Jumat, 09 Desember 2011

Qiyas

A.                 Pengertian dan Hakikat Qiyas
Secara etimologi[1], kata Qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa-yuqisu , artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum[2].
Tentang arti qiyas menurut  terminologi, terdapat definisi yang berbeda menurut sebagaian ulama diantaranya[3]:
Menurut Abu Hasan Al Bashri yang memberikan definisi qiyas “sebagai usaha dalam menghasilkan (menetapkan)  hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam Illat hukum menurut ijtihad”.
Dalam buku ushul Fiqh 1 karangan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, menjelaskan tentang hakikat Qiyas yaitu[4] :
  1. Ada dua kasus yang mempunyai Illat (sebab) yang sama;
  2. Satu diantara dua kasus yang bersamaan Illatnya itu sudah ada hukumnya yang di tetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus satu lagi belum di ketahui hukumnya;
  3. Berdasarkan illat yang sama seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya seperti hukum yang berlaku pada kasus pada hukum yang telah di tetapkan berdasarkan nash.
Dengan demikian[5], jelaslah bahwa hakikat qiyas merupakan perluasan atau pengembangan hukum yang sudah ada ketentuannya secara jelas dalam nash atas masalah-masalah lain yang belum ada ketentuannya dalam nash. Ini juga berarti mengamalkan nash tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa qiyas merupakan penafsiran terhadap maksud sesuatu nash, tetapi bukan berarti penambahan terhadap ketentuan hukum yang tedapat dalam nash itu sendiri.

B.                 Kehujjahan Qiyas[6]
Qiyas menempati tingkatan keempat dalam hujjah agama setelah Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Penggunaan qiyas dibolehkan sesudah Al-Quran apabila tidak diperoleh pada suatu kejadian hukumnya dari nash atau ijma’.
Dalil-dalil tentang kehujjahan qiyas dapat diperoleh melalui Al-quran, Sunnah, perkataan atau perbuatan sahabat, atau dengan pemikiran. Adapun dalil yang terdapat dalam ayat Al-quran adalah firman Allah swt. dalam surat An-Nisaa (4): 59 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalannya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Dari segi pemikiraan, qiyas dijadikan sebagai hujjah agama dapat dilihat sebagai berikut: Allah swt. mensyaiatkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia. Namun apabila terdapat sesuatu kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya dari nash dan ia mengandung kemaslahatan, ditetapkanlah hukumnya yang bersamaan dengan hukum yang ada ketentuan nashnya. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemaslahatan manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah swt. dalam mentasyrikan agama.
Selain itu qiyas merupakan salah satu metode untuk menghadapi perkembangan yang senantiasa berkelanjutan tidak terbatas. Sebab tidak mungkin nash-nash yang terbatas sebagai satu-satunya sumber hukum bagi sesuatu perkembangan yang tidak terbatas.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa qiyas merupakan salah satu hujjah agama yang ditetapkan dalam kitab Allah swt. hadis Nabi, praktik sahabat, maupun berdasarkan kepada pemikiran.

C.                 Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya[7]
Qiyas dipandang sah apabila memenuhi empat rukun, yaitu :
1.                  Maqis ‘alaih, yakni sesuatu yang telah dinashkan hukumnya. Ini dinamakan dengan ashal. Dia merupakan sumber yang menjelaskan hukum tentang masalah yang diqiyaskan kepada furu’ (cabang). Yang menjadi ashal atau maqis ‘alaih menurut kebanyakan  fuqaha adalah nash dan ijma’.
2.                  Maqis, yakni sesuatu yang dihubungkan atau dipersamakan dengan ashal dan dinamakan dengan furu’. Furu’ ini disyaratkan tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya karena qiyas hanya berlaku terhadap sesuatu yang tidak ada nash padanya dengan sesuatu yang ada padanya nash. Selain itu, disyaratkan pula pada illat yang terdapat pada furu’ benar-benar bersesuaian dengan illat yang ada pada ashal.
3.                  Hukum, yaitu hukum yang terdapat pada nash atau ashal dan diisaratkan dengan syarat diantaranya:
a.             Hukum itu adalah hukum syara’ yang amaliyah.
b.            Hukum itu ma’bul ma’na, seperti haramnya khamar dan judi.
c.             Hukum tersebut bukan merupakan hukum pengecualian (istisna) atau hukum karena rukhshah.
d.            Hukum ashal bukanlah merupakan hukum khusus untuk suatu kejadian tertentu.
4.                  Illat, yaitu sesuatu yang ditetapkan atasnya hukum ashal dan dihubungkan atau dipersamakan hukum tersebut dengan furu’. Illat ini disyaratkan dengan beberapa syarat, diantaranya :
a.             Illat tersebut haruslah merupakan sifat yang jelas,
b.            Illat tersebut dhabit, artinya illat tersebut tidak melakukan kesalahan berkaitan dengan suatu pribadi, keadaan, maupun tempat.
c.             Tetap berhubungan antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai illat.
d.            Illat tersebut tidak bertentangan dengan nash lain.

D.                Pembagian Qiyas[8]
1.                  Qiyas Aula, yakni qiyas yang illat pada furu’ lebih kuat daripada illat yang terdapat pada ashal. Seperti qiyas larangan memukul orang tua lebih kuat atau lebih patut diberikan apabila dibandingkan dengan yang terdapat pada nash, yakni mengucap kata “uh”. Adapun illat yang mempersamakan antara keduanya adalah sama-sama menyakiti.
2.                  Qiyas Musawi, yakni qiyas yang illatnya bersamaan antara kedua-duanya dalam patutan dalam menerima hukum tersebut. Seperti mengqiyaskan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam menerima hukuman (QS. An-Nisaa: 24)
3.                  Qiyas Adna, yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukumannya kepada sesuatu yang memang patut menerima hukumannya, seperti mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki kepada haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah bersifat memegahkan diri.
4.                  Qiyas Syabah, yaitu qiyas yang menjadi illatnya hanyalah penyerupaan seperti seorang budak apabila merusak sesuatu, maka dia dalam membayar denda terletak antara manusia merdeka (karena ia anak adam) dan sebagai binatang (karena ia dipandang sebagai benda). Atau versi lain, qiyas syabah adalah qiyas yang dapay diqiyaskan pada dua asal, seperti zakat profesi yang dapat diqiyaskan kepada tijarah (perdagangan) dan dapat juga pada pertanian.
Ada beberapa macam qiyas lain, seperti qiyas Illah, qiyas jali, qiyas khafi, dan muatsir.[9]


[1] Dikutip dari http://www.wattpad.com/147913-qiyas-dalam-islam?p=1, Qiyas Dalam Islam, Oktober 2011
[2] Dikutip dari http://jawaposting.blogspot.com/2010/01/makalah-fiqih-qiyas.html, Qiyas, Oktober 2011
[3] Dikutip dari http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/qiyas/, Qiyas, Oktober 2011
[4] Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
[5] Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004 hlm. 86
[6] Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004 hlm. 86-89
[7] Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004 hlm. 90-92
[8] Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004 hlm. 103-104
[9] Lihat Ashiddiq, Pengantar.. Jil I,op.cit, hlm. 219-224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar