A.
Perkembangan Perbankan Syariah di
Indonesia
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan
yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi
untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Sebagai negara
dengan kuantitas penduduk muslim yang terbesar di dunia, institusi perbankan di
Indonesia ditantang untuk dapat mengoperasional sistem perbankan yang
berbasiskan kepada syariah Islam. Meskipun agak terlambat, setelah beberapa
decade “diambangkan” oleh kaum ulama dan pemerintah tentang persoalan halal dan
haramnya bunga dalam perbankan, tahun 1992 dikeluarkan UU no. 7 tahun 1992
tentang Perbankan yang menjadi tonggak legalitas diadopsinya perbankan syariah
dalam sistem perbankan di Indonesia. Peraturan ini kemudian diperbaiki dengan
UU no. 10 tahun 1998, lalu UU no. 23 tahun 1999, dan terakhir dengan UU. N0.3
tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Sampai saat ini, perkembangan perbankan
syariah sangat pesat baik dari jumlah usaha, kantor, penghimpunan dan
pembiayaan, maupun ragam produknya. Namun, jangkauannya baru sebatas kota-kota
besar, sehingga potensi dan peluangnya masih sangat besar.[1]
1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank
Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank
Muamalat Indonesia, yang disingkat dengan BMI merupakan bank dengan sistem
tanpa bunga atau bagi hasil pertama di Indonesia. Pada saat pertama didirikan
terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Milliar dan pada tanggal 3
Nopember 1991 dalam acara silaturrahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi
dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000. Dengan
modal awal tersebut, pada tanggal 01 Mei 1992, BMI mulai beroperasi, namun
masih menggunakan UU No. 7 tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan
sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu. BMI sampai September 1999,
telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang,
Balikpapan dan Makasar.[2]
Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada
akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan
suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan
menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah diIndonesia yaitu Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega
Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha
syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank
Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah
juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat,
saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Perbankan
Syariah di Indonesia[3]
a.
Faktor Pendukung
Keberadaan
bank Islam di Indonesia masih memiliki peluang yang mengembirakan dan perlu
dioptimalkan guna membangun kembali sistem perbankan yang sehat dalam rangka
mendukung program pemulihan dan pendayaan ekonomi nasional, selain
restrukturisasi perbankan. Hal itu dikarenakan adanya beberapa pertimbangan,
antara lain ;
(1)
Kebutuhan
jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
Rakyat Indonesia 85 % beragama Islam, meskipun pada hakikatnya agama non Muslim
pun (Yahudi dan Nasrani) juga menolak konsep bunga ini, yang telah nyata gagal
dalam usahanya mensejahterakan masyarakat dan bangsa ini, bahkan telah membuat
terpuruk perekonomian Indonesia. Apabila penduduk Indonesia saat ini 220 juta
maka 187 juta adalah beragama Islam, meskipun tidak semua orang Muslim memahami
konsep bunga ini maka disinilah tugas kita, terutama ulama dan cendekiawan yang
secara khusus memiliki pengikut, seperti ulama dan cendekiawan yang ada di
organisasi sosial kemasyarakat (NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, dll.) maupun
organisasi partai politik (PK, PBB, PNU, dll.) untuk memberikan pemahaman dan
sosialisasi tentang keberadaan perbankan syariah di Indonesia secara terus-menerus.
Berdasarkan data BMI bahwa jumlah nasabah BMI dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) maupun keuangan mikro lainnya yang berprinsip syariah masih 0,2
% dari nasabah bank nasional sehingga perbankan syariah masih dapat
memobilisasi dana masyarakat dengan
bersaing dengan perbankan konvensional, terutama dari segmen masyarakat yang selama
ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional.
Bank Islam
|
Bank Konvensional
|
·
Melakukan investasi yang halal
saja;
·
Berdasarkan prinsip bagi hasil,
jual beli atau sewa;
·
Profit dan kemakmuran dunia akhirat
oriented (falah);
·
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan;
·
Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan Pertimbangan Syariah (DPS).
|
·
Halal dan haram;
·
Memakai bunga;
·
Profit oriented;
·
Debitur – kreditur;
·
Tidak ada dewan sejenis DSN.
|
(2)
Peluang
pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan.
Dalam sistem perbankan konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan
debitur dan kreditur yang antagonis (debitor to creditor relationship). Seorang
debitur harus dan wajib mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya, apakah
debitur mendapatkan untung atau rugi. Kreditur tidak mau ambil peduli. Hal ini
berbeda dengan sistem perbankan syariah. Konsep yang diterapkan adalah hubungan
antar investor yang harmonis (mutual investor relationship), sehingga adanya
saling kerjasama dan kepercayaan karena dalam perbankan syariah menerapkan
nilai ilahiyah sebagai pengendali yang bersifat transendental dan nilai
keadilan, persaudaraan, kepedulian sosial yang bersifat horisontal.
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut ini :
(3)
Kebutuhan
akan produk dan jasa perbankan unggulan . Sistem
perbankan syariah memiliki keunggulan komparatif berupa penghapusan pembebanan
bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan
spekulasi yang tidak produktif dan pembiayaan yang ditujukan pada usaha-usaha
yang memperhatikan unsur moral (halal). Produk perbankan seperti berupa
tabungan, giro dan deposito yang menerapkan prinsip-prinsip simpanan (depository),
bagi hasil (profit sharing), jual beli (sale and purchase), sewa (operational
lease and financial lease), jasa (fee based services).
(4)
Peningkatan
jumlah lembaga keuangan syariah. Gairah perbankan nasional, baik
keinginan untuk membuka kantor bank umum syariah ataupun kantor unit syariah
dapat terlihat dari perkembangan yang pesat jumlah perbankan syariah di
Indonesia. Apabila saat-saat krisis tahun 1998 baru ada satu Bank Umum Syariah,
yaitu Bank Muamalat Indonesia, dengan 9 kantor cabang dan itu hanya tersebar di
Pulau Jawa dan 77 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maka per tanggal 23
Juli 2002, sudah ada 2 Bank Umum Syariah, yaitu BMI dan Bank Syariah Mandiri
(BSM) serta 6 Bank Umum Konvensional yang membuka unit syariah, yaitu BNI 1946,
Bukopin, BRI, Danamon, IFI dan Bank Jabar dengan 36 kantor cabang, 52 kantor
cabang pembantu serta 81 BPRS yang sudah tersebar di seluruh Indonesia. Kinerja bank syariah juga sangat memuaskan.
Hal ini dapat terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) atau perbandingan
jumlah kredit dengan simpanan pihak ke-3, yang rata-rata 100 %, terkecuali BMI
yang hanya 81 %. Ini masih lebih bagus dibandingkan LDR perbankan nasional yang
hanya 39 %. Namun, asset bank syariah
yang pada Mei 2002, totalnya Rp 3.02 Trilyun masih kalah apabila dibandingkan
perbankan yang menempati rangking menengah, seperti Bank Niaga yang pada tahun
1995 sudah mencapai Rp 4.74 Trilyun, apalagi jika dibandingkan dengan BCA yang
total assetnya sebesar Rp 99 Trilyun.
(5)
Adanya
pelayanan yang meluruskan pelanggan dengan cara sesuai Islam. Hal
itu dapat terbukti dengan diraihnya penghargaan Quality Assurance Service
Australia, predikat ISO 9001 tahun 2000 untuk pelayanan bank khususnya customer
service dan taller banking diberikan
pada BMI, serta Market Research Indonesia tahun 2000, yang memasukkan BMI masuk
deretan unggulan terbaik dari 5 bank dalam pelayanan.
b.
Faktor
Penghambat
Faktor
penghambat perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan tantangan,
terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru, suatu
sistem yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip-prinsip dengan sistem yang
dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Faktor-faktor penghambat itu
adalah sbb. :
(1)
Pemahaman
masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah. Hal
demikian, dikarenakan masih dalam tahap awal pengembangan dapat dimaklumi bahwa
pada saat ini pemahaman sebagian masyarakat mengenai sistem dan prinsip
perbankan syariah masih belum tepat. Pada dasarnya, Sistem Ekonomi Islam telah
jelas, yaitu melarang praktek riba serta akumulasi kekayaan hanya pada pihak
tertentu secara tidak adil, akan tetapi, secara praktis, bentuk produk dan jasa
pelayanan, prinsip-prinsip dasar hubungan antar bank dan nasabah, serta
cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah, masih perlu disosialisasikan
secara luas. Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional dengan
bank syariah telah menimbulkan adanya keengganan bagi pengguna jasa perbankan.
Keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh hilangnya kesempatan
mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan. Oleh karena itu,
secara umum perlu diinformasikan bahwa dana pada bank syariah juga dapat
memberikan keuntungan finansiil yang kompetitif. Disamping itu, salah satu
karakteristik khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam sistem perbankan
syariah adalah adanya moral force dan tutunan terhadap etika usaha yang tinggi
dari semua pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-hatian
dalam usaha bank maupun nasabah.
(2)
Peraturan
yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional bank syariah. Hal
ini disebabkan adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara
bank syariah dan bank konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan perlu
disesuaikan agar memenuhi ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat
beroperasi secara efektif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain
hal yang menyatakan :
(a)
Instrumen yang diperlukan untuk
mengatasi masalah likuiditas;
(b)
Instrumen moneter yang sesuai dengan
prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral;
(c)
Standar akuntansi, audit dan
pelaporan;
(d)
Ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai prinsip kehati-hatian, dsb.
(3)
Jaringan
kantor bank syariah yang belum luas. Pengembangan jaringan kantor
bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada
masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga
menghambat perkembangan kerjasama antar bank syariah. Kerjasama yang sangat
diperlukan antara lain, berkenaan dengan penempatan dana antar bank dalam hal
mengatasi masalah likuiditas sebagai suatu badan usaha, bank syariah perlu
beroperasi dengan skala yang ekonomis. Karenanya, jumlah jaringan kantor bank
yang luas juga akan meningkatkan
efisiensi usaha. Berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan komposisi
ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa
bank syariah. Sebagai bahan pertimbangan, di bawah ini dapat dilihat perbandingan
bank syariah di Indonesia dan Malaysia.
Perkembangan
|
Indonesia
(2001)
|
Malaysia
(2000)
|
Pengembanan Sistem
|
1990-an
|
1982-an
|
Jumlah
|
· 2 bank syariah
· 3 unit usaha syariah
· 81 BPRS
|
·
2 bank Islam
·
47
window bank konvensional
|
Pangsa Pasar
|
0.25 %
|
6,9 %
|
Proyeksi
|
Garis besar pelayanan
|
Rinci berserta tahap pencapaian
|
Sumber : Republika, April
2002.
(4)
Kecilnya
market share. Adanya bank syariah yang beroperasi dengan tujuan utama
menggerakan perekonomian secara produktif. Di samping sungguh-sungguh
menjalankan fungsi intermediasi karena secara syariah tugas bank selaku
mudharib (pengelola dana) harus menginvestasikan pada sektor ekonomi secara
riil untuk kemudian berbagi hasil dengan sahibul maal (pemilik dana) sesuai
dengan nisbah yang disepakati. Hal ini terbukti, meskipun market share bank
syariah masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 %, namun rasio pembiayaan
dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 %, yang berarti bank telah menjalankan
fungsi intermediasinya tersebut. Masih kecilnya market share itu disebabkan
antara lain karena bank syariah mempunyai keterbatasan dana baik dari segi permodalan maupun jumlah danamasyarakat
yang berhasil dihimpun karena alasan-alasan seperti yang diungkapkan di atas.
(5)
Sumber
daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit. Kendala-kendala
di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah disebabkan
karena sistem ini masih belum lama dikembangkan. Disamping itu, lembaga-lembaga
akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik
dan berpengalaman dibidang non perbankan syariah, baik dari sisi bank pelaksana
maupun dari bank sentral (pengawas dan peneliti bank), masih sangat sedikit.
Pengembangan sumber daya manusia dibidang perbankan syariah sangat perlu karena
keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro sangat ditentukan oleh
kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan, serta ketrampilan pengelola bank.
Sumber daya manusia dalam perbankan syariah harus memiliki pengetahuan yang khas
dibidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syariah dalam praktek
perbankan, serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara
konsisten. Dalam hal pengembangan bank
syariah dengan cara mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah atau
membuka kantor cabang syariah oleh bank umum konvensional. Permasalahan ini
menjadi lebih penting karena diperlukan suatu perubahan pola pikir dari sistem
usaha bank yang beroperasi secara konvensional ke bank yang beroperasi dengan
prinsip syariah. Menurut M. Luthfi Hamidi, kelemahan yang dimiliki oleh bank
syariah dalam operasionalnya, yaitu antara lain :
(a)
Mutu pelayanan manajemen keuangan
yang masih belum baik, yang mungkin dikarenakan masih terlalu menerapkan prinsip kehati-hatian, kekhawatiran adanya
kredit macet atau juga yang lain;
(b)
Kekurangan modal yang dimiliki oleh
bank syariah, sedangkan pemeintah seakan-akan masih enggan membantunya.
Pemerintah lebih memperhatikan bank komersiil konvensional dengan kebijakan
meratifikasinya, seperti BNI 46 berjumlah Rp 600 M, Bank Mandiri berjumlah Rp
1.4 T, dan Bank Lippo berjumlah Rp 2 T. Sedangkan sampai saat ini bank syariah
modalnya masih didominasi oleh IDB dengan memberikan tambahan modal US $ 10
juta, yang sebelumnya telah memberikan modalnya US $ 6 juta atau Rp 40 M.
[1] Dikutip dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/FB0771DE-D77E-47F4-904B-7F642CAE4BB8/13435/ringseksumsel.pdf,
diakses pada tanggal 02 Maret 2012
[2]Dikutip
dari http://images.nuris2007.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SX7eCgoKCEoAADbjku41/Prospek%20Bank%20Syariah%20di%20Indonesia.pdf?key=nuris2007:journal:32&nmid=183064239,
diakses pada tanggal 02 Maret 2012
[3] Dikutip dari http://images.nuris2007.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SX7eCgoKCEoAADbjku41/Prospek%20Bank%20Syariah%20di%20Indonesia.pdf?key=nuris2007:journal:32&nmid=183064239,
diakses pada tanggal 02 Maret 2012
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut