Sistem bagi
hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi
antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima
dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah.
Lebih jauh prinsip Mudharabah dapat digunakan sebagai dasar baik untuk produk
pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara Musyarakah lebih
banyak untuk pembiayaan.[2]
... ...
“… Maka jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS. Al-Baqarah : 283)
Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI tentang Bagi Hasil adalah sebagai berikut :[3]
Ketentuan
Umum :
1.
Pada dasarnya, LKS
boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi
Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra
(nasabah)-nya.
2.
Dilihat dari segi
kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha
sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).
3.
Penetapan prinsip
pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Perbedaan
antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah tidak diterapkannya
bunga sebagai pranata beroperasinya sistem ekonomi tersebut. Dalam sistem
ekonomi Islam, bunga dapat dinyatakan sebagai riba yang “haram” hukumnya
menurut syariah Islamiyah. Sebagai gantinya, sistem ekonomi Islam menggantinya
dengan pranata “bagi hasil” yang halal oleh syariah Islamiyah berdasarkan Al
Quran dan Al Hadits. Dalam praktiknya, ketentuan bagi hasil usaha harus
ditentukan dimuka atau pada awal akad / kontrak usaha disepakati oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam akad. Porsi bagi hasil biasanya ditentukan
dengan suatu perbandingan, misalnya 40 : 60 yang berarti bahwa atas hasil usaha
yang dijalankan oleh mitra usaha akan didistribusikan sebesar 40% kepada
pemilik dana / Investor (shahibul maal)
dan sebesar 60% didistribusikan kepada pengelola dana (mudharib).
Dalam
praktiknya, mekanisme perhitungan bagi hasil dapat didasarkan pada dua cara
yakni sebagai berikut.
a.
Profit Sharing
(bagi laba), adalah perhitungan bagi hasil yang
mendasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi
dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut.
b.
Revenue
Sharing (bagi pendapatan), adalah
perhitungan bagi hasil yang mendasarkan pada revenue (pendapatan) dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha
sebelum dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha
tersebut.
Aplikasi kedua dasar bagi hasil ini mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Pada profit
sharing, semua pihak yang terlibat dalam akad akan mendapatkan bagi hasil
sesuai dengan laba yang diperoleh atau bahkan tidak akan mendapatkan laba
apabila pengelola dana mengalami kerugian yang normal. Disini unsur keadilan
dalam berusaha betul-betul diterapkan. Apabila pengelola dana mendapatkan laba
besar, maka pemilik dana juga mendapatkan bagian besar, sedangkan kalau labanya
kecil, maka pemilik dana juga mendapatkan bagi hasil dalam jumlah yang kecil
pula, jadi keadilan dalam berusaha betul-betul terwujud. Meskipun dalam profit sharing keadilan dapat
diwujudkan, mungkin pemilik dana (investor) tidak seratus persen setuju dengan
mekanisme tersebut, manakala pengelola dana menderita kerugian normal sehingga
pemilik dana tidak akan mendapatkan bagi hasil, sedangkan dalam bank
konvensional deposan/pemilik dana akan selalu mendapatkan bunga walaupun bank mengalami
kerugian. Kalau hanya dilihat dari aspek ekonomi saja maka profit sharing mempunyai kelemahan dibandingkan dengan prinsip
bunga / konvensional yang notabene diharamkan.
Untuk mengurangi resiko ditolaknya calon investor yang akan menginvestasikan
dananya maka pengelola dana dapat memberikan porsi bagi hasil lebih besar
dibandingkan dengan porsi bagi hasil menurut revenue sharing.
Untuk mengatasi ketidaksetujuan prinsip profit sharing karena adanya kerugian bagi pemilik dana maka
prinsip revenue sharing dapat
diterapkan, yaitu bagi hasil yang didistribusikan kepada pemilik dana
didasarkan pada revenue pengelola
dana tanpa dikurangi beban usaha untuk mendapatkan pendapatan. Dalam revenue sharing, kedua belah pihak akan
selalu mendapatkan bagi hasil, karena bagi hasil dihitung dari pendapatan
pengelola dana. Sepanjang pengelola dana memperoleh revenue maka pemilik dana akan mendapatkan distribusi bagi hasil.
Ditinjau dari sisi pemilik dana maka prinsip ini menguntungkan, karena selama
pengelola dana memperoleh revenue maka
pemilik dana pasti mendapatkan bagi hasilnya. Tetapi, bagi pengelola dana hal
ini dapat memberikan resiko bahwa suatu periode tertentu pengelola dana akan
mengalami kerugian, karena bagi hasil yang diterimanya lebih kecil dari beban
usaha untuk mendapatkan revenue tersebut.
Disinilah ketidakadilan dapat dirasakan oleh pengelola dana karena terdapat
resiko kerugian, sedangkan pemilik dana terbebas dari resiko kerugian.
Jalan keluar yang dapat dijalankan adalah pengelola dana harus
menjalankan usaha dengan prinsip prudent atau
usaha penuh kehati-hatian, sehingga dengan revenue
sharing resiko kerugian dapat ditekan sekecil mungkin agar pemilik dana /
investor tertarik menginvestasikan dananya pada usaha yang dikelola Bank Syariah.
Konsep bagi hasil berbeda sama sekali dengan konsep bunga
yang diterapkan pada bank konvensional. Dalam bank syariah, konsep bagi hasil
(IBI, 2003:265) sebagai berikut.
b.
Pemilik dana menginvestasikan dananya melalui lembaga
keuangan bank yang bertindak sebagai pengelola dana.
c.
Pengelola/bank syariah mengelola dana tersebut diatas
sistem pool of fund, selanjutnya bank
akan menginvestasikan dana tersebut ke dalam proyek /usaha yang layak dan
menguntungkan serta memenuhi aspek syariah.
d.
Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup kerja sama, nominal, nisbah, dan jangka waktu berlakunya
kesepakatan tersebut.
Berikut
faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil, adalah sebagai berikut[4]
:
a.
Faktor Langsung, diantara faktor-faktor langsung (direct
factors) yang memperngaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment
rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing
ratio).
1)
Investment rate merupakan persentase aktual dana
yang diivestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar
80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi
likuiditas.
2)
Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan
jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metodi ini (a) rata-rata
saldo minimum bulanan, (b) rata-rata saldo harian. Investment rate dikalikan
dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah
dana aktual yang digunakan.
3)
Nisbah (profit sharing ratio), (a) salah satu
ciri al-mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui
pada awal perjanjian, (b) nisbah antara satu bank dan bank lainnya dapat
berbeda, (c) nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank,
misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan, (d) nisbah juga
dapat berbeda antara satu account dan account lainnya sesuai
dengan besarnya dana dan jatuh temponya.
b.
Faktor Tidak Langsung
1)
Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah.
(a) bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit
and sharing). Pendapatan yang “dibagihasilkan” merupakan pendapatan yang
diterima dikurangi biaya-biaya, (b) jika semua biaya ditanggung bank, hal ini
disebut revenue sharing.
Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting). Bagi
hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang
diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
[1] Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami
Akuntansi Perbankan Syariah Berdasar PSAK dan PAPSI.
[2] Muhamad dkk, Bank Syariah : Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman (M. Syafi’I Antonio).
[3] Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 2000) h. 2.
[4] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar