Kamis, 20 Desember 2012

Nilai Tukar Uang Dalam Perspektif Islam


1.                  TEORI NILAI TUKAR UANG KONVENSIONAL
Definisi nilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu dalam bukunya ‘Memahami kurs valuta asing’ adalah harga mata uang suatu negara relative terhadap mata uang negara lain. Karena nilai tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.[1]
Exchange rates (nilai tukar uang) atau yang lebih popular di kenal dengan sebutan kurs mata uang adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam harga mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yaitu harga mata uang domestic dalam mata uang asing. Nilai tukar uang merepresentasikan tingkat harga pertukaran dari satu mata uang ke mata uang yang lainnya dan di gunakan dalam berbagai  transaksi, antara lain transaksi perdagangan internasional, turisme, investasi internasional  ataupun aliran uang jangka pendek antarnegara, yang melewati batas-batas geografis ataupun batas-batas hukum.
Nilai tukar suatu mata uang dapat di tentukan oleh pemerintah (otoritas moneter), seperti pada Negara-negara yang memakai system fixed  exchange  rates ataupun di tentukan oleh kombinasi antara kekuatan-kekuatan pasar yang saling berinteraksi serta kebijakan pemerintah seperti pada Negara-negara yang memakai rezim system ‘flexible exchange rates.
Karena setiap negara memiliki hubungan dalam investasi dan perdagangan dengan negara lain, tidak ada satu pun nilai tukar yang dapat mengukur secara memadai daya beli (purchasing power) mata uang domestik atas mata uang asing secara umum. Oleh karena itu sejumlah konsep nilai tukar uang yang efektif telah dikembangkan untuk mengukur rata-rata tertimbang (weighted average) harga mata uang asing dalam mata uang domestik.[2]

A.                 Purchasing Power Parity[3]
Definisi dari purchasing power parity (paritas daya beli) atau PPP adalah suatu kondisi dimana harga dari suatu barang yang dapat di perdagangkan (tradable  goods) dalam suatu mata uang seharusnya sama di manapun barang itu di beli. Katakanlah jika suatu barang yang identik dapat di beli di dua Negara dimana tidak terdapat biaya transaksi (transaction cost), biaya transportasi (transportation cost), serta tidak ada halangan perdagangan (trade barrier), sehingga dapat di katakanan sebagai tradable goods. Jika kondisi arbitrase (arbitrage condition = kondisi di mana tidak terdapatnya kesempatan untuk membeli suatu barang dengan harga rendah dan menjualnya  lagi dengan harga yang lebih tinggi) terjadi untuk setiap barang secara individual, maka kondisi arbitrase ini akan terjadi juga untuk sekelompok barang (basket of goods) dalam jumlah yang representative, sehingga dapat di turunkan persamaan sebagai berikut:
P = e p’
Di mana; P= tingkat harga domestic (domestic price)
              p’= tingkat harga luar negeri (foreign price)
              e= nilai tukar uang
Persamaan di atas adalah apa yang di namakan  dengan ‘persamaan paritas daya beli’ atau purchasing power parity equation yang menyatakan bahwa rupiah sejumlah x di Indonesia akan mempunyai daya beli yang sama di singapura. Ini akan sejalan dengan asumsi bahwa semua barang dapat di perdagangkan dan terdapatnya kondisi arbitrase yang menjamin setiap individual dapat menjual barang dengan harga yang sama di manapun juga.
Low of One Price (LOP) atau hukum satu harga menyebutkan bahwa didalam suatu pasar persaingan yang tidak ada biaya transportasi serta bebas dari hambatan perdagangan, maka suatu barang yang identik akan mempunyai harga yang sama jika nilai dalam suatu mata uang tertentu.  Perbedaan antara PPP dan LOP adalah jika LOP di aplikasikan di komoditas individual sedangkan PPP di palikasikan untuk tingkat harga secara umum ( komposit harga dari keseluruhan komoditas yang masuk dalam kumpulan yang menjadi referensi).
Nilai tukar riil uang suatu Negara adalah jumlah dari barang domestic yang di butuhkan untuk membeli satu unit barang yang sama (identik) di luar negeri. Persamaannya adalah sebagai berikut :
Real Exchange Rate  = e p’/ P
Jika nilai tukar riil >1 , maka lebih dari 1 unit barang domestic di butuhkan untuk membeli barang luar negeri yang identik. Jika nilai tukar Riil <1, maka kurang dari 1 unit barang domestic di butuhkan untuk membeli barang luar negeri yang identik.
Asumsi utama yang mendasari teori PPP adalah bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga, dan informasi. Secara implisit ini berarti[4]:
1.                  Semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun;
2.                  Tidak ada bea masuk, kuota, atau pun hambatan lain dalam perdagangan internasional;
3.                  Barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing barang;
4.                  Adanya kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga.

B.                 Permintaan dan Penawaran Mata Uang Dalam Negeri[5]
Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan. Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara harga dan penawaran.
Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah nilai tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya meningkat berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal. Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi. Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).
Oleh karena itu upaya untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran valas tersebut harus diawali dengan pemantauan perkembangan permintaan dan penawaran di pasar valas, termasuk aktifitas significant players, untuk mengantisipasi terjadinya imbalances dan gejolak nilai tukar. Apabila terjadi ketidakseimbangan yang signifikan perlu dilakukan upaya penyeimbangan. Supply-demand valas dengan cara meningkatkan penawaran valas DN atau mengurangi permintaan valas DN. Langkah untuk mengurangi permintaan valas relatif terbatas oleh karena Bank Indonesia tidak memiliki wewenang untuk membatasinya. Yang dapat dilakukan BI adalah tidak melakukan intervensi untuk menyerap valas dari pasar, dan berkoordinasi dengan Pemerintah untuk menghimbau agar pembelian valas oleh BUMN dibatasi atau diatur timing-nya, misalnya pada saat terjadi capital inflows dalam jumlah besar. Sebaliknya, BI dapat melakukan upaya untuk meningkatkan pasokan valas, yaitu dengan intervensi jual valas. BI perlu melanjutkan intervensi jual valas yang telah dilakukan secara rutin dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan (yaitu untuk memenuhi genuine demand) dan waktu pelaksanaannya (yaitu pada saat terjadi outflows dan rupiah tertekan).

C.                Penawaran Mata Uang Luar Negeri
Penawaran mata uang luar negeri dilakukan oleh penduduk yang ingin membeli barang-barang buatan Indonesia. Misalnya, jika penduduk AS ingin membeli sebuah barang dari Indonesia maka ia akan menukarkan dolarnya dengan rupiah. Penawaran mata uang luar negeri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Semakin tinggi harga mata uang asing, semakin banyak penawaran mata uang asing tersebut. Semakin rendah harga mata uang asing semakin sedikit penawaran mata uang asing tersebut.[6]
Adanya kekuatan penawaran dalam transaksi ekspor dan impor. Transaksi import dari Indonesia juga akan mempengaruhi penawaran US $, karena makin besar import dari Indonesia, maka semakin banyak US $ harus ditukar atau ditawarkan terhadap Rp utuk membayar import tersebut. Begitu juga transaksi import dari Amerika  juga akan mempengaruhi penawaran Rp, karena makin besar import dari Amerika, maka semakin banyak Rp harus ditukar atau ditawarkan terhadap US $ utuk membayar import tersebut.
Nilai tukar antara Rp terhadap US $  akan menuju keseimbangan sesuai dengan arus barang/jasa diantara dua Negara : [7]
·                     Jika ekspor Indonesia ke Amerika Serikat  turun, maka penawaran US $ akan turun juga,
·                     Jika import Indonesia dari Amerika Serikat meningkat, maka permintaan US $ akan meningkat juga,
·                     Penurunan penawaran US $ disertai dg kenaikan permintaan, mengakibatkan nilai tukar Rp trhadap US $ mengalami perubahan.

D.                Eqiulibrium in Fixed Exchannge Rate[8]
Diasumsikan hanya ada dua Negara yang melakukan perdagangan internasional, yaitu domestic dan asing. Dalam suatu Negara, satu satunya institusi resmi yang dapat mengubah penawaran mata uang nya adalah Bank Sentral dari Negara tersebut. Bank Sentral dalam keseharian nya acap kali menjual dan membeli  mata uang asing. Setiap Bank Sentral dapat memilih antara dua rezim kebijakan nilai tukar yang berbeda yaitu:
1.                  Rezim Nilai Tukar Dipagu (fixed Exchange Rate Ragime) : yaitu bila otoritas keuangan suatu Negara menetapkan suatu nilai tukar uang tertentu untuk mata uangnya.
Dalam sistem kebijakan ini Bank Sentral suatu negara cukup mengumumkan suatu nilai tukar tertentu mata uang nya terhadap mata uang asing tertentu di mana bank Sentral bersedia membeli dan menjual mata uang asing dengan kuantitas berapapun. Contohnya adalah indonesia yang pada era sebelum pertengahan tahun 1980-an memakai rezim nilai tukar di pagu. Kita ketahui bahwa setiap beberapa periode waktu mata uang rupiah mengalami penyesuaian nilai tukar terhadap dollar Amerika Serikat dan mata uang asing lainnya.
Dalam rezim nilai tukar di pagu ini bank Sentral acap kali di paksa untuk mencetak uang melebihi apa yang di inginkannya. Dalam rezim nilai tukar di pagu ini Bank sentral dapat mengendalikan nilai tukar atau penawaran uang, akan tetapi tidak keduanya sekaligus. Jika Bank sentral menetapkan nilai tukar, maka bank sentral harus menawar berapapun kuantitas yang di butuhkan oleh para pedagang atau dengan kata lain Bank Sentral Harus membeli berapapun kuantitas mata uang asing yang di tawarkan oleh pedagang (kehilangan kendali atas penawaran mata uang asing) yang mana hal tersebut jika terjadi terus menerus dapat mengakibatkan ‘international reserve crisis’, yaitu di mana sebuah Bank sentral kehilangan kemampuan nya untuk menjaga nilai tukar tertentu untuk mata uang negaranya. Ketika Bank Sentral menyadari bahwa cadangan devisanya telah banyak berkurang, maka Bank Sentral terpaksa harus menaikkan nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang domestik dengan harapan agar permintaan terhadap cadangan devisa yang dimiliki nya menurun. Hal tersebut di kenal dengan nama ‘ devaluasi ‘. Jika yang terjadi sebaliknya, di mana Bank Sentral harus terus membeli devisa, maka Bank Sentral dapat menurunkan nilai tukar mata uang negaranya terhadap mata uang asing. Hal ini di kenal dengan nama ‘ revaluasi’ .
Pada saat Bank Sentral kehilangan kendali atas penawaran mata uang, bank Sentral juga kehilangan kendali atas tingkat harga, sehingga jika Bank Sentral ingin mengendalikan tingkat harga domestik, maka Bank sentral harus membiarkan nilai tukar uang mengambang bebas.
Pada rezim nilai tukar yang di pagu ini juga di mungkinkan bagi Bank Sentral untuk menetapkan nilai tukar yang berbeda-beda pada orang-orang tertentu menyangkut keperluan yang tertentu pula. Katakanlah jika  Bank Indonesia (BI) menetapkan nilai tukar mata uang IDR a= SGD x untuk orang yang membeli barang-barang konsumsi dari Singapura dan nilai tukar mata uang IDR b = SGD y untuk orang yang membeli barang-barang kapital dari Singapura di mana kedua harga ini mungkin lebih tinggi daripada harga Bank Sentral Singapura menjual SGD-nya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kesempatan arbitrase kepada orang-orang yang membeli SGD dengan harga yang lebih murah dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.  Untuk mencegah harga jual yang lebih rendah daripada harga resmi dari pemerintah, Bank sentral atau otoritas moneter harus melarang perdagangan seperti itu. Akan tetapi, karena begitu besarnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, hukum itu pun jadi dikesampingkan sehingga muncullah pasar pertukaran uang gelap (black market in currencies) di mana warga suatu negara membuat pasar pertukaran uangnya sendiri yang tidak resmi.

Rezim Nilai Tukar Fleksibel (Flexibel Exchange Rate Regime) : yaitu apabila nilai tukar mata uang suatu Negara adalah di tentukan oleh keseimbangan yang terjadi di pasar pertukaran uang nya.


[2] Karim, Adiwarman A (2002), Ekonomi Islam; suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT Indonesia : Jakarta h. 87
[3] Karim, Adiwarman A (2010), Ekonomi Makro Islami edisi ketiga, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta h. 158-9
[5] Sugeng, M. Noor Nugroho, Ibrahim dan Yanfitri. Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia. www.bi.go.id. Januari 2010
[6] Dikutip dari http://dickyhendramulyadi.blog.com/2011/04/24/valuta-asing/, diakses pada hari Selasa, 07 Maret 2012
[7] Dikutip dari http://armaini.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/1156/MK-INTER.doc, diakses pada hari Rabu, 22 Februari 2012
[8] Karim, Adiwarman A (2010), Ekonomi Makro Islami edisi ketiga, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta h. 160-1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar