lontar.ui.ac.id/login.jsp?requester=file?file=digital/131352-T%2027626-Peranan%20faktor-Tinjauan%20literatur.pdf,
diakses pada hari Rabu, 22
Februari 2012
[2] Karim, Adiwarman A (2002), Ekonomi
Islam; suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT Indonesia : Jakarta h. 87
[3] Karim, Adiwarman A (2010), Ekonomi
Makro Islami edisi ketiga, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta h. 158-9
[4] Dikutip dari http://www.lontar.ui.ac.id/login.jsp?requester=file?file=digital/131352-T%2027626-Peranan%20faktor-Tinjauan%20literatur.pdf,
diakses pada hari Rabu, 22
Februari 2012
[5] Sugeng, M. Noor Nugroho,
Ibrahim dan Yanfitri. Pengaruh Dinamika
Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja
Perekonomian Indonesia. www.bi.go.id.
Januari 2010
[6] Dikutip dari http://dickyhendramulyadi.blog.com/2011/04/24/valuta-asing/,
diakses pada
hari Selasa, 07 Maret 2012
[7] Dikutip dari http://armaini.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/1156/MK-INTER.doc, diakses pada hari Rabu, 22 Februari 2012
[8] Karim, Adiwarman A (2010), Ekonomi
Makro Islami edisi ketiga, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta h. 160-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar